Aku bertanya dan dia menyangkal.
Bukankah kita sama?
Tidak, aku berbeda.
Kenyataanya, kita sedang mencari dua persimpangan yang mana hanya ada satu jalur.
Meski begitu aku tidak pernah berbalik walau terjebak di jalanan penuh duri.
- El & Jo -
***
Ada dua hal di dunia ini yang sampai sekarang El tidak mengerti. Kenapa dia di lahirkan dan kenapa segiempat harus memiliki empat sisi.
Bercanda? Tidak.
Itu adalah pemikiran absurdnya dulu ketika melihat salah satu temannya menerima hadiah ulang tahun. Sebuah kotak empat sisi yang berisi boneka barbie lengkap dengan pakaian berwarna pink. Hal pertama yang membuat El iri sampai dia harus merengek pada ibunya agar dibelikan hadiah serupa di hari ulang tahunnya.
Namun, El tidak mengerti akan kata-kata sang ayah dulu, dia pikir itu hanya sebuah kalimat yang begitu saja terucap akibat beliau terlalu lelah bekerja saat mendengar permintaan kecilnya.
"Kenapa harus merayakan ulang tahunnya saat kita tidak tau kapan dia di lahirkan."
Reset, momen di usia tujuh tahun El hanya ingin mengingat segala sesuatu dengan indah. Tentang senyum hangat Ibu yang menyambutnya ketika pulang. Ingatan tentang jajaran padi menguning disawah milik orang tuanya yang setiap hari dia lewati. Atau tentang sang Kakak yang menguncir kuda rambut panjangnya sebelum ke sekolah.
Tapi semua kenangan itu seolah mengabur dalam ingatan masa kecil dan hanya menyisakan satu kenangan. Kata-kata sang Ayah. Kata-kata yang tidak berarti apa-apa dimasa kecil namun meninggalkan bekas cukup dalam; dalam ingatan, dalam hati dan tertancap melubangi hingga merasakan jantungnya terus berdarah.
Waktu pula yang memberi gambaran pada El, dalam hidupnya tidak ada yang mudah meski dia telah melakukan segala sesuatu dengan baik. Meski dia telah mempersembahkan usaha tulusnya untuk membuat orang-orang sekitar menerimanya.
Semua kenangan yang tersisa dari rasa sakit telah menghancurkan dirinya hingga berserak. Sebuah bintang yang pernah dia genggam terpaksa ia relakan saat seseorang menebas tangannya, membuat bintang itu terjatuh.
Kebahagiaan.
Dia berperang hingga akhir hanya demi sebuah kebahagiaan yang terasa semu.
Sampai dia menyerah, mengabaikan segala ending dongeng yang percaya jika dibalik pahit akan ada bahagia.
Sampai dia memutuskan untuk tidak berbagi pada siapapun. Rasa sakit, kesedihan, kesepian, atau duka. Dia menyimpannya sendirian, terus dibiarkan menumpuk tanpa seorangpun di perbolehkan mengurangi semua sakit yang dia pendam.
El tidak pernah sekalipun mencintai dirinya sendiri, tidak sampai dia bertemu pria itu. Merasakan jatuh cinta begitu dalam namun harus di lempar sejauh mungkin saat dia memberikan ketulusan.
Lagi-lagi cinta yang dia beri selalu di tolak.
Kini dia kembali terhempas, bagaikan butiran kapas melayang terbang sejauh mungkin dan singgah pada sosok bernama Cho Seungyoun. Dia tidak tau sampai kapan butiran-butiran itu merekat sampai dia akan melayang lagi.
Itu sebabnya dia tidak ingin memulai sesuatu yang akan berakhir sia-sia. Termasuk cinta dan harapan akan adanya kasih sayang keluarga.
El tidak pernah tersentuh secara lembut.
Sampai El lupa, jika batu tidak selamanya utuh ketika ombak terus berusaha keras menyentuhnya dengan kelembutan air. Dan Cho Seungyoun adalah ombak itu, memberikan friksi tersendiri di tengah samudra tak terbacanya. Hingga mereka menjadi bagian yang tidak dapat di pisahkan, sembari menunggu seseorang yang akan berselancar memecah ombak demi menyelami kedasaran samudra El.
Cho Seungyoun adalah representatif pelindung dari pecahan abstrak El.
"Kenapa kau terlihat tidak menyukai pemuda itu?" El memecah keheningan diantara mereka.
Sedari tadi Seungyoun hanya bungkam sembari berjalan di depan El. Tidak ada sepatah kata yang Seungyoun ucapkan saat keluar dari arena sirkuit.
Kebisingan derum kenalpot berlalu lalang menjadi satu-satunya harmoni pengisi scene tegang diantara keduanya.
Seungyoun masih tidak mengerti kenapa dia tidak menyukai segala sesuatu yang terjadi malam ini. Sesapan rokok dimaterial basah itu, jerit kesakitan seketika berganti euphoria felicity* bahkan belum genap dua puluh empat jam. Atau hal lain yang membuat dia menjadi kesal tanpa sebab, saat El-nya begitu mudah menerima orang asing mendekat, ketika sebelumnya dia selalu menjadi pihak yang menghindar bertemu orang baru.
Seungyoun tidak mengerti.
"Jo..." El memegang lengan Seungyoun saat dia tidak mendapat jawaban apapun.
"Aku tidak suka denga pria itu, dia terlihat berbahaya."
Ucapan datar itu hanya di tanggapi dengan senyum kecut El.
"Tapi aku menyukainya, dia tampak bersahabat." El menghentikan langkah besar Seungyoun, memberi penjelasan agar pria itu tidak lagi mendiamkannya.
Dia tidak ingin menutupi rasa sukanya terhadap Orion, El pikir pemuda asing itu bukan orang yang berbahaya meski kesan dingin tak terbaca menyelimuti dirinya.
"Selama berkendara dia tidak berbuat sesuatu yang aneh, aku rasa dia hanya mencari teman di Negara asing."
El menjeda, mengamit kedua lengan Seungyoun agar berfokus pada tatapan manik cokelatnya. Tapi pria itu masih terlihat tidak menyukai penjelasannya, Seungyoun hanya menatap datar El.
"Aku sudah lama berteman dengan banyak pria dan aku cukup tau orang-orang seperti Orion bukan seseorang yang harus diwaspadai."
"Memang benar, jika kita harus berhati-hati dengan orang asing. Tapi aku pikir untuk menilai mereka menggunakan emosi sesaat bukan hal yang tepat, itu hanya akan membuat penilaianmu terhadap dia menjadi buruk." Jelas El yang hanya di tanggapi dengan dengusan Seungyoun.
"Namanya Orion?" Tanya Seungyoun.
"Hmm."
"Jelek sekali, seperti wajahnya." Terselip nada meremehkan yang sengaja Seungyoun tunjukkan kepada El.
Entahlah, Seungyoun hanya ingin mencari gara-gara saja malam ini. Dia tidak akan menanggapi ucapan El tadi, meski semua yang dikatakan wanita itu benar. Seungyoun hanya ingin menutup telinga dan rasionalitasnya.
"Lagian apa kau tidak lihat, matanya itu memancarkan aura—"
"Apa? Apa mata birunya dapat menyihir ku? Jika iya, maka aku akan minta dia merubahku menjadi katak."
El menyela, membuat Seungyoun semakin geram karena El terlihat lebih membela pemuda bernama Orion itu.
"Apanya yang istimewa dari Oreo biru itu sampai kau begitu membelanya. Aku benar-benar benci si mata biru itu. Dan juga, ada apa dengan rambut merahnya? Mode fashionnya benar-benar payah." Rutuk Seungyoun sembari melengos meninggalkan El.
Dia berjalan dengan langkah cepat tanpa peduli dengan cicitan kesal El yang mengatainya kritikus pekok*. Justru dengan rambut Phoenix Orion semakin terlihat tampan dan mempesona.
"Baiklah, aku tidak akan menemui pemuda itu lagi di sirkuit!"
El sedikit berteriak saat mengatakan itu, berharap dapat membuat rasa kesal Seungyoun mereda. Tapi orang yang di teriakinya tanpa peduli terus melangkah, membuat El terpaksa mengejar untuk kembali mensejajarkan langkah mereka.
"Apa itu belum cukup? Aku pikir kau hanya tidak menyukainya. Jadi aku tidak akan berurusan lagi dengannya ketika di sirkuit."
Keheningan mengisi langkah kaki, membuat jeda yang sengaja Seungyoun ciptakan serasa mendikte El untuk membungkam jajaran karangan yang ia ciptakan. Pria itu masih bergeming dengan ego dan harga dirinya yang tidak ingin di bantah.
Selama ini Seungyoun menempatkan diri sebagai kakak yang protektif terhadap El. Segala sesuatu yang menimpa El adalah tanggung jawabnya, dia telah bersumpah untuk tidak membiarkan El mengalami kejadian buruk lagi.
Tapi semua kasih sayang yang coba Seungyoun sampaikan pada El tidak pernah di terima dengan baik oleh wanita itu. Hidup serampangan tanpa berpikir terlalu jauh menjadi pilihan yang telah El ambil. Dia telah memutuskan untuk hidup di hari ini, menikmati apa saja meski bahaya masih mengancam.
"Tidak hanya di sirkuit, tapi juga di luar sirkuit."
Seungyoun memecah keheningan, dia ingin El mengerti jika saat ini ada seseorang yang berada di sisi wanita itu dan selalu mengkhawatirkan keadaannya.
Oleh sebab itu dia memperingati; "Aku tidak akan mengijinkanmu ikut balapan, apalagi bertemu orang-orang di sirkuit itu."
"Jika begitu aku tidak akan memiliki teman selama tinggal disini." Dengus El.
"Kau bisa menemui banyak orang di Austria. Ada banyak mahasiswa dari Asia yang bisa kau temui disini. Atau kau bisa mengikuti kelas fotografi jika kau ingin."
Seungyoun menjeda, menghentikan langkahnya, obsidian itu menatap lembut pada manik kecokelatan.
"Tolong mengerti, aku memiliki firasat buruk tentang pemuda itu dan orang-orang di sirkuit tadi. Itu bukan tempat yang tepat untuk kau bersenang-senang."
El menghela nafas berat, dia tidak mengerti kenapa malam ini Seungyoun terlihat berlebihan. Dia terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti kebenarannya, hanya intuisi, firasat nihil akurat.
"Jo, kau lupa siapa aku? Aku bisa menjaga diriku." El kembali mencari alasan lain, "Mungkin kau pikir ikut balapan berbahaya, tapi aku sudah lama ada di jalur ini. Aku juga cukup tau bagaimana mengatasi segala akibat yang bakalan terjadi."
"Meski begitu, tidak selamanya Ghost Rider terus dapat menghindar dari takdir."
Ada friksi tersendiri yang bertubrukan dalam pemikiran Seungyoun, "Dan bagaimana cara kau menghadapi mereka yang mengejarmu jika tidak terima karena kekalahannya?"
"Aku sudah sering menghadapi situasi seperti itu." El melipat kedua tangan di dada, tak kalah intimidasi dia menatap Seungyoun.
"Bahkan salah satu rekanku dulu ada yang celaka karena di tabrak saat pulang dari trayek. Tapi kau lihat, aku masih hidup."
Rasa ngeri seketika menghampiri, Seungyoun sedikit melirik melalui ekor mata, memastikan keadaan di belakang mereka tidak ada siapapun yang mengawasi atau mengikuti.
Semua ucapan El terkesan datar dan biasa saja meski wanita itu harus mengingat kejadian lama. Seringaian tipis terselip pada material basah secerah cherry, El dapat menangkap rasa gugup yang kuat-kuat Seungyoun tutupi. Dia tidak menyangka jika bermain-main dengan Seungyoun sedikit membuatnya terhibur. Meski tidak di pungkiri, ada kesal menghampiri saat Seungyoun lagi-lagi mengekang dirinya.
"A—apa semua akan sama meski di Negara berbeda?"
Seungyoun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entah kemana bahu yang menopang keberanian Ares tadi saat mencoba mengekang El. Bulu kuduknya berdiri ketika sedari tadi lalu lalang kendaraan dari arah sirkuit tak kunjung henti melewati. Kegugupan yang semula dia tutupi tidak berhasil dibuang, mungkin saat ini dia terlihat seperti pria bodoh di depan El.
"I don't know." El mengangkat kedua bahu asal, "Aku dengar tadi mereka memasang taruhan terlalu banyak untuk lawan Orion."
El mencondongkan tubuh mendekat pada Seungyoun, berbisik terlalu pelan sampai Seungyoun harus membagi konsentrasi untuk beberapa silabel yang terlafal dari bibir cherry.
"Dan kau tau sendiri... mereka melihat diriku bersama Orion tadi." Ada jeda yang sengaja El buat, "Menurutmu apa yang akan terjadi jika mereka tau aku disini?"
Jemari lentik itu terayun dikedua sisi tubuh seiring langkah kaki berjalan sedikit riang, dia menirukan bagaimana cara Seungyoun melakukan relay dance. Meninggalkan pria itu yang masih diam dengan asumsi dan perspektif dalam pemikiran.
Dunianya dan El sangat bertolak belakang, kenakalan remaja pada tahapan apapun tidak dapat untuk menjadi tolak ukur satu sama lain. Saat di bangku sekolah, Seungyoun hanya mengisi catatan merah dengan membolos, mengabaikan tugas, sengaja telat dan melompati pagar atau ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Tentu tidak akan sama jika dia membandingkan betapa badungnya cara El memberontak.
Balapan liar— sesuatu yang sudah Seungyoun lihat sendiri, dan El mengatakan itu merupakan caranya bersenang-senang. Sekelebat pemikiran negatif tentang El tanpa sangsi turun kelapangan ikut terlibat tawuran, mengisi sisi-sisi kosong yang hanya dia sediakan untuk mencari dan menjawab sendiri pertanyaannya tentang bagaimana hidup yang El jalani dahulu.
Seungyoun tidak menampik jika semua yang dia larang ke El terkesan berlebihan, saat dia mulai mengatur segala sesuatu untuk El menjalani hidup dengan baik. El memiliki dunianya sendiri yang tidak bisa begitu saja wanita itu lepaskan.
Tapi seolah ada hal lain, sebuah firasat tanpa sebab yang tidak dapat dia sangkal atau cari kebenarannya. Membuat dia terus diserang sekelebatan bayangan menakutkan jika tidak berhati-hati.
Tidak ada tempat aman untuk keduanya, walau mereka diberada di Austria sekalipun. Seungyoun hanya takut kembali menghadapi sesuatu di luar kendali.
Sejujurnya, dia masih belum mempercayai El sepenuhnya.
Dia takut jika wanita yang tengah berjalan di depannya itu kembali memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan caranya. Menjadikan balapan terakhir yang dia katakan di arena sirkuit, sebagai akhir dari dirinya yang sebenarnya. Karena ketakutan terbesar Seungyoun bukan orang lain, melainkan wanita itu sendiri.
Sisi lain dalam diri El yang selalu menginginkan kematian.
Seungyoun terus menatap punggung El, ada lukisan tersembunyi pada kanvas berdiameter kecil. Ketika malam ini dia hanya melihat satu lukisan dengan tinta hitam mendominasi. Hitam dengan corak kemerahan, dimana Orion menjadi bagian dalam mengisi titik kecil tak kasat mata.
Meski keduanya adalah sama— batu. Seseorang dengan tingkat ego yang terlampau tinggi. Mustahil untuk membuat satu sama lain sejalan dengan kemauan masing-masing. Salah satu diantaranya harus menjadi pihak yang mengalah sebelum keduanya berserak pecah.
Dan seungyoun selalu menjadi pihak tersebut, ketika dia tidak memiliki apapun lagi untuk menahan selain membiarkan egonya merendah demi meminta. Dia mengikis emosi yang mengisi penuh puncak super ego, demi kehidupan yang ingin dia lihat akhir kebahagiaanya.
"El..."
Pelan Seungyoun memanggil dengan nada lembut yang selama ini tidak pernah bisa untuk El tolak. Dia berbalik, menatap Seungyoun khitmad sebelum beberapa silabel terlafal dari bibir pria itu.
"Aku memang mempercayaimu. Tapi... mengertilah, sampai saat ini aku masih takut jika sewaktu-waktu kau bertindak nekat seperti beberapa tahun lalu."
"Kau sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri, orang terpenting yang ingin aku jaga dan lindungi selain Mom. Aku tidak mau ada sesuatu yang buruk menimpa dirimu. Mungkin kau menganggap aku egois dengan apa yang aku lakukan. Tapi itu semua untuk kebaikanmu."
Jeda menjadi spasi dibalik permohonan yang tersampai, "Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan jika kau terus memilih pergi."
Sayatan luka dengan garis-garis kecil tercetak disana. Ada luka yang belum sepenuhnya tertutupi, ada luka dengan diagnose fatal—terlalu mustahil untuk sembuh. Terlebih saat luka itu menjadi bayangan alam bawah sadar ketika obisidiannya terus menatap dalam ke manik cantik itu.
Dia menyelami, terlalu dalam sampai tidak tahu lagi bagaimana cara untuk keluar terlebih luka sudah lebih dulu membalutnya erat hingga memberatkan pergerakannya.
"Bisakah kau meninggalkan ini semua? Berusaha melupakan dia tanpa harus membahayakan nyawamu. Kita sudah sejauh ini, dan aku rasa mereka sudah melupakan kejadian itu."
Seungyoun menarik nafas dalam, "Seperti ucapanmu saat di pesawat waktu itu. Mulai saat ini, bisakah kau memikirkan kebahagiaanmu saja? Menjadi El dengan kehidupan baru tanpa menyalahkan keadaan atau siapapun, tanpa menghukum diri sendiri, dan menutup semua diary lamamu."
"Sudah saatnya kau harus bahagia."
Pelan Seungyoun meminta rasa pengertian.
Terlalu pelan hingga dimensi yang dia ciptakan membekukan keduanya. Buraman di sebelah kiri sisi jalan menampakkan partikel kecil bewarna hijau, putih, merah dan hitam. Guguran daun maple seolah melambat di belakang punggung El. Tidak ada momen nanodetik, semua waktu terhenti. Hanya dia dan El, titik fokus Seungyoun.
Namun, jemari lentik itu terkepal seiring silabel terucap dari pria di hadapannya. Seteguk rasa pengertian yang coba Seungyoun minta tidak berarti apa-apa.
Benar, selama ini El benci jika kebebasan yang dia inginkan selalu di kunci rapat Seungyoun. Tapi dia lebih membenci, terlebih ketika dia telah berbagi rasa sakitnya. Lambat laun pria itu memahami semua jalan pikiran El, semua kata yang hanya ia sampaikan melalui sorot mata.
"Apa kau tau hal apa yang membuatku begitu bahagia menaiki motor?"
Ada hirupan respirasi di paksa berkejar dengan satu detakan yang lebih cepat terpompa.
El benci memiliki kelemahan, dia benci ketika ada cela yang ia miliki sehingga dapat membuat siapapun memiliki peluang untuk menyakitinya. Dan dia benci ketika lagi-lagi Seungyoun mengetahui semua kelemahannya. Ataupun Seungyoun menjadi satu-satunya orang yang memegang kunci kendali.
Selama ini dia menjadi si kubus persegi dengan kuncian rapat yang tidak mudah di buka atau dibaca oleh siapapun. Memanipulasi segala keadaan adalah keahlian, sampai dia tidak tau jika telah banyak peran yang ia lakonkan, hingga pria dihapannya kini telah melihat banyak rupa dalam dirinya.
Rupa yang hanya di dominasi oleh satu presensi, kematian.
"Karena aku tak perlu mendengar ucapan atau teriakan siapapun ketika angin mengaburkan pendengaranku."
***
"Apa kau mau membuat caramel?"
Seungyoun tersentak dari lamunan saat seseorang mengintrupsi dirinya.
Suho Geovano Kim, senior sekaligus mentor di perusahaan tempat dia magang tiba-tiba datang dan mengejutkannya.
Seungyoun menatap bingung kedatangan seniornya itu, dia tidak mengerti akan maksud caramel yang barusan Suho katakan.
Mengerti akan kebingungan Seungyoun, Suho mengalihkan tatapan pemuda itu kembali kecangkir kopinya.
"Dari tadi aku perhatikan, kau terus menambah gula. Sejak kapan kopi memiliki perbandigan gula 85%?" Sindiran dengan kikihan tipis terlontar dari pria pemilik senyum manis itu.
"Ada sesuatu yang menganggumu? Atau kau sedang berkelahi dengan pacarmu? Kau bisa bercerita jika kau mau." Dia kembali bertanya pada Seungyoun karena penasaran.
Sejak pagi, Seungyoun yang biasanya terlihat cerah dan selalu meramaikan suasana dengan humor yang dimilikinya, tiba-tiba terlihat muram. Seperti tidak memiliki selera apapun, apalagi menanggapi candaan di sela-sela waktu luang yang timnya miliki.
Perdebatan dengan El semalam membuat keduanya berakhir dengan saling diam tadi pagi. El mengabaikannya, dia menolak untuk sarapan bersama bahkan ketika Seungyoun akan beranjak pergi ke kantor, El tidak mau mengantarkan Seungyoun di depan pintu seperti biasa.
Seungyoun ingin sedikit menyalahkan nightmare El yang kadang datang disaat tidak tepat. Dia mengutuk keadaan yang membuatnya tidak memiliki alasan untuk berbaikan.
Terlalu sulit untuk mengajak El kembali bicara jika wanita itu sudah mendiamkannya.
Pria bernama Suho yang sudah lama menetap di Austria memang terkenal dengan sikap baik dan ramahnya. Suho selalu memperhatikan rekan-rekan lain layaknya saudara, dia juga senior yang pertama kali dekat dengan Seungyoun ketika baru masuk magang.
"Tidak ada apa-apa Hyung."
Seungyoun menjawab sembari tersenyum, dia tidak ingin membuat seniornya itu tersinggung karena mengabaikan niat baiknya.
"Mungkin aku sedikit rindu dengan Mom di Indonesia."
"Anak Mami, huh?" Suho memberikan gelas kopi baru yang dia buatkan untuk Seungyoun dan membuang caramel rasa kopi milik Seungyoun.
Cengiran tercetak lebar di bibir Seungyoun ketika seniornya itu menyindir. Dia menyesap kopi yang diberikan Suho tadi.
"Aku anak tunggal, sebelum pergi ke Austria aku tidak sempat menemui Mom. Mungkin dia akan memarahiku saat kembali nanti."
"Bukankah itu keterlaluan? Seharusnya kau meluangkan waktu untuk Mom mu sebelum pergi kesini." Suho sedikit tidak percaya dengan apa yang Seungyoun ucapkan.
Meski terkadang hubungan anak lelaki dan ibu tidak selalu dekat, Suho tidak bisa menerima opsi alasan apapun yang menganggap wajar pergi ketempat lain tanpa berpamitan. Ini kita sedang berbicara antara Austria dan Indonesia yang terbentang jarak 5.817 mil laut, bukan tentang Kebayoran Lama dan Kebayoran Baru sejarak 6.1km.
Fyi, Suho adalah anak yang mendedikasikan diri penuh bakti pada kedua orang tua.
Seungyoun menanggapi protesan Suho dengan kikihan kecilnya. Usia mereka memang terpaut jarak lima tahun, tapi seniornya itu membebaskan Seungyoun untuk berbicara informal padanya, membuat keduanya terlihat seperti sudah lama saling mengenal.
"Kau memiliki pacar di Indonesia?" Suho mengalihkan pembicaraan mereka sebelumnya.
Dia sedikit penasaran dengan kehidupan percintaan Seungyoun. Pria itu terlihat menjaga jarak pada beberapa junior wanita yang terus berusaha mencuri simpati Seungyoun.
"Tidak." Seungyoun menjawab datar.
"Terlibat perasaan dengan lawan ONS mu?"
Kopi panas yang baru Seungyoun sesap tersembur begitu saja tanpa tau tata krama. Rasa lidas seketika memenuhi ujung lidah. Dia tidak tau harus menjawab bagaimana pertanyaan yang terlontar dari seniornya itu.
Melihat raut terperangah Seungyoun, Suho hanya tertawa dan menepuki bahu juniornya itu. Dia tidak menyangka jika umpan yang dia lemparkan justru membuahkan hasil pancingan penasarannya.
"Bagaimana ini, kau terlibat cinta sepihak ternyata."
"Bukan seperti itu ... Argh sudahlah." Seungyoun tidak dapat berkata-kata lagi.
Dia membiarkan ellipsis itu dengan sengaja, tidak akan membenarkan ataupun menyangkal.
"Baiklah. Baiklah... aku tidak akan bertanya apapun lagi. Semoga urusan hatimu cepat selesai dengan wanita itu."
Suho mengakhiri tawa gelinya terhadap Seungyoun, beralih membuang cangkir kopinya yang sudah habis.
Dia tidak akan menggoda Seungyoun lagi, membiarkan pemuda itu larut dalam kegalauannya sendiri.
"Tapi harus kau ingat, jika kau membutuhkan teman curhat, aku selalu siap."
Pemilik senyum hangat itu menatap Seungyoun lekat. Dia memposisikan diri sebagai sahabat dekat pada siapapun orang yang dia anggap tepat.
"Jangan selalu menanggung segala sesuatu sendiri. Setidaknya kau harus memiliki sandaran ketika tidak dapat menahan bebannya."
***
Aksi kejar-kejaran terjadi di bagian Timur Singapura.
Pria berpakaian serba hitam dengan topi sebagai pelindung menutupi wajah terus berlari mencari tempat terisolasi untuk bersembunyi. Peluh membanjiri diri, nafasnya tersengal, ia mengumpati orang di seberang sana. Janji yang mengatakan akan memberikan dia keamanan di Negara dengan tingkat kriminalitas rendah, ternyata hanya bualan belaka.
Dia di jebak.
Tidak akan ada yang selamat dari situasi ketika nama itu telah disebutkan. Hanya mendengar namanya, siapa saja dapat merasakan jika mereka telah mendekati ajal.
Kebengisan sosok itu yang membunuh siapa saja tanpa kenal ampun membuat dirinya dijuluki sebagai Anubis.
Sampai detik ini, tidak ada yang berani untuk menghadapi kebengisan sang Anubis.
Göring, orang terbengis kedua setelah tangan kanan kepercayaan Sang Junjungan. Menjadi momok tersendiri ketika sosok itu memutuskan untuk menampakkan diri.
Darah terus mengucur dari kaki pria bertopi itu, luka tembak yang dia dapatkan membuat langkah kakinya terhambat untuk terus menghindar dari kejaran orang-orang Göring.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, begitulah pribahasa yang menggambarkan dirinya saat ini. Kesetiaan yang dia tukar dengan nominal fantastis harus dibayar dengan kematian.
Langkahnya terhenti ketika dua orang berbadan gempal menghadang dari arah depan. Dia sudah di kepung, pergerakannya terkunci, tidak ada jalan lain selain menyerahkan diri.
"Maafkan saya, Herr." Ribuan kata maaf terlontar, menghamba pada jajaran kaki demi sebuah nyawa yang ingin dia pertahankan.
Terlihat menyedihkan ketika dia masih berusaha merangkak saat kedua kakinya mendapat hadiah timah panas lagi dari pistol buatan Rusia yang terkenal dengan kemampuan daya tembaknya, Desert Eagle.
"Saya akan melakukan apa saja. Asal anda tidak membunuh saya dan keluarga saya Herr. Maafkan saya."
Langkah-langkah kematian menghampiri. Dia mendekat, sosok Anubis yang tidak semua orang bisa bertemu dan menatap matanya. Sosok yang hanya akan datang untuk sebuah kematian.
Pria malang itu terus berusaha memohon pengampunan dari mata bengis sang Anubis.
"Tidak ada ampun bagi pengkhianat."
Akhir. Ketika peluru menembus tepat di tengah dahi. Membuat darah memercik mengenai dinding pembatas di lorong sepi tanpa penghuni.
Sosok bengis itu hanya menatap dingin pada orang yang baru saja berhasil dia jadikan mayat. Dia mengusap darah yang mengenai dirinya dan mendecih jijik meludahi mayat itu.
Ini hukuman bagi siapa saja yang berani melanggar perintah.
Dia berucap datar pada orang-orangnya, "Penggal kepala pengkhianat ini dan kirim ke istrinya. Biar dia tau ganjaran untuk orang yang mencoba menjadi pengkhianat."
"Serta, jebloskan anak lelakinya di kandang singa."
Tidak ada bantahan, selain tundukan patuh yang bergegas membereskan mayat itu tanpa meninggalkan jejak kecurigaan.
Percikan api kemarahan belum mereda dari sorot mata, ada dendam terpendam untuk orang-orang yang selama ini berkomplot untuk membelot. Dia telah bersumpah akan melindungi junjungannya. Tidak membiarkan siapapun berani mengusik tahta yang sudah bertahun lamanya dia jaga.
"Hubungi Dokter untuk terus mengawasi VIP tetap aman."
Otoritas terlafal absolut pada kaki tangannya. "Selidiki siapa saja yang terlibat dengan orang ini dan sejauh mana mereka mendapat informasi tentang VIP."
"Baik." Tundukan hormat diberikan sebelum sosok itu melangkah pergi.
Pria yang selama ini dipercaya menjadi tangan kanan sang Anubis hanya menelan ludah kasar saat lagi-lagi dia harus membereskan tubuh tidak berguna tanpa kepala. Memutilasi sisa tubuh dan membagikan potongan-potongan itu pada piranha peliharaannya seolah menjadi hal biasa.
Pria itu memerintah anak buahnya untuk segera bergegas pergi kembali ke Negara asal mereka.
Sementara dari sudut tidak jauh dari tempat kejadian, ada mata tak berdosa harus melihat segalanya.
Hans Athafariz Müller menjadi saksi, bagaimana pembunuhan sadis itu terjadi.
***
Lensa tele membidik objek dengan titik fokus yang telah diatur, suara yang dihasilkan dari tiap bidikan menarik senyum saat dia mengecek kembali hasil jepretannya.
Sudah beberapa hari ini dia memilih untuk menyalurkan hobi lainnya demi mengisi kekosongan. Innsbruck terlalu indah jika diabaikan begitu saja tanpa diabadikan dengan kamera miliknya.
Tidak ada yang salah dari ucapan Seungyoun untuk menghabiskan waktunya dengan berburu objek menarik di seluruh penjuru Innsbruck.
El kembali menapaki jalanan kota Innsbruck yang beberapa hari lalu sudah dia kunjungi.
Kali ini tujuannya berhenti di Swarovski Crystal Worlds. Museum, pusat pameran dan taman bermain outdoor yang dibangun dan digabungkan dalam satu tempat.
Tempat yang sudah dibuka sejak tahun 1995 ini merupakan objek wisata yang di bangun untuk merayakan ulang tahun ke-100 Perusahaan Swarovski.
El tidak akan masuk ke museum. Dia lebih memilih menikmati pesona cahaya surya yang terbias pada air terjun buatan yang mengalir dari mulut patung berbentuk kepala besar bewarna hijau. Baginya jauh lebih menarik daripada terkurung didalam sana dengan beberapa pengunjung.
Manik cokelatnya mempredasi seluruh penjuru, mencari objek apa saja yang dapat dia abadikan. Kemampuan fotografinya memang tidak sekeren fotografer dengan jam pengalaman tinggi, apalagi jika harus di sejajarkan dengan para fansite idol-idol K-Pop, El tidak akan menyombongkan diri kali ini— dia cukup sadar diri.
Saat menemukan objek yang akan dia bidik dengan lensa kameranya, tiba-tiba dari arah belakang seseorang mengintrupsi dirinya. Membuat El berbalik karena merasa tidak asing dengan suara yang mengalihkan atensinya.
"Sepertinya kau punya banyak cara untuk mencari kesenangan, Nana."
El membelalakan mata, tidak percaya jika dia akan kembali menemui pemuda itu di tempat seperti ini.
"Orion."
***
FOLLOW CAST ENOUGH LOVE ON INSTAGRAM
EL @/Elnotelsaa
HANS @/Hans_wooya
JO @/Chosyoun__
KOKO @/Liem_woo
MICHAEL @/Lee.michael07
MBAK SHA @/Hwasha_w
[*] Pekok, (Stupid) berarti tolol.
[*] Felicity, (n) Rasa bahagia yang sangat kuat atau intens
Saya menulis chapter ini sembari mendengar lagu Hwasa – WHY dengan perasaan tersayat, karena saya seolah melihat akhir dari semuanya.