Chereads / Enough Love / Chapter 7 - 05. Made of Hidden Secret

Chapter 7 - 05. Made of Hidden Secret

~Vote and comment please~

Suara lolongan anjing liar kembali mengusik ketenangan El di malam itu. Udara dingin menyergap pertahanan tubuhnya, suara guntur terus menyambar rakus di tengah malam, semakin menambah kesan mencekam. El terus berlari tanpa tujuan, berusaha mencari tempat teraman untuknya berlindung.

Jalanan terjal penuh bebatuan tajam, berkali-kali membuatnya terpleset dan melukai kaki yang hanya menggunakan sandal tipis. Sesekali ia menoleh kebelakang, memastikan tidak ada seorangpun yang mengejarnya.

Peluh membanjiri diri, nafas tersengal. Dia merasa jika medan yang ia tempuh bagaikan lingkaran, tiada akhir dan ujung.

Sudah cukup jauh El berlari meloloskan diri dari orang-orang itu dan merasa tidak ada siapapun lagi yang mengejarnya di belakang. Ia memutuskan berhenti sebentar, menghirup respirasi sebanyak mungkin demi memulihkan tenaganya yang terkuras.

El tidak berharap ada seseorang yang tiba-tiba muncul dan menyeretnya ke gudang tua itu. Membawa dan kembali menyiksa tubuhnya yang telah di penuhi luka lebam akibat pukulan serta hantaman benda tumpul.

Namun, semua doa yang ia ucapkan bagaikan gema kosong, menjadi terlambat dan salah ketika ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Benar, hidup terlalu sulit, sampai ia tidak memiliki waktu untuk sekedar bernafas dan tenang ketika satu suara baritone rendah mengintrupsinya.

"Rupanya kau disini."

Tubuh El menegang, dia menoleh memastikan siapa pria yang berhasil mengejarnya di antara mereka.

"Ss—Siapa, kau?"

Gelap malam membuat El tidak dapat mengenali siapa yang berdiri di hadapannya dengan hodie hitam yang menutupi wajah. Hanya seringaian dari bibir tipis pria itu yang tertangkap oleh manik cokelat El.

Tidak ada jawaban yang diberikan, selain dengan cara kasar pria itu meraih surai panjang El, menarik dan menyeretnya di sepanjang bebatuan tajam. Berulang kali memaksa El untuk mengikuti tanpa peduli dengan jerit sakit saat El berusaha berontak. Perih memar serta lebam yang bergesekan dengan tajam si padat hitam, membuat tubuh El kian tercabik-cabik.

Di tengah malam mencekam bersama petir yang berubah menjadi buruk, siksaan kembali menguliti ketika ia tidak memiliki siapapun untuk menyelamatkan diri. Atas apa yang terjadi, sang ilalang menutup diri.

El terbunuh berulang kali dibawah deras hujan yang menjadi saksi.

"El, kau tidak apa-apa?"

Berkali-kali mati meski hanya dalam mimpi.

Seungyoun yang kala itu belum tertidur segera bergegas lari menuju kamar El saat ia mendengar suara teriakan wanita itu.

Berulang kali ia mengguncang tubuh wanita itu agar tersadar, namun gagal karena El sama sekali tidak membuka mata. Ia terus menjerit ketakutan dan meminta tolong.

Seungyoun terus menepuki bahu El dengan pelan, berkali-kali memanggil nama wanita itu dengan lembut, sampai manik cokelat cantik itu kembali pada kesadarannya dengan nafas yang memburu.

"Tenanglah, ini aku." Ujar Seungyoun saat ia masih belum bisa membuat El tenang ketika sadar dari mimpi buruknya.

El meraih tangan Seungyoun, memeluk lengannya sembari menyembunyikan wajah pada Seungyoun.

"Dia menemukanku, Jo." Nafas El masih memburu ketika ia mengatakan hal tersebut. Cengkraman tangannya pada lengan Seungyoun kian menguat.

"Ada aku disini, dia tidak akan bisa menemukanmu." Seungyoun terus mengusap punggung El yang masih bergetar ketakutan.

Manik El mempredasi kesekeliling penjuru, memastikan jika hanya ada dia dan Seungyoun di ruangan itu. Sadar akan kegusaran El, Seungyoun mengamit wajah El, menenggelamkannya pada pelukan.

Semenjak pertemuannya dengan El saat accident itu, berulang kali wanita itu mengalami nightmare. Waktu istirahat Seungyoun terkadang harus terganggu dengan teriakan tiba-tiba El saat tengah malam, sampai Seungyoun terbiasa terjaga seiring waktu tinggal bersama.

Insomia kronis, nightmare, serta gangguan parasomnia yang di miliki El, mau tidak mau membuat Seungyoun harus ektra dalam menjaganya. Dia tidak bisa meninggalkan El sendirian di rumah dalam waktu lama.

"Aku akan menemanimu tidur." Seungyoun berbicara pelan, masih terus berusaha membuat El tenang dengan tepukan-tepukan lembutnya.

Dia menarik selimut untuk menutupi kaki El saat El belum mau melepaskan pelukannya pada Seungyoun. El masih menyembunyikan wajahnya erat di badan kekar seungyoun. Ketika sudah seperti ini, El sering kali berhalusinasi melihat sesuatu yang menatap tajam kearahnya meski lampu penerangan utama telah di hidupkan.

Dengan susah payah Seungyoun berusaha membawa tubuh El untuk kembali berbaring meski satu tangannya tidak bisa ia gerakkan. Pria itu begitu telaten dan hati-hati, dia berusaha untuk tidak menyakiti El atau semakin membuat wanita itu ketakutan.

Seungyoun membaringkan kepala El pada lengannya dan membawa tubuh mungil El berada di pelukannya. Dia menarik selimut menutupi sampai ke telinga El, tidak ada lagi celah untuk wanita itu menatap kemanapun selain bersembunyi pada dada bidang seungyoun.

"Sudahlah itu hanya mimpi, tidak akan terjadi apa-apa." Seungyoun terus menenangkannya, mengusap lembut surai kecokelatan wanita itu.

"Jo aku takut," Terdengar suara El semakin bergetar. "Aku tidak mengenal orang itu, dia terus mengejarku."

"Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan ada orang yang berani menyakitimu."

Ada ngilu tersendiri dalam diri Seungyoun ketika berulang kali ia melihat El diburu rasa takut. Selama lima tahun ini, Seungyoun telah melihat berbagai sisi lain dalam diri El. Ketika sebagian memasang jarak untuk berwaspada, Seungyoun selalu meyakini, jika El adalah apa yang dia percaya. Rapuh, kesepian, dan butuh pertolongan.

Banyak hal yang masih menggantung tanya ketika dia terus berupaya menyelami kedasaran epilog hidup El yang sesungguhnya. Seungyoun tidak pernah ingin memutuskan untuk berhenti begitu saja ketika dia harus di hadapkan pada klimaks yang rumit. Dia percaya, jika wanita ini pada akhirnya berakhir dengan ending yang bahagia.

"Jangan mengigiti bibirmu." Seungyoun mengamit dagu wanita itu.

Kebiasaan yang selalu dimiliki El tanpa tersadar saat dia dihadapkan pada masalah dan rasa takut. El cenderung menyakiti diri sendiri demi sebuah pelampiasan.

Seungyoun mengusapi bibir secerah cherry dengan ibu jari, menatap dengan lamat pahatan cantik yang berada di hadapannya. Gelenyar aneh mengaliri seluruh tubuh, seperti sebuah sengatan bervoltase tinggi mengambil beberapa sisa kewarasan. Dia tidak mengerti saat saraf implusifnya menuntun untuk mengikis spasi.

Melihat bagaimana wanita itu selalu memiliki bekas luka dan subtansial merah terus menghiasi epidermis selembut salju, membuat Seungyoun ingin menghilangkan semua rasa sakit itu dengan caranya.

"Jangan pergi."

Silabel yang terlafal dari material basah selembut cherry berhasil merenggut perasaan fiktif dalam diri Seungyoun. Dia membuat jeda tepat ketika kedua bibir mereka akan bertemu.

Kembali, ia melepas tali sandera dari wanita itu. Menghadapi realita dan menahan segala ego semu. Untuk keyakinannya tentang sebuah perasaan yang lebih dulu membuatnya bertahan dan terpenjara tanpa ada siapapun berani singgah. Seungyoun hanya menyimpan satu nama dan perasaan, tidak untuk terbagi.

"Hmm... Aku akan tidur disini malam ini."

***

Innsbruck— salah satukota di bagian Barat Austria, kota kecil yang di kelilingi Pegunungan Alpen. Sebuah kota dimana kau dapat merasakan hidup dalam dimensi sejarah saat tiap pemukimannya membawamu kembali pada masa pemerintahan Kaisar Maximillian.

Sudah tiga hari tepatnya El tinggal di kota yang dijuluki sebagai Ibu Kota Alpen. Hari ini El sudah menyelesaikan kewajibannya, semua tugas yang diberikan—kuliah daring tanpa absen tentunya.

Melakukan tutorial online, menjawab setiap materi diskusi yang diberi serta memberi tanggapan atas jawaban rekan lain. El yakin jika akumulasi nilai 75% yang di peroleh dari pertemuan online di tambah dengan UAS nantinya tidak akan mendapat nilai yang mengecewakan, meski beberapa rumor rekan senior berkata, mendapat B- adalah mustahil.

Lagian, siapa yang bisa menjamin?

Mengulang pendidikan dari awal membuat El seperti menelan kembali sesuatu yang sudah bosan ia makan. Hanya itu-itu saja, pokok pembahasan di luar kepala. Tidak bermaksud menyombongkan diri, dibandingkan dengan Seungyoun ... ah sudahlah, El tidak ingin membual terlalu panjang. Biarkan Seungyoun yang mengambil bagian dalam memuji otak genial-nya.

Menghabiskan waktu hanya dirumah sembari menonton serial televisi berbahasa Jerman membuat El jengah juga. Hari ini cukup dengan beberapa kosa kata dia kuasai. Setidaknya dia tidak perlu membuka aplikasi pintar untuk menjelaskan "Ich spreche kein Deutsch" atau sekedar menanyakan "Die Karte bitte."

Eksplorasinya tentang kota Innsbruck membawa langkah kaki El berakhir di Sungai Inn yang mengalir di tengah-tengah kota. Jembatan yang berdiri kokoh diatas sungai menjadi pilihan El untuk beristirahat sembari mengagumi hijau tosca menerpa penglihatan dengan indah aliran yang diapit beberapa pohon serta figura gedung tua terpelihara.

Waktu membeku ketika manik cokelat terbawa candu arus yang mengalir, payungan pegunungan Alpen di ujung hilir dengan pesona es abadi menarik linier menjadi lengkung dengan bulan sabit yang mengapit.

Berada beberapa hari di Aussie cukup membuat El rindu cita rasa masakan Asia. Sumatera Tengahnya sedari tadi terus meronta saat El memaksa untuk lebih lama menatap monument Annasäule yang berdiri di tengah Mary Theresian Street.

Lambang rasa syukur atas kebebasan itu menciptakan geletar tersendiri terlebih ketika menatap sang Bunda Maria.

Pesona tosca kehijauan El tinggalkan, pulang kerumah bukan pilihan yang tepat. Memasak? Salahkan saja Cho Seungyoun dengan segala kelihaian mengolah bahan-bahan dapur, membuat El jadi malas untuk meracik sesuatu. Dia merasa menjadi satu-satunya wanita tidak berguna karena peran wanita saat dirumah di ambil alih oleh Seungyoun. Lagipula sampai detik ini El masih kesulitan membedakan mana merica dan ketumbar, sama saja bentuknya.

Hah, sudahlah. Lupakan itu. El dengan senang hati mengibarkan bendera putih jika ada pria yang memasukkan kategori pandai memasak masuk dalam list wanita idaman yang akan dinikahi.

Jika begini, rasanya El berniat akan mencari pendamping hidup seperti Seungyoun yang akan mengatakan rasa makanannya masih bisa di makan, tanpa banyak komentar. Meski setelahnya mengalami demensia vascular akibat terlalu banyak mengkonsumsi garam.

Ngomong-ngomong pendamping hidup ... lewatkan saja.

What is love?

Restoran tak jauh dari pinggir sungai menjadi pilihan El kali ini. Andai saja ada menu gado-gado— membuat El harus menipiskan bibirnya menekan keinginan.

Dari tempatnya duduk, El dapat menikmati pemandangan menjelang petang sebelum Seungyoun pulang. Ada begitu banyak pengunjung, sangat jelas sekali jika restoran yang dia kunjungi cukup terkenal. Beberapa wajah Asia dapat El temui, meski begitu Bühnendeutsch seolah telah menjadi bahasa ibu untuk beberapa orang.

Tidak banyak hal dapat membuat El tertarik atau sekedar ingin tahu sekelumit permasalahan yang tengah orang-orang perdebatkan. Makan siangnya—yang tertunda terasa hambar. Seolah kehilangan nafsu yang tadi begitu mengebu, reseptor El masih belum terbiasa.

Kegiatan mengaduk-ngaduk makanan tanpa minat terintervensi ketika El tertarik untuk mencuri dengar obrolan dua orang paruh baya yang duduk tidak jauh dari posisinya.

"Siapa yang berani menanggung resiko berurusan dengan Mafia." Ucap pria berkacamata dengan surai hitam berhasil mengintrupsi minat El yang menghilang sebelumnya.

Dia terlihat menjadi pihak penentang saat lawan bicara mewajarkan segala sesuatu.

"Mafia. Dari mana kau menyimpulkan perusahaan itu milik mafia? Tidak mungkin CEO perusahaan itu seorang mafia." Pemilik ametis sebiru lautan terlihat tenang meski menuangkan protes tidak setujunya.

"Kau tidak bisa langsung mengatakan jika minumanmu itu beer sebelum kau merasakannya terlebih dahulu."

Pria berkacamata itu meletakkan pisau steak dan menenggak beer di gelasnya.

Lawan bicara, sang ametis dengan pembawaan tenang berkerut tidak mengerti. "Kenapa mempermasalahkan sebuah minuman."

"Dasar!" Decak kesal membumbung dari pria berkacamata itu.

"Kau pernah mendengar tentang Black Phoenix?"

Pemilik surai hitam dengan kacamata berbentuk oval terhias frame tebal di bagian atas menegapkan badan. Garis rahang tajam dengan bingkai bagian dahi yang sempit memfokuskan fiksasi sembari bersandar pada kursi. Kedua tangan terlipat, dia menanti jawaban lawan bicaranya. Ada percikan api siap membara dari sorot mata itu.

Ketika hanya gelengan menjadi jawaban sang lawan, membuat ia harus mendesah jengah—berkobar juga.

"Tsk... Dimana kau saat Eropa terguncang dua puluh tiga tahun silam?!"

Dia sedikit meninggikan nada bicaranya, membuat beberapa pengunjung tersentak dan mulai terusik akan perdebatan mereka.

Namun pria pemilik ametis biru dengan fitur wajah kotak, proporsi wajah dengan dagu dan rahang besar serta tulang yang tegas bergeming. Pria itu seperti sudah terbiasa dengan rekannya yang tidak dapat mengendalikan emosi. Dia masih tenang, tidak terpengaruh akan makian.

"Krisis keuangan global?"

Jawaban datar, masih dengan sikap tenang namun menunjukkan raut tidak yakin atas jawaban terimplisit pertanyaan. Membuat si surai hitam ingin membara dengan kobaran.

"Kasus kematian Herr K."

Apatis, pria bersurai hitam seperti kehilangan minat untuk mendongeng ataupun menceritakan kisah panjang penghantar tidur untuk sang lawan bicara.

"Herr K..." Pemiliki wajah kotak menjeda, mengingat-ingat tokoh penting yang mungkin saja terlintas dalam memorian.

"Who?"

Cukup sudah, pria berkacamata itu seperti telah kehilangan kesabaran saat sang lawan bicara menjadi satu-satunya yang tidak tau apa-apa. Namun pandangan penuh minat atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan membuat pria berkacamata itu kembali pada pengaturan awal, sedikit mengedukasi teman—agar tidak menjadi satu-satunya yang bodoh.

"Setidaknya saat kau tinggal di Eropa, kau pasti pernah dengar tentang Black Phoenix."

El terus menajamkan pendengaran sembari menyesap minuman miliknya, bersikap tenang tanpa menunjukkan gelagat mencurigakan untuk kedua orang asing itu. Dia menjelma menjadi penyadap ataupun mata-mata yang tengah menjalankan misi mengumpulkan infromasi.

"Apa mereka ada hubungannya dengan dunia bawah tanah?"

Pria berkaca mata mengangguk.

"Tunggu sebentar—"

Seperti telah mendapatkan ilham yang terjun bebas, pemilik ametis biru itu berkelakar dengan antusias,

"Apa mereka organisasi bawah tanah yang terkenal dengan bisnis perdagangan senjata api, pelacuran, perjudian, pemerasan, narkoba dan pemalsuan?"

Jentikkan jari menjadi penanda kebenaran informasi, "Benar, kelompok gangster dan pembelot."

Pria itu membenarkan posisi merebahnya pada sandaran kursi. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya kearah lawan, berbicara pelan. "Dulu Herr K selalu dikenal sebagai pengusaha tersukses di Eropa, tapi di balik itu dialah sosok pendiri sekaligus pengendali Black Phoenix."

Pria itu semakin merendahkan suara, membuat lawan bicara mau tidak mau sedikit mendekat.

"Asal kau tau, organisasi mereka dulu berhasil mengendalikan Jerman di bawah kekuasaan. Dia sosok yang kejam. Dan selama itu pula Herr K berulang kali mendapat serangan dari musuh untuk membunuhnya. Dan desas-desus yang beredar, kabar kematiannya adalah konspirasi dari sang istri yang bersekutu dengan mafia lain."

Pria itu membenarkan kembali posisi sembari bergidik ngeri mengakhiri, "Dunia mafia memang sekejam itu. Jika kau tidak membunuh maka kau yang dibunuh."

"Jadi maksudmu, perusahaan itu—"

"Ya. Ada dua kubu, dimana CEO tidak memiliki kekuatan. Apa itu masuk akal? Terlebih segala sesuatunya dipengaruhi oleh pihak terkuat."

"Frau K?" Dahi ametis berkerut, pria berkacamata meminum beer-nya tanpa mengalihkan sorot ametis dari lawan.

"Bukan, tapi orang-orang Herr K. Mayoritas Dewan Direksi adalah Black Phoenix." Pria berkacamata menghembuskan nafas panjang.

"Sebagian lainnya mempercayai jika Herr K masih hidup dan tidak ingin mengambil resiko meski Frau K memiliki posisi tinggi."

"Boss juga tidak mau mengambil resiko jika setiap kebijakan perusahaan berbuntut pada kekerasan. Berhadapan dengan orang dari dunia bawah tanah bukan sesuatu yang bisa kau anggap mudah."

Ada jeda frustasi terdengar, "Terpaksa kita harus membuang tangkapan besar kali ini." Desah pria berkacamata itu.

"Tapi apa benar hingga sekarang Herr K belum meninggal padahal ini sudah lebih dua puluh tahun lamanya."

"I don't know." Pria berkacamata menggeleng, ia mengambil gelas, memutar-mutar minuman yang tinggal setengah di udara.

"Banyak desas-desus beredar jika Herr K masih hidup meski tidak ada seorangpun yang tau keberadaannya. Tapi semua kepemimpinan kartelnya sekarang dikendalikan oleh Göring. Kabarnya dia anak dari pelayan setia Herr K."

Suara notifikasi ponsel mengintrupsi El dari fokus mencuri dengar percakapan kedua pria di restoran itu. Bagi El, cukup menarik mengetahui perihal dunia permafiaan. Keberadaan mereka bagai tanaman yang tidak bisa dihentikan, akan selalu ada tunas baru ketika satu diantara lainnya saling mengekudeta.

From : Jojo

17:28

Kau dimana?

El melirik arloji, dan Seungyoun sudah pulang. Wajar jika pria itu mencari saat dirinya tidak berada di rumah.

To: Jojo

17:28

Sedang berusaha mengkonsumsi habis pendapatanmu.

(Send Pictures)

From : Jojo

17:29

Meski kau melakukan kegiatan amal dengan memesan menu di Guys Savory Restaurant, tidak akan membuatku bangkrut.

Send your location, aku akan menjemputmu.

Dasar Seungyoun Humblebragging Cho. El mendengus, kembali menyantap makanannya yang telah mendingin. Setidaknya sebelum Seungyoun datang dia harus menghabiskan separo jika tidak ingin mendengar rentetan protes yang mengudara.

Tidak terlalu lama, kehadiran Seungyoun membawa atmosfer tersendiri. Kemeja putih dengan lengan panjang yang sengaja di gulung hingga kesiku dan sebelah tangan yang menenteng jas formil, terkomplemen tatanan rambut berpomade. Pria itu masih terlihat tampan meski raut lelah menjelajah. Sudut bibirnya mengembang dengan lekukan tipis diujung, saat sorot obsidian menyipit membentuk bulan sabit, terkunci satu titik—El seorang.

Dunia dimana Seungyoun hanya menatap satu cahaya, tidak memperdulikan bagaimana jajaran asteroid yang mencoba menghalau pergerakannya pada sumber kehidupan. Menghilangkan si pengganggu Mars yang selalu mencoba menjadi dupikat El bukan sesuatu yang susah bagi Seungyoun. Asalkan dia tetap dapat menjaga El utuh dan berada tidak jauh dari jangkauan pendukung kehidupannya itu, akan dia lakukan.

Saat sampai, Seungyoun langsung mengacak rambut panjang El sebelum dia mendaratkan tubuhnya di kursi tepat depan El duduk.

"Berhenti merusak tatanan rambutku, Jo." Geram juga, jika di setiap tempat bahkan detik dan saat, pekerjaan El hanya merapikan rambut kusutnya.

Cho Seungyoun benar-benar!

"Bagaimana rasanya, enak?" Seungyoun membuka mulut, meminta El menyuapkan makanan yang El makan.

"Tidak buruk..."

El menyuapkan Tafelspitz mit meerrettichsoße yang dia makan sebelumnya pada Seungyoun.

"Tapi lidahku saja yang bermasalah."

Poin plusnya, Seungyoun adalah pria pengertian. Se-explicit apapun pria itu akan mengerti. Terlebih saat dia sendiri merasakan makanan itu telah mendingin—sedari tadi.

"Nanti ku masakkan."

Membuat cengiran lebar El membingkai keindahan di senja menjelang dengan puncak abadi es menjadi saksi.

"How was your day at office?"

El menyuapkan lagi makanan untuk Seungyoun. Misinya saat ini membuat pria itu menghabiskan seluruh sisa makanannya tanpa protes membumbung dari Seungyoun dengan berembel-embel—berhenti diet dengan mengurangi porsi makan.

Helaan nafas terdengar berat saat menjawab, "Menjadi budak korporat bukan passion-ku..."

Seungyoun terus menceritakan kegiatannya di kantor hari ini. Pria itu tidak menyukai bekerja di bawah perintah orang meski seluruh senior kantor memprilakukannya dengan baik. Bagi Seungyoun bekerja sendiri tanpa adanya perintah dan tekanan dari pihak lain jauh lebih nyaman. Dia terlahir untuk menjadi Boss, itu prinsipnya.

Celotehannya terhenti saat dia sadar fokus El tidak pada keluh kesahnya, melainkan dua pria asing yang baru saja keluar melewati mereka.

"Kau kenal mereka?" Obsidian Seungyoun menyorot penuh selidik.

"Tidak." Arah pandang El kembali pada Seungyoun, "Hanya saja sedari tadi mereka selalu bercerita tentang Herr K."

"Herr K, Siapa?"

"Pimpinan Mafia..."

Jawab El enteng tanpa ekspresi berlebih. Ia menjeda kalimatnya sembari memberikan suapan terakhir untuk Seungyoun yang langsung pria itu lahap habis seluruhnya.

"...Dari kelompok bernama Black Phoenix."

Dahi Seungyoun berkerut, meski dia memiliki teman yang berlatar belakang keluarga mafia, rasanya nama itu asing. Entahlah, Seungyoun tidak begitu tertarik dengan kehidupan bawah tanah.

"Mereka juga berbicara tentang seseorang bernama Göring yang sekarang mengendalikan Black Phoenix."

El menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada yang akan mendengar perkataannya. Seungyoun masih menatap heran tingkah aneh El yang jarang sekali terjadi. Wanita itu sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat yang langsung Seungyoun ikuti. Berbisik,

"Kabarnya mereka sering menculik, membunuh atau kejahatan human Trafficking lainnya."

Sejenak El berpikir, mengingat sesuatu, "Menurutmu... apa orang itu masih ada kaitan keluarga dengan tangan kanan Fuhrer, orang terkuat kedua pemimpin Nazi, Hermann Göring?"

Tatapan penuh tanya El pada sorot obsidian Seungyoun yang terfokus, berakhir dengan jitakan kecil di dahi wanita itu. Membuat El mengaduh sakit dan kembali balas memukul lengan Seungyoun keras.

El sungguh-sungguh dendam akan semua prilaku semena-mena Seungyoun.

"Jangan berbicara sembarangan. Ayo kita pulang!"

***

Seungyoun harus tersedak minumannya sendiri saat tiba-tiba El menghampiri dan melemparkan jaket kulit kearahnya, tepat mengenai kepala. Dahinya berkerut melihat tampilan wanita itu, kesan feminim di senja tadi hilang begitu saja, terganti dengan riasan serba hitam berpadu leather jacket and jeans.

Wanita itu masih dengan santai mengenakan aksesoris tambahan lainnya yang mendukung kesan 'nakal' dalam dirinya.

Surai kecokelatan yang biasa tergerai kini ia kuncir kuda, beberapa piercing terkomplemen chain necklace semakin mempertegas siapa dirinya sesungguhnya. Dia tidak menghiraukan tatapan penuh tanya Seungyoun ketika pria itu menyorot penampilannya dari atas hingga kebawah.

"Mau kemana?"

"Mencari kesenangan." Sahut El sembari berlalu meninggalkan Seungyoun menuju ruang tengah.

"Cepat ganti pakaianmu, aku menemukan tempat hiburan tadi."

Seungyoun melirik jaket di tangannya yang El lempar tadi, tempat hiburan seperti apa yang ingin wanita itu kunjungi dengan outfit seperti itu?

Seungyoun mengikuti langkah El yang berada di ruang tengah, masih belum memahami situasi yang akan dia hadapi nanti.

"Kau ingin ke club, dengan pakaian seperti itu?"

El berbalik, berdecak malas. Dia melirik arloji yang melingkar, tidak ada cukup waktu untuk memberi penjelasan pada Seungyoun jika pada akhirnya pria itu akan menolak saat mengetahui kemana mereka akan pergi.

Anggap saja ini balasan atas jitakan Seungyoun tadi sore.

"Aku bilang ganti pakaian mu Jo. Ini lebih baik daripada club malam."

Tempat dimana yang katanya lebih baik daripada club malam, adalah destinasi yang membuat Seungyoun terus menghela nafas berat. Dia tidak tau bagaimana El bisa menemukan tempat yang terletak jauh dari pusat kota Austria— sebuah trayek ilegal.

Berulang kali seungyoun mendesah protes karena reaksi dingin El yang tidak mengindahkan semua ucapannya untuk pulang.

Angkuh, langkah kaki tertapaki bersama iringan derum kenalpot yang bersahutan menjadi backsound tersendiri ketika ia telah kembali. Dunia dimana karakter yang telah lama ia tinggalkan kini di gali. Sedikit bohong jika ia tidak merindu untuk menjadi si penakhluk jejeran Ducat yang menunggu. El adalah sesuatu yang tidak dapat kau cari kebenarannya, sebuah tanda tanya, atau Ellipsis.

Dibelakang, Seungyoun masih di kelabuti awan mendung ternoktah tanya. Dia pikir meninggalkan El dengan keterbatasan bahasa Jerman dapat mengunci pergerakan wanita itu. Namun salah, tidak ada yang bisa mencegah El untuk mengorek sisi tersembunyi dari Negara yang baru beberapa hari mereka tinggali. Wanita itu benar-benar memiliki insting dan mata setajam Phoenix.

"Tenanglah, kita hanya menjadi penonton." Ucap El sembari memantik rokok yang telah dia apit di material basahnya.

El mengerti apa yang ada dalam pikiran Seungyoun.

Seungyoun menatap tidak percaya pada wanita itu, dia begitu santai berbaur dengan beberapa penonton lainnya. Mungkin, tidak ada yang percaya jika ini adalah kunjungan kali pertama wanita itu berada di trayek ilegal Austria.

El begitu tau memilih tempat terbaik dimana mereka akan menyaksikan pertandingan, berbincang tentang bintang utama yang selalu menjadi pemenang sirkuit, dan tentunya ini tentang taruhan.

Seungyoun terus melirik kearah El yang begitu asik dengan dunianya sendiri. Apitan rokok di jemari lentik menjadi fokus. Setidaknya sudah beberapa minggu wanita itu tidak menyentuhnya, pertanda jika keadaan cukup baik sebelum tekanan kembali menyerang di alam bawah sadar. Tidak ada yang bisa Seunyoun lakukan di situasi seperti ini, dia hanya menggelengkan kepala— Baiklah. Selamat datang di kehidupan berbeda, Cho Seungyoun.

Kekhawatiran Seungyoun yang tidak berdasar semenjak menginjakkan kaki di trayek semakin bertambah ketika seorang pria asing berdiri di hadapan El.

Pria itu terlihat lebih muda dari Seungyoun, memiliki postur di bawah tinggi badannya, pahatan tegas di kanvas terlihat menawan, terkomplemen semakin tampan dengan surai Phoenix. Mata sebiru safir yang sialnya Seungyoun benci karena harus mengakui jika pria itu sialan sempurna tampan—sedang menatap El penuh minat.

Seungyoun bergegas menghentikan pria itu sebelum mendekat lebih kearah El, "What do you want?"

Seungyoun menepis lengan pemuda yang akan mengulurkan sesuatu pada El. Pemuda berwajah rupawan tersebut hanya melirik, diam, tidak menanggapi Seungyoun. Dia lebih memilih kembali mengulurkan helm kearah El yang kemudian di cekal Seungyoun.

El yang melihat itu hanya menaikkan satu alisnya, menatap datar pemuda asing di hadapannya, "Why?"

"Do you want to go with me to the race?" Ucap pria itu tanpa basa-basi.

Mendengar hal tersebut, Seungyoun segera mengambil posisi tepat di depan El, mencegah pemuda asing itu untuk membawa El ke sirkuit.

"Kau bisa mencari wanita lain untuk menemanimu bertanding." Larang Seungyoun dengan tatapan tajam menusuk, nada dinginnya mempertegas jika tidak ada satupun yang boleh mengusik miliknya.

"Aku tidak ingin mempertaruhkan nyawaku dengan seorang amatir." El menghembuskan asap rokoknya, berbicara datar pada pemuda itu.

Secepat revolver, tatapan tajam Seungyoun beralih kearah El saat wanita itu semakin memperkeruh keadaan.

"El. Kau sudah berjanji untuk menonton saja, bukan menjadi bagian."

"Aku tidak pernah membuat malu wanita yang menaiki motorku."

Pemuda asing itu menambahi, membuat Seungyoun meremat erat cekalan tangan di lengan pemuda itu yang tidak berpengaruh apa-apa baginya.

"Lepaskan tanganmu, Jo. Jangan menghajar orang di Negara asing." El mendekat, meraih tangan Seungyoun dan melepaskan cengkraman meremukkan itu.

Seungyoun tidak bisa lagi mengendalikan ekspresi kesalnya saat El meraih helm yang diberikan pemuda itu.

"Aku sudah bilang aku kemari untuk bersenang-senang."

El mengatakan itu sembari melepaskan pengait helm, menatap Seungyoun dengan senyum tipisnya.

"Kau bisa menghajar pemuda ini nanti jika dia membuatku malu di pertandingan." Seringaian tipis terbingkai di bibir cherry.

El membuang rokok yang sedari tadi ia hisap di aspal jalanan, menginjaknya sekali putaran.

Saat El akan berlalu meninggalkan Seungyoun ke arena sirkuit, Seungyoun kembali mencegah, "Aku tidak akan membiarkanmu lagi jika kau terluka setelah ini."

"Jika aku terluka, maka ini akan jadi pertandingan terakhir."

El kembali memberikan senyumnya, negosiasi ini mungkin akan berakhir panjang jika dia tidak mampu meyakinkan si keras kepala Cho.

"Apa kau tidak memikirkan apa akibatnya jika kau pergi kesana."

Lagi, Seungyoun mencari alasan untuk membuat El urung dari keinginannya.

Namun El menanggapi ketakutan pria itu dengan kikihan kecilnya, "Tenanglah, ini bukan Indonesia. Tidak akan ada yang mengenaliku."

Dia mengenakan helm, beralih mendekat kearah seungyoun, membisikkan sesuatu ke pria itu sebelum pergi meninggalkan Seungyoun menuju sirkuit bersama pemuda asing tadi.

"Aku selalu percaya, kau tidak akan membiarkan siapapun mencelakaiku."

***

Deru mesin Ducati merah memecah suasana saat pemuda asing itu terus memainkan gas. El yang telah menaiki jok belakang motor masih menatap lekat kearah Seungyoun, melemparkan senyum manisnya kesekian kali agar pria itu tidak terlalu gusar. Atensinya teralih saat pria yang berada di depannya bertanya, "Where do you came from?"

"Indonesia. You?"

"Jerman."

Pemuda itu membawa tangan El untuk memeluknya dari belakang. Sekilas dia melirik posisi Seungyoun yang memberikan tatapan tajam kearah mereka. Dia hanya menyeringai tipis tanpa El sadari.

El berfokus dengan tangan pemuda itu yang masih memainkan gas dan bersiap dengan koplingnya.

"Kau pasti tau kelemahan yang dimiliki Ducati, bukan?" El memperingati, agar pemuda yang belum ia tau namanya itu tidak lengah.

Pemuda itu hanya tersenyum miring menanggapi perkataan El. Dia melirik El dari kaca spionnya, "Jangan mengajari, aku lebih tau kemampuan motorku."

"Sudah berapa kali kau menakhlukkan trayek ini?"

El masih penasaran dengan pemuda yang dengan percaya diri mengajaknya untuk ikut dalam pertandingan ini.

Jawaban yang terkesan datar dan tidak terganggu dengan sikap meragukan El, membuat El semakin tertarik saat pemuda itu mengatakan sesuatu yang diluar prediksinya.

"Ini kali pertama aku menjajal sirkuit disini."

Seorang perempuan pembawa bendera serupa papan catur mulai mengayunkan tongkatnya, El memeluk erat pemuda bertubuh kurus tersebut. Balapan dimulai saat bendera diangkat ke udara.

Ducati merah melaju cukup kencang di trek lurus. Sedari awal El memiliki feeling, jika pemuda yang mengendarai motor di depannya memiliki kemampuan untuk menakhlukkan sirkuit. Meski dia tidak mengenali pemuda asing itu, El hanya percaya pada keyakinannya.

El mengakui saat lap putaran pertama mereka lewati, pemuda asing itu mampu mendahului lawan yang selama ini dikenal tangguh— tidak ada siapapun yang mampu mengalahkannya di sirkuit.

Ban motor yang bergesekan dengan aspal jalanan saat memasuki tikungan bergoyang ketika pemuda asing itu melakukan pengereman demi mengurangi kecepatannya di tikungan. Sikap tenang yang di perlihatkan pemuda itu saat mengatasi kekurangan motornya membuat El terus mengantisipasi rencana apa yang akan dia lakukan saat lawan tangguhnya berhasil menyalip.

"Apa dia kekasihmu?" Tanya pemuda itu di balik kemudinya.

El memajukan wajahnya, mengonfirmasi pertanyaan yang diajukan pemuda itu. "Si Jo maksudmu?"

"Hum."

"Bukan." Singkat El menjawab rasa ingin tahu pemuda itu.

"Tapi dia terlihat seperti seorang kekasih, terlalu mengkhawatirkanmu."

Pemuda dengan surai Phoenix melirik El di spion membuat pandangan sebiru safir dan manik cokelat  bertubrukan, saling terkunci.

El membuang wajah saat beberapa detik lalu terhipnotis oleh keindahan ametis itu.

"Fokus kedepan, aku setuju menaiki motormu tidak untuk menerima kekalahan."

Kalimat menyebalkan yang sengaja El berikan membuat pemuda itu menyeringai, "Seharusnya kau cukup tau, saat berkendara bukan hanya kemampuan mengendalikan motormu saja yang kau pamerkan. Tapi kau juga harus bisa mengetahui kelemahan lawanmu."

El berdecak dengan penuturan pemuda itu, terlalu banyak omong kosong yang dia tunjukkan sedari tadi. Ini adalah lap ketiga, putaran terakhir saat sebelumnya mereka berakhir seri.

Tubuhnya telah beberapa kali terhempas ketika berada di tikungan tajam, trayek kali ini merupakan trayek pertama yang patut ia labeli sebagai trayek penghabis nyawa. Pemikirannya tentang masa lalu saat ia berulang kali mengeksekusi jalanan dengan seseorang yang ia cintai— tidak. Kini telah ia benci, dengan kurang ajarnya muncul dalam ingatan.

El mengeratkan pegangan di pinggang, merapatkan sandarannya dibelakang punggung pemuda itu. Dengan kecepatan maksimal di lintasan pencabut nyawa ini, ia ingin menyublimkan semua memori lama.

Garis finish tinggal beberapa kilometer di depan sana, posisi mereka hanya berjarak beberapa meter dengan lawan yang terkenal tangguh berada di depan.

Kegusaran yang ditujukan El mampu di baca oleh pemuda itu. Sengaja, sedari tadi pemuda itu hanya membiarkan lawannya— namun tetap mempertahankan posisi tidak jauh meski berulang kali dia dibuat tertinggal di belakang.

Pemuda itu kembali mengambil alih atensi El, berbicara sedikit keras saat ia mulai meninggikan spidometernya. "Apa kau tau julukanku ketika di sirkuit?"

El mengerutkan dahi, kembali menatap pemuda itu di pantulan spion. Ia melihat pemuda itu menyeringai puas saat mengatakan siapa dirinya.

"Frankeinstein."

Setelahnya El merasakan nyawanya baru saja di hempas secara cuma-cuma saat seluruh pandangannya buram akibat kecepatan menantang. Pemuda itu masih tersenyum dengan pembawaan tenang, fokus kedepan dengan tangan yang menyiapkan kopling dan mengendalikan tinggi kecepatan Ducati-nya.

"Watch me, Ms. Köhler"

Ketika angin mengaburkan pendengaran El, melenyapkan seluruh kesal yang beberapa detik lalu membumbung, hilang begitu saja saat ia melihat akhir dimana bendera garis finish telah di kibarkan.

El berteriak senang, menoleh kebelakang melihat kekesalan sang lawan saat di detik-detik terakhir finish mereka harus menerima kekalahan. Lawannya itu terus memukul-mukul kesal body tanki motor miliknya sembari memberi tatapan mematikan kearah El dan pemuda bersurai merah itu.

El berdiri dari jok belakang, merentangkan kedua tangan demi merayakan kemenangannya.

"Woah bagaimana bisa?!" Tanya El tanpa mengurangi sedikitpun tawa bahagianya.

"Kau sendiri yang berkata untuk menggetahui kelemahan motorku!"

Jawab pemuda itu tidak kalah kencang saat mereka masih melakukan selebrasi. Pemuda bersurai Phoenix menoleh kebelakang untuk melihat euphoria senang El, dia juga ikut mentertawakan lawan yang kesal di belakang sana.

El seperti baru menyadari sesuatu yang luput, pemuda bersurai merah itu sebenarnya tidak memiliki kelemahan untuk mengendalikan motor. Dia mampu mengatasi performa buruk dari motornya saat berada di tikungan. Ketika berkendara dia terus menganalisis kelemahan lawan dan mengeksekusi titik lemah lawan di waktu yang tepat. Pemuda itu beradaptasi dengan cepat untuk menakhlukkan sirkuit. Tidak akan ada yang percaya jika ini kali pertama dia bertanding di tempat ini. Cerdas.

"Apa kau datang ke Aussie hanya untuk bertanding?" El melepaskan helm-nya dan menyerahkannya.

"Sesuai dugaanmu. Thank you karena bersedia menemaniku bertanding." Senyum tipis tercetak, membuat lengkungan di ametis itu sedikit menyipit.

"Your pleasure. Dan selamat untuk kemenanganmu, kau membuat kecewa para pendukung yang kehilangan taruhan mereka." Tawa keduanya mencairkan suasana, memberikan kesan akrab.

"Who is your name?" Pemuda berametis biru mengulurkan tangan pada El.

"Nana." El menyambut baik uluran tangan.

Nana, nama yang ia pinjam.

"You can call me, Nana. You?"

"Orion Archelaus." Kata pemuda itu, begitu tenang tanpa melepas sorot ametisnya terhadap El.

El menaikkan sudut alisnya, "Orion? Jika begitu kau tidak cocok denganku. Aku bisa menyengatmu."

Jawab El yang dibalas dengan tawa dari pemuda bernama Orion.

"Apa kau turun kebumi hanya untuk membunuhku lagi? Tapi kau harus berhati-hati karena aku telah lebih dulu memburumu."

Segala ketegangan diantara keduanya berhasil Orion hapus. Dibalik wajah dingin yang pemuda itu miliki, El tidak menemukan sesuatu menyebalkan dari pemuda itu.

Disisi lain Seungyoun masih dengan perasaan bergemuruh takut saat dia menyaksikan sendiri keberanian yang El miliki.

Malam ini dia seolah melihat dua orang bodoh yang tidak memiliki akal realistis untuk takut mati. Berdiri dan merentangkan tangan ketika motor berada dalam kecepatan menantang, serta tindakan pemuda itu yang mengabaikan pandangan kedepan dan melepas setang saat melakukan selebrasi.

Tapi Seungyoun sedikit bisa memaafkan tindakan pemuda bersurai Phoenix ketika satu tangannya menumpu tubuh El— menjaga.

"Baru semalam ia berteriak takut mati dalam mimpinya dan sekarang malah menantang nyawa." Rutuk Seungyoun saat berjalan mendekat kearah El.

"Aku pikir urusanmu sudah selesai, dan dia harus pergi denganku."

Seungyoun menginterupsi percakapan keduanya. Membuat suasana hangat kembali tercekat.

Ada bara disana, dan Orion sengaja membuat percikan semakin membesar dengan satu siraman bensin.

"Ternyata temanmu cukup posesif."

Pemuda bersurai Phoenix menoleh ke arah Seungyoun. Tatapan datar dengan senyum mencemooh ia tujukan pada Seungyoun.

"Apa kau akan betah dengan sikapnya itu? Jika tidak, kau bisa datang padaku."

Pemuda bernama Orion kembali menatap El, mengabaikan aura merah dalam diri Seungyoun yang berhasil dia pancing.

Kepalan tangan Seungyoun mengerat dikedua sisi, jika beberapa silabel terlafal lagi dari mulut si merah itu, Seungyoun telah siap membalas perkataannya— dengan cara radikal.

Melihat hal tersebut, El hanya mendengus dengan candaan yang diberikan Orion namun tidak dapat di tangkap oleh Seungyoun. Entah apa yang terjadi dengan temannya malam ini, tidak biasanya Seungyoun tersulut emosi begitu cepat ketika bertemu dengan orang baru.

Seungyoun adalah seorang Social Butterfly, dia selalu menemukan koneksinya dimanapun berada. Tapi malam ini, pria itu seolah membangun tembok besar, membatasi siapa saja untuk masuk di dunia yang dia miliki, termasuk El.

"Aku tidak pernah kesal meskipun dia menyebalkan, dan aku tidak berniat untuk menemuimu lagi."

Final El mengakhiri perdebatan tanpa suara diantara keduanya. Obsidian berperang melawan ametis El tepis dengan cara El menjauhkan tubuh Seungyoun yang melangkah mendekat kearah Orion.

El segera menarik Seungyoun untuk menjauh sebelum dia melihat sirkuit itu berubah menjadi arena tinju. Dia terus menggeret Seungyoun keluar dari arena sirkuit, tanpa menoleh ataupun membalas lambaian Orion.

Selepas kepergian keduanya, Orion menyunggingkan senyum miring. Dia mengambil ponsel di saku dan menelepon seseorang.

"Aku sudah mendapatkannya"

Orion menatap kearah punggung El yang sudah berada jauh dari jarak pandangnya. "Apa yang harus aku lakukan?"

Terdengar suara yang begitu dingin menjawab di balik telepon, "Terus awasi dia selama disana."

Orion mengangguk dan mengakhiri telepon itu sebelum berkata;

"Baik, aku akan bergerak sesuai perintahmu."

FOLLOW CAST ENOUGH LOVE ON INSTAGRAM

EL @/Elnotelsaa

HANS @/Hans_wooya

JO @/Chosyoun__

KOKO @/Liem_woo

MICHAEL @/Lee.michael07

MBAK SHA @/Hwasha_w

Maaf sebelumnya untuk para readers karena saya belum memiliki jadwal tetap untuk publish work Enough Love ini. Semoga kalian tetap sabar dan bertahan membaca work saya, serta memaafkan kekurangan saya.