Chereads / Enough Love / Chapter 5 - 04. Oceans of Thruth

Chapter 5 - 04. Oceans of Thruth

Tapi selalu ada cerita di balik semuanya. Bagaimana sebuah lukisan bisa tergantung di dinding. Bagaimana sebuah luka membekas di wajahmu. Kadang ceritanya sederhana, dan kadang keras dan menghancurkan hati. Tapi di balik semua ceritamu selalu terdapat cerita ibumu, karena ceritanya adalah awal dimulai ceritamu. (Mitch Albom)

Dalam cerita perwayangan, Dewi Amba, perempuan cantik dari negeri Kasi harus menjalani hidup dengan penuh dendam terhadap Bisma putra Gangga.

Perasaan hampa, malang, sedih, diabaikan, ditinggalkan, kehilangan, terhina, terbuang dan tidak diterima oleh orang yang Dewi Amba cintai, membuat ia beranggapan bahwa Bismalah yang menjadi penyebab hidupnya hancur. Menjadikan rasa benci dan dendam yang telah mendarah, membuat dia harus menjalani hidup dengan bertapa dan bersumpah untuk menjadi penyebab kematian Bisma.

".....Kanda akan mati di tanganku!"

Begitulah sumpah yang menghantarkan Dewi Amba pada kehidupan selanjutnya, bereinkarnasi menjadi Srikandi. Sosok berani, kuat, tegas, dan pantang menyerah yang akhirnya menjadi takdir bagi Bisma berakhir.

Sama seperti Sheanna Ellandra Prisscia, saat dia bersumpah jika hidupnya hanya untuk menuntut balas untuk kematian pria itu dan orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya.

Tidak ada satu haripun wanita itu melupakan semua sumpah atas dendamnya pada mereka.

Ketika semua menjadi awal saat ia memulai kehidupannya; mengganti nama, menjalani jalan hidup sebagai orang lain, serta mengubah seluruh kehidupan lama menjadi sosok yang baru. Sheanna telah menjalani hidup dengan terus menyimpan kebencian dan dendam terhadap orang-orang di masa lalu. Menganggap dirinya satu-satunya yang menderita tanpa menyadari di balik semua kisah yang ia jalani, ada seseorang yang berkorban dan terluka.

Saat jalan yang ia pilih dengan berlandaskan kepalsuan, bak lakon perwayangan, dialah manipulator yang menggerakkan Marionette-nya.

Kisah ini di mulai saat semua kebohongan mengawali segala cerita. Orang bijak pernah berkata kesalahan kecil yang di biarkan lambat laun akan menjadi akar dari kesalahan lainnya.

Bagaimanakah semua berjuang saat cinta dan kebohongn berperan? Tentang penderitaan dan perjuangan yang selalu di teriakkan akan keadilannya. Lalu, pada tahap mana semua dapat di katakan setimpal saat membalas rasa sakit justru mengorbankan mereka yang tidak bersalah?

Pambuka wiwaraning carita, caritane kang ringgit purwa, purwanira carma, welulang cinorek, tinatah, sinungging rineka jalma. Jamane para walinyolah ulah rehing agama, agamemaning budi luhur. Jagad iku duweni sifat suci, ora kalepotan mring dedosan, anane dosa merga saka pokaling manungsa. Dalang minangka dadi dutaning Gusti ngolahna wayang. Wayang minangka pralampita wewayange wong urip sarta gegambarane pakarti yaiku pakartanine manungsa, ingkang ingkana nggambarake pakarti ala kelawan pakarti bagus. Ingkang ala bakal antuk pidana, ingkang bagus bakal pikantuk nugraha. Mula aja ndhisiki ala awit sapa sing ndhisiki ala mesthi wahyune bakal sirna. Mergo Kowe ra iso mlayu saka kesalahan Ajining diri ana ing lathi.

***

- Tiga tahun berlalu.

Siang itu Jakarta sedang terik setelah semalaman di guyur hujan lebat. Sebuah apartemen mewah di bilangan Jakarta Selatan terasa seperti club malam saat dua sound speaker menginvansi seluruh ruang.

Lagu My tourniquet menunjukkan kegagahannya saat sang tuan berdansa begitu bahagia. Berputar seolah melakukan putaran fouettés, setelah sebelumnya melakukan lompatan Split leap.

Cho Seungyoun, harus membuat wanita itu menggelengkan kepala dengan aksi gilanya setelah menerima kabar jika dia di terima magang di salah satu kantor yang berada di Austria. Belum cukup semalaman pria itu berteriak heboh sembari mengayunkan handphone dan membaca berulang kali email yang dia dapatkan, kini siangnya terus di isi dengan pertunjukan dansa yang dimodifikasi dengan ballet.

Siapa yang menyangka jika lagu rock sekelas Evanescence justru di jadikan musik pengiring dansa. Hanya Cho Seungyoun seorang pencetus ide tersebut.

"Dasar gila." Umpat wanita itu sembari menyusun beberapa pakaian milik Seungyoun ke dalam koper.

Wanita itu tidak tertarik sama sekali dengan semua ajakan Seungyoun untuk berdansa dengannya. Saat ia harus mondar-mandir mengambil, memilah, dan memutuskan pakaian mana yang akan di bawa, Seungyoun justru memperlambat kinerjanya dengan terus menjahilinya.

"Kau tidak ingin berdansa denganku?" Seungyoun mengulurkan tangan kanannya, berharap wanita itu mau menyambut ajakannya kali ini.

"Hentikan Jo, segera kemasi barang-barangmu. Sebelum kita pergi belanja beberapa perlengkapan."

"Ayolah El... Kali ini saja ikut merayakan kebahagiaanku." Rutuk Seungyoun yang tetap gagal membujuk wanita itu.

"Kebahagiaan omong kosong. Kau bahkan belum punya gambaran judul skripsimu." Satu koper dengan beberapa kemeja dan pakaian kerja telah terseleting.

Kali ini wanita itu beralih ke koper lainnya. Sungguh, ia ingin mengutuk pada jejeran koleksi sepatu converse dengan berbagai warna milik Cho Seungyoun. Nafasnya terhela berat dengan peluh yang mulai menghiasi dahinya. Bagaimana mungkin pria itu lebih menginginkan membawa 85% sepatu santai daripada Oxford miliknya.

Maniak fashion, begitulah dia menjuluki Cho Seungyoun. Jika biasanya kaum wanita akan lebih heboh dan ribet dengan berbagai barang bawaan sampai harus menggunakan dua atau tiga koper untuk berpergian, justru kebalikannya. Wanita itu hanya membawa satu koper plus tas ransel kecil.

Cengiran yang di berikan Seungyoun saat melihat ketiga kopernya telah berjajar rapi membuat wanita itu melempar tas slempang ke arahnya.

"Kau urus sendiri seluruh aksesoris mu."

"Tidak perlu, aku bisa membelinya disana nanti." Seungyoun membalas perkataan wanita itu sembari memberi satu kedipan matanya.

Wanita itu hanya merotasikan bola mata, malas. Sadar jika saat sekarang bukan waktu yang tepat berbicara serius dengan Seungyoun, ia segera bergegas untuk keluar kamar.

"Yak, Jo. Hentikan!"

"Kenapa dari tadi terus mengoceh, hm?" Seungyoun menarik pinggang wanita itu, membuat tubuh mungilnya berputar menghadap dirinya.

"Kau benar-benar seperti ibu beranak satu sekarang."

"Apa katamu?" Mendengar pernyataan Seungyoun, wanita itu melototkan mata tidak terima. Bersiap ingin memberi cubitan kecil di lengan kekar Seungyoun yang mendekap pinggangnya.

"Ya. Aku memang sedang mengurus bayi besar yang selalu merepotkan." Sebuah cubitan kecil menjadi hadiah di lengan bertato itu.

"Aw! Sakit El..." Seungyoun mengusap bekas cubitan dilengannya, membuat ia melepaskan dekapan pada wanita itu.

"Segera mandi dan kita makan siang di luar."

Bukan Cho Seungyoun jika dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Semua harus terkabul termasuk daftar keinginannya membuat wanita itu mau berdansa dengannya.

Dengan kecepatan kilat ia kembali menarik pinggang wanita itu sebelum menjauh, membuat tubuh mereka kembali menyatu tanpa spasi.

"Jo hentikan." Wanita itu kembali memberi peringatan dengan death glare-nya.

I'm dying, praying, bleeding and screaming

Am I too lost to be saved?

Am I too lost?

Seungyoun mencengkram kedua sisi pinggang ramping wanita itu, mengangkat tubuh mungilnya, dan membawa kedua kaki kecil wanita itu menginjak di kedua kaki Seungyoun. Sebuah posisi di mana Seungyoun dapat dengan mudah memimpin kemana arah tubuh mereka akan bergerak nantinya.

My God my tourniquet

Return to me salvation...

Saat musik memasuki bagian terbaik refreinnya, secerah matahari di langit selatan Jakarta yang saling beradu dengan debu dan polusi. Kedua insan itu berdiri dengan posisi intim, dimana wanita itu mengalunkan kedua lengan di leher Seungyoun dan kedua jemari tangan Seungyoun tidak melepaskan kuasa posesifnya pada pinggang wanita itu.

Seungyoun terus menggeser langkah kaki mereka ke samping, meninggalkan jejak kebahagiaan yang ingin mereka tuang di lantai kamar.

Biarkan bekas bayangan yang akan menceritakan dengan goresan kenangan jika semua telah berbuah manis. Kesabaran akan waktu, penantian akan perubahan, tangis yang telah berubah tawa, serta kehidupan dengan lembaran baru, semua perlahan menampakkan bagian dari bab-bab puncak cerita.

Membuang lima tahun berharganya tanpa memperdulikan cemooh dan kritikan tentang dirinya, Cho Seungyoun hanya menginginkan wanita yang berada di hadapannya saat ini bahagia tanpa kekurangan apapun. Dan dia telah mendapatkan apa yang dia inginkan.

Sama seperti saat ia melihat senyum manis terukir dari bibir cherry itu, ada letupan kebahagiaan yang tidak dapat di jabarkan dengan kata-kata, Cho Seungyoun pikir semua duka sudah usai.

"Sebahagia itu? Apa harus melakukan hal konyol seperti ini?" Manik indah itu menyipit saat ia tersenyum lebar dengan tawanya.

Seungyoun tidak pernah mau mensia-siakan tiap detik yang terlalui saat wanita itu terus tertawa.

"Hm.. harus." Ucapnya tanpa membuang pandangan matanya pada wanita itu.

Kini gerakan dansa itu beralih dengan Seungyoun membiarkan tubuh wanita itu berputar. Semua terkesan elegant layaknya mereka tengah berada di ballroom mewah dengan ribuan pasang mata menatap kagum ke arah mereka.

Hanya mereka, berdua dan bahagia.

"Maafkan aku harus membuat studimu terlambat tiga tahun ini."

Seungyoun menggelengkan kepala. "Jangan terus merasa bersalah, aku melakukannya atas kemauanku."

"Seharusnya kau sudah melanjutkan S2 mu." Wanita itu menyandarkan kepala di dada bidang Seungyoun tanpa menghentikan langkah ritmis kaki mereka mengikuti iringan musik yang terus berputar.

"El... aku sudah bilang, aku tidak berniat melanjutkan studi ku ke jenjang selanjutnya. Jangan terus menyalahkan dirimu."

"Apa setelah ini kau benar-benar berniat membangun bisnis mu?" Wanita itu mendongak keatas menatap Seungyoun.

"Hm... Aku ingin membangun kedai makanan, cafe, restoran, club malam—"

Perkataan Seungyoun terhenti, dia mengingat-ingat kembali ucapan yang sebelumnya pernah dia sampaikan pada wanita itu.

"Ressort, hotel, mengembangkan Tour and Travel milik ibu mu, membuka bisnis Ekspor dan Impor...." Wanita itu terus menambahi semua daftar keinginan Seungyoun yang pernah dia sebutkan ketika ia bertanya impian Seungyoun di masa depan.

"Woah...! Kau benar-benar mengingat semua dengan baik, El." Seungyoun berseru sembari mengusak lembut rambut wanita itu. "Terkadang daya ingatmu tidak perlu di ragukan lagi."

"Tentu. Kau harus berhati-hati jika mengatakan sesuatu denganku. Aku mengingat semua perkataan orang tanpa melupakan satu hal pun." Wanita itu melepaskan sandaran kepalanya di bahu Seungyoun.

Memundurkan langkah kakinya dan menepuk dada bidang Seungyoun dengan kedua tangan mungilnya. "Sudah cukup. Kau harus bergegas mandi dan kita keluar."

"Lagunya belum selesai El." Protes Seungyoun saat wanita itu telah berada di ambang pintu.

"Kita sudah mengulang sebanyak tiga kali dengan lagu yang sama, Jo. Jangan bertingkah."

Seungyoun tidak mengindahkan, bukannya segera ke kamar mandi, ia terus menyusul langkah wanita itu dan berteriak di ambang pintu kamarnya. "Pulang nanti kita harus melakukannya lagi."

Hening tanpa sahutan dari arah kamar wanita itu.

"Aku akan memaksamu melakukannya sebanyak seratus kali jika kau menolak!" Teriak Seungyoun mencoba membuat wanita itu geram.

Selanjutnya hanya senyum lepas yang mengembang saat ia melihat wanita itu mengacungkan kepalan tangannya dari balik pintu.

Menggoda El memang semenyenangkan itu.

***

From: Der Onkel

22:11

Saya harap kamu tidak pernah melupakan janji mu dulu.

Tempat dimana angin dipercaya tidak akan pernah berhenti berhembus sampai dunia berakhir. Salah satu tempat dimana kau merasakan siang terasa lebih lama karena waktu seolah berjalan lebih lambat dari biasanya di kota kecil nan tenang itu. Konon, destinasi itu di percaya sebagai tempat yang akan selalu kau rindukan seumur hidup begitu kau telah menginjakkan kaki disana.

Sebuah tempat yang di rekomendasikan oleh Son Daewon, yang katanya dapat menyelesaikan semua masalahmu ketika kau tinggal disana lebih lama. El Calafate, Patagonia.

Pukul 22:23 UTC, langit di malam itu masih bewarna keemasan saat matahari mulai terbenam makin dalam di ufuk timur.

Dari balik jendela, Hans Athafariz Müller duduk terpaku sembari memegang buku Towards a New Architecture karya Le Corbusier. Pikirannya masih melayang pada pesan yang beberapa waktu lalu dia terima. Rasa pusing terus merongrong dirinya sampai dia merasa jika pasokan oksigen bersih telah habis, padahal saat ini dia berada di Negara dengan alam yang masih murni.

Buku Le Corbusier di tutup dalam satu kali gerakan hingga membunyikan suara dan mengusir sepi di penginapannya. Hans berdiri menghampiri nakas, mengambil segelas wine, beralih kembali memandangi keluar jendela, mengamati tiap lampu yang mulai menyala di tiap-tiap rumah penduduk.

Daewon sengaja membuatnya harus berakhir disini, di tempat asing nan jauh, selama satu bulan. Liburan, saat selama ini dia hanya menjadi workaholic. Namun, belum genap sepekan berada disini, Hans telah di teror oleh sang paman perihal investasi. Nafasnya terus terhela berat, bingung akan keputusan apa yang harus dia ambil.

Keluarga pamannya memiliki andil yang cukup besar dalam keberhasilan Hans sampai saat ini. Hutang budi terus mengikat Hans, ibarat laut tanpa batas, langkah kaki Hans akan terus terbebani.

Akan berbeda hal jika pamannya adalah seorang pebisnis yang baik di bidangnya. Pria itu hanya mengandalkan nama sang istri dan beberapa kolega yang membuat perusahaannya itu tetap berdiri meski di ambang pailit.

Ada banyak rencana yang belum Hans lakukan saat beberapa hari berada di Patagonia. Dia hanya sempat menjelajah danau di dekat penginapan tanpa berniat pergi ke tempat terkenal lainnya, pikirnya dia masih memiliki banyak waktu. Mungkin, liburannya kali ini hanya akan berakhir dengan pengalaman sebatas wine dan makanan di salah satu restoran yang terkenal di tempat itu.

Tanpa berpikir dua kali, dia telah memutuskan untuk melakukan penerbangan ke Indonesia esok hari. Mengambil jadwal penerbangan tercepat dan kembali menyusun jadwal meeting dengan beberapa klien. Kerja keras seolah telah menjadi bagian dalam diri Hans yang mendarah daging.

"Aku harus mengamankan diriku dari amukan Daewon terlebih dahulu."

Desahnya saat mengambil ponsel miliknya.

Satu-satunya teman yang aman untuk dia memberi kabar tanpa perlu merasa was-was.

To: Jisung

23:05

I'll back to Indonesia tomorrow, tell Daewon when I've landed in Indonesia.

***

Masih terlalu pagi untuk tergesa-gesa di jalanan ibu kota, ketika langit tidak bersahabat dengan gemericik gerimis yang menghalau jarak pandang Seungyoun mengemudikan mobil miliknya dengan kecepatan tinggi.

Di samping kursi kemudinya, seorang wanita masih terlelap begitu pulas lengkap dengan coat hangat yang membalut tubuh mungilnya.

Semalam, mereka menghabiskan waktu luang dengan bercengkrama dan menonton seluruh serial film Unbreakable. Seungyoun masih ingat saat setengah empat pagi wanita itu baru bisa tertidur di sandaran bahunya. Dan kini, pukul lima pagi mereka harus meninggalkan apartemen menuju bandara.

"Sudah sampai?" Wanita itu merentangkan kedua tangannya, menggeliat, berkedip beberapa kali demi memulihkan penglihatannya.

Melihat wanita di sampingnya telah terbangun, Seungyoun mengusak lembut kepala wanita itu dan tersenyum ke arahnya.

"Belum, sebentar lagi. Tidur saja jika masih mengantuk."

"Aku membenci Mr. M. Night Shyamalan yang membuatku harus bergadang." Rutuk wanita itu dengan raut kusutnya membalas tatapan Seungyoun.

Seungyoun hanya tertawa menanggapi segala protesan wanita itu. Padahal dia telah berulang kali membujuk wanita itu untuk tidur dan merampungkan serial Unbreakable saat sudah sampai di Austria nanti. Tapi sikap keras kepala wanita itu lebih tinggi melebihi tinggi badannya, membuat Seungyoun menuruti tanpa banyak membantah.

"El. El... Padahal tadi malam kau mati-matian memuji Mr. Shyamalan gara-gara menciptakan karakter secerdas Elijah yang membuat mu terkecoh dengan pemikirannya. Sekarang, kau malah membencinya hanya karena jam tidurmu yang tersita." Seungyoun menggelengkan kepala.

Wanita yang biasa Seungyoun panggil dengan nama El itu hanya mencebikkan bibirnya, mengalihkan padangan menatap jalanan. Hawa dingin yang menyergap suhu tubuhnya membuat ia harus mengeratkan coat yang ia kenakan.

Hampir satu jam lebih perjalanan yang El habiskan untuk memulihkan energinya di dalam mobil, tidak membuatnya terlihat segar. Berulang kali Seungyoun harus menarik tubuhnya saat wanita itu berjalan gontai dan hampir menabrak seseorang.

"Hati-hati, El. Kita cari sarapan dulu."

"Jo, aku mau espresso." El menunjuk salah satu coffe shop yang ada di bandara.

"Nanti, setelah kau sarapan." Seungyoun mengabaikan permintaan wanita itu.

Dia bergegas menarik El menuju salah satu restoran yang menyajikan nasi goreng. Pantang bagi Seungyoun membiarkan El minum kopi saat kondisi perut El kosong. Dia begitu strict menjaga kesehatan wanita itu.

Tidak ada caffein sebelum sarapan, tidak ada junkfood, tidak ada makanan pinggiran dan masih banyak lagi. Semua demi kesehatan El. Hal yang terkadang membuat El beradu argumen dengan Seungyoun hanya karena gorengan pinggir jalan yang menggoda iman.

Di balik meja restoran, El terus membolak-balik sarapannya tanpa minat. Wajahnya menekuk, sesekali ia mengalihkan perhatiannya kearah Coffe shop yang tadi ia lewati.

Seungyoun mengabaikan aksi protes diam El, dia terus menambah piring El dengan beberapa potongan daging saat wanita itu enggan menyuap makanannya.

"Ah— kopi." Desahnya kesal dan menjatuhkan wajahnya ke meja.

"Jo..." Ia menggoyang-goyangkan lengan Seungyoun sembari memberikan tatapan memelasnya.

"Nanti, El. Habiskan sarapanmu." Acuh Seungyoun.

"Tsk!"

El yakin, saat sepiring nasi lengkap dengan daging penuh dan segelas jus ia habiskan, lambungnya tidak dapat lagi menyisihkan bagian untuk coffe.

"Padahal segelas Espresso tidak mungkin langsung dapat meningkatkan kortisolmu*." Rutuk El dengan terus menusuk-nusuk potongan daging tanpa minat.

[*] Hormon kortisol atau hormon setres, hormon yang di produksi lebih banyak saat mengalami setres fisik maupun emosional. Meminum kopi saat dalam kondisi perut kosong di pagi hari dapat meningkatkan tingkat kortisol dalam tubuh, karena kadar tertinggi hormon kortisol terjadi pada pagi hari.

Seungyoun tidak menanggapi, mengabaikan El, dan mengalihkan perhatian pada beberapa pengunjung restoran. Membuat El terpaksa menegapkan badannya kembali, lanjut memakan sarapannya tanpa banyak protes.

Jika sudah begini, saat menghadapi Cho Seungyoun mode orang tua, dia tidak dapat menang bagaimanapun caranya.

Pukul 08:35 WIB mereka akan melakukan penerbangan. Seluruh proses pengecekan tiket dan paspor telah selesai di urus Seungyoun, kini mereka menuju boarding room.

Tidak seperti tadi, wajah antusias El terlihat lebih jelas, membuat Seungyoun beberapa kali melirik kearah El dan mengulum senyum kala melihat wanita itu seolah mengabsen dan menghapal tiap detail tempat yang mereka lalui.

"Jo, apa toilet jauh dari boarding room?" Tanya El saat mereka hendak menuju ruang tunggu.

"Itu di depan, lurus saja. Nanti tinggal belok ke sebelah kiri." Seungyoun menunjuk arah yang dia maksud.

"Kenapa, mau ke toilet?"

"Iya." El mengangguk cepat.

"Perlu di antar?"

"Tidak perlu, aku bisa sendiri." El menolak tawaran Seungyoun.

Di tempat seaman bandara dan penuh petunjuk, baginya dia tidak terlalu banyak membutuhkan bantuan Seungyoun.

"Yakin?" Tanya Seungyoun memastikan.

"Iya, Jo. Tidak perlu."

"Baiklah, hati-hati. Jangan menghilangkan paspor mu atau kita akan batal berangkat."

Seungyoun memperingatkan, karena dia tau, meski daya ingat El baik dalam mengingat sesuatu, tetapi wanita itu cukup ceroboh melakukan segala sesuatu.

"Telepon aku jika kau tersesat."

El mendengus saat Seungyoun melewatinya menuju boarding room.

"Memangnya aku anak kecil yang buta arah." Rutuk El.

Wanita yang telah menanggalkan coat miliknya dan mengenakan black T-shirt berpadu dengan celana senada— black mid-length shorts itu berjalan santai saat menuju toilet. Senyumnya masih terus merekah saat dia mendapati beberapa orang asing berlalu lalang.

Sebuah pemandangan baru. Seperti ini rasanya melihat berbagai etnis berada dalam satu ruang dengan mereka yang sibuk dengan urusan masing-masing.

Di sudut sebelah kanan, El melihat seorang berkulit putih dengan ametis sebiru lautan tengah sibuk mengejar balita. Dari tinggi dan postur yang di miliki balita itu, El dapat menebak jika anak itu berada di usia 2,5 tahun. Wanita berkulit putih itu terus berteriak mengintruksi agar sang anak berhenti berlari. Namun sang balita tidak mengindahkan, dia terus saja tertawa dan menghindari kejaran sang ibu, membuat wanita yang terlihat berada di usia 30 tahun itu tergopoh-gopoh dengan nafas beratnya.

Orang-orang di sekeliling mereka hanya tersenyum tanpa berniat membantu dan beberapa dari mereka terlihat sedang memotret interaksi yang mereka nilai menggemaskan.

Lekat El menatap interaksi ibu dan anak tersebut. Di Negara asing tanpa seorangpun yang mengenali, mereka tetap dapat tertawa dalam dunia mereka sendiri. Sebuah kebahagiaan sederhana namun mampu menyejukkan berjuta pasang mata yang menyaksikan.

"Menyenangkan." Gumam El tanpa sadar.

Fokusnya kini beralih pada beberapa remaja Asia bermata sipit, berjalan bersama dalam jumlah besar, sepertinya mereka tengah melakukan study tour. El baru menyadari jika hal seperti ini sudah bukan hal awam saat beberapa pelajar dari berbagai Negara melakukan kunjungan atau mengikuti program pertukaran pelajar antar negara.

Senyum yang semula mekar kini berubah menjadi layu, ada bagian lain yang secara mendadak menyayat hatinya. Memukul dengan keras, terasa menyesakkan, seolah meremas dadanya kuat-kuat dengan perasaan menyesal.

El menundukkan kepala, bergegas pergi menuju toilet sebelum ia larut terlalu lama di tengah kerumunan dengan perasaan asing yang tiba-tiba menghampirinya.

Waktu seolah telah berkhianat pada El ketika ia berulang kali meminta untuk stagnan. Ia terkhianati saat bagian dalam dunianya di rampas secara paksa tanpa memberi jeda El bernafas, sekedar mengulur tiap detik yang berlalu dengan caranya. Saat bertahan terlalu sulit, setidaknya dia masih percaya jika dijarak terkecil hingga yoctometer sekalipun, masih akan ada harapan untuknya. Bahkan jika tiap hela nafasmu adalah derita; masih ada jeda antar hela tempat kau bisa bahagia. (Muhammad Akhyar)

Berulang kali El meyakinkan dirinya, melihat pantulan dirinya pada cermin, setidaknya menjadi penguat jika dia pantas bertahan. Sudah terlalu jauh dia melangkah dan tidak mungkin menyerah hanya karena ada beberapa bagian yang terlewati meski ia menginginkan.

Dering notifikasi dari ponsel membuyarkan lamunan El. Sebuah pesan dari Seungyoun yang sedari tadi menunggu.

From: Jojo

08:19

Kau dimana? Kenapa lama sekali?

Saat akan mengabaikan dan menyimpan kembali ponselnya, Seungyoun kembali memburu dirinya.

From: Jojo

08:19

Kau tersesat? Perlu aku jemput? Dimana sekarang?

El menghela saat membaca rentetan pertanyaan itu.

From: Jojo

08:20

Cepatlah kemari dalam 3 menit. Jangan menghilangkan tanda pengenalmu. Atau kau tidak aku ijinkan menyentuh cafein sedikitpun.

Ancamannya itu— sungguh membuat El harus mengelus dada.

To: Jojo

08:21

SEBENTAR JOWEL!

El bergegas keluar dari toilet, tanpa memperdulikan orang berlalu lalang, ia memeriksa ulang paspor dan tanda pengenalnya yang ia simpan di dompet khusus.

Seungyoun terlalu banyak protes jika sudah berkaitan dengan dokumen-dokumen negara itu. Padahal, meskipun hilang, dia bisa saja kembali membayar orang untuk membuatnya. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh uang.

Sambil mengumpati Seungyoun dalam perjalanannya, tanpa sadar El menabrak seseorang.

Pria berpostur lebih tinggi bahkan berkali lipat dari dirinya. Dan yang lebih membuat El menghela nafas frustasi saat minuman yang pria itu pegang harus tumpah dan mengotori Overcoat milik pria itu. Pikirnya, mungkin ini akan berbuntut panjang jika dia tidak berhasil lolos dari permintaan maafnya.

Tanpa sempat memandang bagaimana rupa dari pria tinggi itu, El bergegas memunguti tanda pengenal dan paspornya yang terjatuh tadi sebelum terkena tumpahan coffe pria itu.

Berulang kali menundukkan kepala dan meminta maaf atas keteledorannya.

"Sorry, Sir. It's my fault." Ucapnya tanpa berani memandang wajah pria itu.

"No problem, it's also my fault. I'm too busy with my phone." Ucap pria itu tanpa banyak protes.

El pikir ini sudah lebih dari cukup saat pria yang dia tabrak tidak mempermasalahkan lagi. Ia segera undur diri, berlari sebelum Seungyoun mencarinya terlebih dahulu dan membuang tiga menit krusialnya, tiga menitnya demi caffein atau bahkan nikotin.

Namun belum jauh ia berlari, pria yang dia tabrak tadi kembali menghentikan langkahnya. Memanggilnya dan sedikit mengejar langkah El yang telah menjauh.

El memejamkan mata, meremat pegangan tangannya di tas punggung sebelum berbalik, merapal kalimat mantra khusus, berharap setidaknya pria itu tidak memberi drama tentang uang binatu atau keributan lainnya.

"Oh espresso ku..." gumam El sembari kembali membuka mata dan berbalik menghadap pria itu.

Sekilas El melihat pria yang mengenakan overcoat tersebut memiliki tinggi melebihi tinggi Seungyoun. Obsidian pekat dengan monolid menjadi perpaduan khusus ketika wajah tersebut tidak menunjukkan jika dia dari etnis Asia.

Kulit putih seputih salju lagi-lagi mematahkan argumen El jika dia berasal dari kalangan Eropa. Masih terlalu abu untuk menetapkan karena daya selidik El harus terhambat dengan fitur wajah tegasnya yang tertutupi dengan potongan rambut model bob.

Dapat El simpulkan, pria itu cukup tampan, tapi Sayang, sepertinya dia pria berusia lanjut, pikir El.

El sudah akan mengatakan sesuatu, "If you were going to talk about laundry, I would gi—"

Namun, pria itu terlebih dahulu menyodorkan sesuatu sembari berkata, "Isn't this yours?"

Tanda pengenal miliknya.

"Sepertinya ini tertinggal saat kau mengambilnya tadi."

El terpekur saat mendengar pengucapan bahasa fasih dari pria itu. Padahal, ia berharap tadi adalah kali pertama ia memiliki interaksi dengan pria bule di negara sendiri tanpa harus ke negara orang. Nyatanya ia tetap menemui kearifan lokal dengan rasa internasional yang terkomposisi dari negara sendiri.

"Hei... Tidak di ambil?"

Teguran pelan dari pria di hadapannya itu kembali membawa El ke realitanya.

Sebuah kartu yang seharusnya tidak di lihat lagi oleh siapapun.

Dan kenapa harus kartu itu yang terjatuh dari tempatnya?

Dengan cepat El mengambil kartu tersebut dari tangan pria itu. Kembali bergegas undur diri tanpa membuang waktu lagi. Dia tidak memperdulikan jika pria tadi akan kembali memanggilnya.

"Sepuluh menit. Lima minggu tanpa espresso."

Final Seungyoun tanpa mendengar terlebih dahulu pembelaan saat El baru saja mendaratkan tubuhnya di kursi samping Seungyoun.

El melirik culas dengan ekor matanya, "Kau benar-benar menyebalkan!"

El tidak memperdulikan lagi apapun itu saat Seungyoun terus bertanya kenapa dia begitu lama menghabiskan waktu hanya untuk ke toilet.

Sadar jika semua pertanyaannya di abaikan oleh El, Seungyoun hanya mengusak rambut panjang wanita itu yang terurai dengan geram.

Obsidiannya terfokus pada selipan tanda pengenal di paspor yang El pegang saat itu.

"Kau hanya perlu menunjukkan identitas barumu saja." Ucap dingin Seungyoun.

"Hmm."

El meraih tas ransel miliknya dan menyimpan salah satu kartu miliknya.

Ia beralih meraih lengan kanan Seungyoun dan merengkuhnya. Meletakkan dagu di bahu pria itu dan memejamkan mata.

"Masih lama?" Tanya El tanpa membuka manik matanya.

"Seharusnya lima menit akan ada panggilan." Seungyoun menyeka peluh di anak rambut El, merapikan kembali rambut yang terlihat kusut akibat ulahnya tadi.

"Tidak sabar?" Tanya Seungyoun karena dia tau ini kali pertama bagi El melakukan penerbangan, apalagi ini keluar negeri.

"Sangat..."

El semakin mengeratkan rengkuhan tangannya pada lengan Seungyoun dan tersenyum membalas tatapan Seungyoun.

Daripada Seungyoun yang kemarin begitu exited menyiapkan diri untuk magang di negara asing, El jauh lebih tidak sabar mengingat segala sesuatunya menjadi yang pertama dia rasakan dalam hidupnya.

Dia tidak mungkin mendapatkan ini semua jika tanpa adanya Seungyoun. Pria di sampingnya itu seolah mematahkan segala asumsi tentang mimpi yang tidak mungkin terwujud.

Saat proses menuju pesawat, wanita itu kembali terlihat segar. Berjalan di depan Seungyoun, sesekali berjinjit tidak sabar saat pandangannya terhalau oleh orang-orang tinggi di depannya. Beberapa kali dia harus mengubah lajur jalannya, bergeser ketepi dan berpindah lagi karena dia selalu mengumpati tinggi badannya sendiri.

Melihat itu dari belakang Seungyoun hanya menggelengkan kepala, jika bukan di bandara mungkin dia akan bertindak mengangkat tubuh wanita itu tanpa peduli dengan lengkingan protes El. Namun kali ini dia tidak ingin membuat malu wanita itu.

Berada di kursi penumpang pun El masih terus mengedarkan senyum manisnya, menolak tawaran Seungyoun saat ingin membantu memakaikan sabuk pengaman.

Dia akan terus memprotes dalih perhatian Seungyoun yang baginya terkesan menganggap El sebagai anak kecil.

Jika terbang adalah ungkapan sebuah usaha demi mencapai keberhasilan mencapai puncak ataupun sebuah tujuan, El menginginkannya. Kali ini adalah penerbangan pertamanya, meski bukan usaha pertamanya, namun El masih menginginkannya. Sekali lagi, dia hanya ingin mencoba untuk bertahan menghilangkan semua rasa takut dan kenangan kelam.

Tidak lagi mempertanyakan untuk apa kehidupannya. Waktu terus berlalu, dunia terus berubah, sudah saatnya dia ikut berubah. Menjalani kehidupan seperti layaknya orang-orang normal lainnya. Menerima cinta dan kembali memberikan cinta.

El hanya ingin berubah, mengubah kembali tujuan hidupnya, hanya untuk dirinya. Sudah saatnya dia melepaskan segalanya, memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan keadaan.

Dan ketika pesawat membawa mereka pada ketinggian 36.000 kaki, saat El menatap keluar jendela, berada diatas langit dengan awan yang begitu cerah. El mengatakan sesuatu yang membuat hati Seungyoun menghangat, merasa jika ini telah berakhir. Perasaan takut untuk kehilangan wanita itu.

"Jo, aku ingin bahagia."

Jika dulu hariku di penuhi kesedihan dan kedukaan.

Layaknya angsa yang terbang ke selatan tanpa menemukan sarang.

Terus merentangkan sayap dengan wajah murung tanpa henti terisak terbang.

Saat angin meniupnya menyatu dan bergabung dengan alunan lain.

Dengan keping kumala mengambang di bawah langit jingga.

Ku harap ombak tak lagi menghapus pesonaku.

Biarkan ia membelah hingga seluruh makhluk terdiam.

Lenyap bersama guntur dan gemuruh keras di antara awan.

Mengusir yang jahat, dan mengembalikan yang baik.

-El

***

"Turkish Airlines terminal 3. Sepertinya aku salah gate." Hans tertawa menanggapi kebodohannya sendiri.

Penerbangan Singapore di jadwalkan pada pukul 11:15 WIB, dan kini dia memiliki banyak waktu untuk sekedar menunggu. Berkeliling tanpa tujuan pasti, sampai dia harus berakhir di terminal 3 Internasional.

Seolah langkah kaki dengan sengaja menuntunnya berada disana.

Hans tiba di Indonesia pada malam hari, namun hingga detik ini Daewon belum menghubungi. Dia yakin jika Jisung lupa menyampaikan pesan, jika tidak, mungkin saat ini telinga Hans telah di penuhi oleh makian.

Seperti mengucapkan sebuah mantra, tiba-tiba saja ponsel di sakunya berdering. Sebelum menekan ikon hijau, Hans terlebih dahulu mengambil respirasi sebanyak mungkin.

"Ha--"

"KAU MAU MATI!" Suara teriakkan di seberang telepon membuat Hans harus menjauhkan ponselnya.

"Aku menyuruhmu mengambil jatah cuti selama sebulan di Argentina, kenapa kau harus pergi ke Indonesia?!"

Belum sempat Hans menjawab pertanyaan tersebut, Daewon kembali memborbardir Hans dengan pertanyaan lainnya.

"Dan apa maksudmu lebih memberitahu Jisung Hyung daripada diriku langsung? Kau sengaja?!"

"Aku akan ke Singapore." Sela Hans singkat.

"Apa?"

"Aku tiba tadi malam, dan sekarang aku masih di bandara. Aku akan ke Singapore menemui Mr. Michael Kum."

"Si pengusaha Hotel itu?" Suara di seberang ponsel mereda.

"Iya. Sekretarisnya menghubungiku melalui email, ingin membicarakan perihal kerja sama hotel yang akan mereka bangun." Jelas Hans yang membuat Daewon diam.

"Hoel... Daebak! Kau bercanda?"

"Menurutmu?" Hans menyeringai.

Dia yakin setelah ini seluruh timnya tidak akan percaya dengan kabar yang barusan mereka dapat.

Michael Kum, salah satu milyader asal Singapore yang terkenal dengan bisnis perhotelan. Kemarin, saat Hans telah lepas landas dari Bandara Internasional Ministro Pistarini, dia mendapat email dari sekretaris pengusaha tersebut untuk membahas perihal proposal yang pernah tim Hans ajukan terkait desain rancangan Hotel yang Hans buat.

Rekan kerja Hans tidak berharap banyak mengingat telah lebih satu bulan mereka tidak mendapat kabar dari pihak terkait. Oleh sebab itu, saat Hans menerima kabar ketika dia baru saja tiba di Indonesia tadi malam, dia langsung memutuskan untuk terbang lagi ke Singapore.

Kesempatan baik tidak boleh di sia-siakan, itu yang Hans percaya.

"Lantas apa yang kau lakukan di Indonesia jika kau berniat pergi ke Singapore?" Cecar Daewon lagi.

"Paman menghubungiku, aku berniat menemuinya. Tapi aku akan menunda sampai urusan di Singapore selesai."

"Si paman mu itu kembali memerasmu?"

Hans diam tidak menanggapi pertanyaan Daewon. Wajar saja jika temannya itu tidak menyukai pamannya, Daewon banyak tau perihal permasalahan keluarga Hans saat masih duduk di bangku kuliah.

"Aku tidak tau dengan jalan pikiran pamanmu itu, dia selalu melebih-lebihkan segala sesuatu. Bibimu hanya membantu setengah biaya kuliahmu, dan selebihnya kau berusaha sendiri dengan beasiswa dan kerja part time mu. Kenapa beliau terus menuntut perihal hutang budi?"

Daewon benar, selama ini hanya bibi dari ayahnya lah yang berperan besar dalam membantu Hans kuliah saat ayah Hans enggan men-support karir Hans menjadi arsitek. Wanita yang sudah Hans anggap sebagai ibu kedua. Wanita yang akan dia prioritaskan kebahagiaanya selain ibu kandungnya.

Ketika prinsip yang telah dia pegang teguh harus menjadi peluang bagi orang lain memanfaatkan dirinya. Saat itu pula Hans tidak berkutik, bahkan melakukan satu penolakan yang menurutnya salah ketika keluarga besar bibinya meminta pertolongan.

Terlalu baik, Daewon terus mengatai Hans dengan perkataan tersebut. Seharusnya Hans bisa menetapkan batas jika dia sendiri dapat menilai bahwa bantuannya selama ini lebih dari cukup.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Aku akan menghubungimu begitu mendapat kabar positif nantinya." Kilah Hans mengalihkan pembicaraan.

"Apa guna jabatan sekretaris jika kau selalu mengurus segala sesuatunya sendiri."

Hans tertawa, "Aku melakukan ini agar kau tidak berniat mencari atasan baru."

"Terserah padamu. Pastikan kau berhasil mendapatkan proyek kali ini, agar Jisung Hyung memiliki tabungan membeli rumah untuk calon istrinya."

Hans menyeruput kembali ice latte yang sedari tadi dia pegang, "Aku pastikan tahun ini dia akan segera menikah."

Sambungan terputus, Hans berniat kembali ke gate sebelumnya. Saat akan membuang ice latte yang belum habis di tong sampah terdekat, fokusnya harus teralih kembali ke ponsel ketika dia mendapat puluhan notifikasi dari Jisung.

Sebuah sticker yang selama ini memiliki nama begitu keren di aplikasi WeChat, harus berakhir nista ketika berada di WhatsApp.

Quby Sticker, dengan nama yang lebih beken dan lebih dikenal; Pentol. Memenuhi laman chat Hans lengkap dengan pidato terima kasih yang melebihi panjang pembukaan UU. Membuat Hans mengerutkan dahi tidak percaya atas perilaku temannya yang satu itu.

"Apa-apaan dia ini." Keluh Hans karena sifat berlebihan Jisung muncul kembali.

Hans mambalas singkat pesan itu, tanpa sadar jika ada orang lain yang tengah berjalan lurus ke arahnya tanpa menatap kedepan.

Overcoat yang dia kenakan harus kotor terkena ice latte yang dia pegang tadi— tidak sepenuhnya salah wanita tersebut, sih.

Keterkejutan Hans semakin bertambah saat wanita yang baru menabraknya sedang tergesa memunguti paspor dan kartu lainnya yang terjatuh dan hampir terkena ice latte miliknya.

Hans ingin meminta maaf terlebih dahulu, tapi setelah mengambil paspor dan KTP miliknya yang terjatuh, wanita itu segera menundukkan kepala berulang kali meminta maaf. Membuat Hans semakin merasa tidak enak hati.

"Sorry, Sir. It's my fault." Ucap Wanita itu tanpa mau menatap Hans.

Mungkin saja wanita itu merasa bersalah karena membuat pakaian Hans kotor.

"No problem, it's also my fault. I'm too busy with my phone." Jawab Hans setenang mungkin agar wanita di hadapannya tidak merasa bersalah.

"Are you ok-"

Belum selesai Hans menanyakan keadaan wanita tersebut, wanita itu telah lebih dulu bergegas pergi, tergesa. Hingga ia harus mengurungkan niatnya.

Ketika dia akan melangkah meninggalkan tempat itu, atensi Hans teralih pada kartu yang masih tergeletak di lantai.

Dia mengambil kartu itu dan membalik bagian belakang tanda pengenal tersebut. Membaca nama pemilik dan mengamati foto yang tertera. Hans seolah mengenal jika pemilik kartu tersebut adalah wanita yang baru saja menabraknya.

Hans mengedarkan pandangan kearah perginya wanita tadi, dia dapat melihat siluet wanita berambut panjang tersebut dari kejauhan.

Berulang kali Hans memanggil dan melangkah cepat mengikuti, namun wanita itu seolah tidak mendengar panggilan darinya. Hans terus mengejar, memperpendek jarak mereka hingga berhasil membuat wanita itu menghentikan langkahnya.

Dahi Hans berkerut menunggu respon lambat dari wanita itu setelah ia melihat jika wanita itu tengah mengencangkan pegangan tangannya pada tas punggung. Dia menanti dengan diam sebelum wanita itu berbalik menghadapnya.

Hans terus memperhatikan gerak kikuk wanita di hadapannya, sorot mata yang saling berkejar seolah tengah mencari alasan lain.

Ketika memperhatikan, fokusnya harus teralih pada wajah cantik wanita itu. Riasan tipis dengan warna lipstik gelap, senada dengan pakaian yang ia kenakan. Tidak lupa dengan rambut panjang bewarna dark brown, terlihat indah karena terawat dengan baik.

Senyum Hans mengembang saat wanita itu berani menatapnya meski sekilas.

"If you were going to talk about laundry, I would gi—."

Benar tebakan Hans, jika wanita itu mengira Hans mengejarnya untuk menuntut sesuatu yang tidak penting, seperti kebanyakan orang yang suka memperpanjang perkara.

"Isn't this yours?"

Segera Hans menyodorkan tanda pengenal milik wanita itu agar tidak terjadi salah paham berkepanjangan.

"Sepertinya ini tertinggal saat kau mengambilnya tadi." Setelah melihat identitas wanita tersebut, Hans pikir menggunakan bahasa akan jauh lebih nyaman karena wanita tersebut merupakan warga lokal.

Hening menjadi jeda spasi, saat wanita itu hanya menatap tanpa berniat mengambil kartu tersebut.

"Hei... Tidak di ambil?" kembali Hans mengintrupsi lamunan wanita itu.

Dan pada akhirnya Hans harus di buat terkejut saat wanita itu terburu mengambil kartu tanda pengenal miliknya tanpa mengucapkan sepatah katapun seperti sebelumnya.

Pergi begitu saja.

Kosong, angin berhembus seolah mengambil seluruh sejuk di sekitar. Membawa pergi, berlalu bersama dorongan atmosfir gersang menyerang.

Jika El Calafate terkenal dengan anginnya yang berhembus tanpa henti. Dan jika nama itu sesuai dengan legendanya; tidak akan pernah hilang dalam ingatan. Kembali terangan, saat desiran sejuk udara dari angin yang berhembus melintasi Andes dari Samudra Pasifik. Kini, harus kalah saat wanita itu pergi berlalu begitu saja, meninggalkan tanda tanya.

Benarkah jika suara angin dapat memenuhi seluruh langit?

Dan benarkah angin dapat meniupkan doa yang terucap hingga menembus pertahanan kokoh dinding langit?

Bersama terpaan semilir angin yang berhembus dibawa pergi wanita itu, Hans hanya berharap, jika ada angin lain yang akan kembali membuat keajaiban.

Karena ia yakin, akan sebuah kekuatan luar biasa yang tidak dapat di tandingi, sebuah kekuatan yang membuat manusia harus menunduk rendah hati, ialah semesta.

Hingga saat senyum mengambil seluruh keindahan yang semesta ciptakan, membuat siapa saja merasa iri saat sebagian darinya tidak secara cuma-cuma mendapatkan.

Untuk pertama kalinya, pria itu tersenyum atas sesuatu yang selama ini ia anggap tidak penting untuk dirasakan. Atas sesuatu yang terasa baru baginya dan tidak pernah ia mengerti sebelumnya. Sebuah perasaan asing, perasaan asing yang baru saja singgah.

"Sheanna Ellandra Prisscia...

...Nama yang cantik."