Chereads / Enough Love / Chapter 4 - 03. Sweet Sacrifice

Chapter 4 - 03. Sweet Sacrifice

Right, fear only exists in our minds, taking over all the time. Fear is only always on our minds, but it takes over all the time.

I keep dreaming in the darkness, erase the silence, erase my life and I sleeping to die.

You know you live to break me, don't deny sweet sacrifice. Don't deny with all the fake of love, because I'm not your prisoner anymore.

It's so clear now that I'm unchained.

I am free from you.

I will punish you.

KILL YOU!

***

- February 15

Bandung, Parijs van Java. Jika Eropa memiliki Paris sebagai pusat mode dunia, maka Jawa memiliki Bandung sebagai Paris-nya Pulau Jawa—kiblat mode. Meski Bandung merupakan kota terbesar ketiga di Pulau Jawa, tapi Bandung dapat mencemooh Jakarta dalam aspek wisata dan investasi. Siapa yang bisa meramal jika di masa depan Bandung dapat menenggelamkan pesona gagah aristokrat Jakarta?

Selama ini Jakarta kerap disebut sebagai wilayah dengan lalu lintas paling macet di Indonesia, tapi faktanya; Jakarta masih berada di bawah peringkat Kota Bandung. Tentu saja, hal ini dikarenakan menjamurnya tempat wisata di Kota Bandung secara pesat, membuat banyak wisatawan berdatangan ke Kota Bandung yang secara tidak langsung berdampak pada macetnya sejumlah ruas jalanan di Kota Bandung.

Melewati jalan Asia Afrika, senyumku mengembang kala membaca kutipan dari seorang fenomenolog, psikolog, dan budayawan berkebangsaan Belanda; Martinus Antonius Weselinus Brouwer di bagian penyangga jembatan penyebrangan dekat Gedung Merdeka—"Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum."

Menoleh ke sisi kanan jalan, "Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi."; Dan benar, Bandung bagiku tempat sunyi untuk bersembunyi. Salah satu kutipan yang berasal dari seniman Bandung sekaligus penulis Novel Dilan, Pidi Baiq.

Tentu Pak Ridwan Kamil tidak mungkin sembarangan menulis kata-kata tersebut di jembatan yang direnovasi menjelang peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika pada April 2015.

Aku bukan seseorang yang lahir dan di besarkan di tanah Pasundan, namun Bandung dan segala ke indahannya selalu membawaku larut dalam pesonanya. Lebih setahun tinggal disini membuatku mengerti mengapa orang-orang begitu memuja Bandung dalam setiap review destinasi yang mereka kunjungi ketika berlibur.

Budaya Sunda dikenal dengan masyarakat yang sangat menjujung tinggi nilai sopan santun, ramah tamah dan murah senyum, membuat pendatang seperti aku kerap merasa berada di kampung halaman; dengan orang-orang yang selalu memegang teguh budaya dan nilai religius sekaligus nilai adab dan kesopanan.

Tidak hanya itu, geografis Bandung yang terletak di dataran tinggi dan dikelilingi pegunungan, membuat udara yang aku hirup setiap harinya tetap terasa sejuk meski kemacetan menjadi teman keseharian. Aku tidak heran jika banyak wisatawan akan selalu rindu untuk kembali datang ke Bandung saat musim liburan.

Sama seperti aku, mereka butuh Bandung sebagai healing di tengah sesak oksigen yang mereka hirup setiap harinya. Ngomong-ngomong— ini salah satu bagian dari promosi, jika tidak percaya, silahkan datang ke Bandung dan buktikan sendiri.

Bandung sedang Cerah, terlalu cerah, dan tidak kalah cerah dengan senyuman Jo di balik kemudinya. Beberapa hari dia terus meminta aku untuk ikut menghabiskan waktu di luar bersama hanya demi mengunjungi cafe-cafe yang baru buka, sekedar mencari referensi untuk bisnis kecil-kecilannya.

Aku sangat yakin, seorang social butterfly seperti Jo sangat tidak mungkin tidak memiliki teman tongkrongan, terlebih Jo tipekal penghidup suasana.

Kali ini aku mengalah pada egoku untuk bertapa di apartemen, berterima kasihlah untuk semua bahan bacaan yang telah aku lahap habis hanya dalam beberapa minggu, sehingga aku harus meminta Jo menemani keluar. Toko buku menjadi sasaran utama tentunya.

Di balik jejeran rak-rak buku yang tersusun rapi, dapat kulihat raut betapa membosankannya Jo menungguku setelah hampir satu jam lebih memilih bahan bacaan yang ingin aku beli. Aku gemar membaca, apapun itu, termasuk Ensiklopedia sekalipun. Tapi beberapa minggu ini aku terlalu gemar membaca Novel dengan genre Creepy, Psycho, Blood, Thriller atau Action. Ah satu lagi— Tema psikologi sepertinya selalu menarik minat pengetahuanku sedari dulu.

Daripada kisah romance klasik yang di bumbui drama percintaan dengan kadar lebay terlalu cringe, aku lebih suka menggunakan otak cerdasku mengerti setiap kosa kata sulit atau istilah-istilah asing yang belum aku ketahui di dunia kedokteran, ataupun ikut memecahkan kasus pembunuhan yang begitu pelik hingga harus memakan waktu sekian tahun lamanya untuk terpecahkan layaknya kisah nyata Zodiac Killer dari Korea Selatan.

Hal itulah yang membuat Jo selalu memutar bola mata malas ketika melihat aku menggenggam salah satu novel berkisah tentang kelompok SevanescenceHells yang di bentuk oleh satuan polisi demi menghindari hukuman akibat melanggar peraturan tentang prosedur penangkapan penjahat.

Ngomong-ngomong, aku begitu menyukai karakter wanita dari kelompok tersebut, kuat dan berani. Wajar saja jika Captain dan Penyerang utama di kelompok tersebut begitu menggilai sosok wanita itu.

Jo memang selalu mengeluh saat melihatku membawa semua novel yang katanya begitu menyeramkan. Alih-alih mengabaikanku dengan semua komentar yang aku berikan untuk tiap Novel yang selesai aku baca, Jo tetap bersikap baik untuk menjadi pendengar ceritaku, lebih tepatnya— Jo selalu setia memasang telinga mendengarkanku. Tapi di detik selanjutnya dia akan mengomentari,

"Kau tidak bosan membaca cerita yang tidak ada kesan manis-manisnya sama sekali?"

"Terlalu banyak tokoh yang mati di semua Novel yang kau baca, tidak takut jika tiba-tiba mereka muncul di mimpimu?"

Dan semua komentar lainnya yang selalu aku tanggapi dengan senyum kecut. Jika saja bisa semua tokoh-tokoh tidak berdaya yang mati di dalam novel datang menemuiku di alam mimpi, aku lebih sangat berterima kasih daripada hanya menemui satu karakter wajah dari masa lalu.

"Na, Nggak minat dengan Novel Dilan?" Jo menyerahkan Novel Dilan 1990 kepadaku yang langsung aku abaikan dengan kembali fokus pada jejeran novel-novel bersampul hitam.

"Tsk... Jangan rindu Dilan, kamu nggak akan kuat. Sheanna menolakmu." Ucap Jo sembari menatap miris Novel di tangannya.

Aku hanya memutar bola mataku atas hal yang Jo lakukan. Rasanya aku mulai terbiasa menghadapi semua lelucon yang Jo berikan ataupun hal-hal aneh lainnya.

"Nanti mau makan dimana?" Tanya Jo saat kami menuju mobil miliknya.

"Terserah, aku tidak tau tempat yang enak dimana."

"Ke Chanda.lah aja? Biar tau gimana rasa makanan di sana." Jo membukakan pintu mobil untukku, dan segera ia berlari mengitari depan mobil, bersiap pada posisi kemudinya.

Sejauh ini aku tidak memiliki rekomendasi apapun untuk aku tawarkan pada Jo, Bandung masih terlalu asing terlebih kehidupan perkotaan dengan gaya hedonis. Sangat berbeda jauh dengan kehidupanku sebelumnya. Hanya anggukkan atas persetujuan yang aku berikan pada Jo.

Jika Jo sangat tidak menyukai suasana toko buku, maka tempat seperti resto dan cafe dengan begitu banyak pengunjung di jam makan siang atau malam menjadi tempat yang ingin aku hindari.

Jo men-treatment diriku untuk terbiasa berada di tempat ramai, dia akan selalu berada di sisiku saat aku mulai risih ketika berdesakan atau ada orang asing berdiri di sampingku. Jika tidak di biasakan, mau sampai kapan? Itu katanya saat ia melihat raut wajahku mulai pucat pasi.

Aku tau untuk semua niat baiknya membuatku terbebas dari trauma, dan seharusnya aku berterima kasih untuk semua kebaikannya. Melihat bagaimana Jo begitu gigih membawaku menuju dunia luar, mengelilingi Bandung tanpa tujuan pasti atau datang ke cafe dan resto yang aku tau Jo pasti sudah bosan mencicipi setiap menu disana.

Begitu banyak kebaikan yang tidak dapat aku hitung dengan jari, sehingga memilih option sebagai penurut menjadi pilihan akhir untukku sebelum aku mampu membalas semua.

Sekali lagi aku tekankan, Aku. Benci. Hutang. Budi.

"Bagaimana perkembangan cafenya?" Tanyaku pada Jo perihal usaha yang mulai dia rintis kembali setelah cafe sebelumnya di bumi hanguskan oleh manusia tidak bermoral itu.

"Lumayan sih, sudah mulai nyicil buat ngisi dokerasinya. Mom juga ikut invest beberapa furniture koleksinya untuk cafe kali ini."

"Udah nemu menu sama konsep yang cocok?"

"Hmmm..." Jo mengigit garfu sembari mengarahkan bola mata melihat ke kiri bawah dan mengerutkan dahi menjadi satu garis, "Sepertinya aku akan memasukan idemu perihal konsep band kemarin, apalagi tempat itu cocok untuk tongkrongan anak kampus." Kali ini nada bicara Jo sedikit antusias.

"Ada Azka dan Yudish yang akan bantu dari awal kali ini." Alis ku terangkat saat mendengar nama asing yang belum pernah Jo sebut sebelumnya.

"Azka? Yudish? Temenmu?"

"Iya, mereka junior sewaktu Senior High. Beda kampus sih, tapi dari dulu mereka paling antusias jika di ajak bahas bisnis." Senyum Jo tersemat kala bercerita tentang kedua temannya itu.

"Background Azka dari keluarga dokter, tapi itu bocah malah milih keluar zona nyaman ambil Bisnis Manajemen cuma demi buktiin ke orang tua dia; hidup tidak musti tentang membedah orang di meja operasi dan mengumumkan kematian orang tersebut."

Jo setengah memajukan tubuhnya ke arahku, mengangkat tangan kanannya membuat gesture berbisik hingga membuat reflekku untuk ikut mencondongkan tubuh ke arahnya. "Actually... Itu orang cuma mau nutupin kelemahan dia terhadap darah." Kikihan Jo membumbung saat melihat reaksi melotot ku.

"Dia yang paling kacau di banding Yudish."

"Kacau dari segi mana?" Alisku berkerut.

"Setidaknya Yudish punya alasan rasional buat terus kuliah." Kali ini tubuh Jo bersandar nyaman pada kursi.

"Ayah tamatan SMP dan Ibu hanya punya ijazah SD. Kau tau apa yang dulu pernah Yudish ucapkan saat menjawab pertanyaanku ketika MOS?"

"Apa?" Tanyaku sedikit penasaran.

"Dia jawab, Masa depanmu di tentukan bagaimana cara dirimu menuangkan air di mangkuk kehidupan. Ntah itu air bersih atau air kotor, semua bergantung pada dirimu sendiri. Dan kali ini aku memilih menumpahkan air bersih di kedua mangkuk orang tua ku, agar mereka tidak terus menjadi bagian dari residu yang terbuang."

Jo memutar-mutar garfu di piring yang hampir habis makanannya. "Dari dulu Yudish paling pantang menyerah untuk mengejar seluruh beasiswa demi kuliah. Dia juga aktif di berbagai bidang sembari kerja part time. Makanya saat tahu aku minta tolong untuk bangun bisnis bareng, dia orang yang duluan menghubungiku tanpa mengulur waktu sekedar berpikir."

"Dan di antara mereka berdua, siapa yang terbaik menurut mu?"

"Aku tidak akan memilih siapa yang terbaik di antara siapa, semua orang pasti pernah gagal dan semua orang akan mengalami titik nol saat memulai sesuatu. Ini mungkin kali pertama bagi mereka buat bangun bisnis, tapi bukan berarti mereka tidak punya kemampuan di bidang ini. Intinya sama-sama belajar, Na. Toh meskipun gagal lagi aku masih bisa bangkit dan merangkak lagi."

Jo mengatakan itu sembari tersenyum lebar kearah ku. Aku tidak menyangka di balik karakter bastartd Jo, dia memiliki sisi positif dan pekerja keras dalam dirinya. Melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang baik tanpa terlalu khawatir bagaimana kedepannya nanti.

Membagi waktu antara kuliah dan mengurus cafe tentu bukan perkara mudah, belum lagi sekarang fokus waktunya harus terbagi olehku, membuatku berkali-kali meragukan jika dia benar-benar manusia biasa— terlalu malaikat.

Perbincangan kami terus berlanjut hingga malam menjelang, terlalu banyak topic dan Jo selalu melibatkan pendapatku untuk semua masukan yang dia inginkan. Aku hanya menanggapi dengan kibasan tangan saat dia berkata akan menjadikanku manager cafe nantinya.

Jo berkata kali ini dia akan merombak semua konsep lama cafenya terdahulu, seperti ulat kepompong yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, dia akan memulai segala sesuatunya dengan hal baru. Layaknya lembaran baru dengan kertas putih, dia ingin menorehkan semua keberhasilannya dengan tinta emas, bukan lagi si hitam kelam saat dia terpuruk beberapa waktu lalu.

"Kenapa, Jo?" Aku melihat Jo begitu gusar mencari sesuatu di saku celana jeansnya.

Jo menepuk dahinya sembari berkata, "Duh... Sepertinya kunci mobil ketinggalan di dalam, Na."

Nafasku terhela pelan, "Gimana bisa sih, Jo. Cepat ambil, aku tunggu dekat mobil saja."

"Tidak apa-apa aku tinggal bentar?" Aku merotasikan bola mataku saat lagi-lagi sikap overnya kambuh.

"Aku bisa teriak jika ada yang berani mengganggu ku, Jo."

"Oke, sebentar." Selanjutnya ia bergegas berlari kembali memasuki cafe.

Udara malam terlalu dingin, Hodie yang Jo berikan padaku tadi tidak memberi reaksi apapun pada tubuh, hanya semakin menenggelamkan tubuhku yang semakin terlihat mungil. Kelihatannya saja Jo memiliki postur tubuh yang kecil, tapi faktanya sangat berbanding terbalik dengan kenyataan.

Aku menunggu Jo di depan mobil miliknya sembari terus menggosok-gosokan kedua tanganku. Mungkin kami akan sampai tengah malam untuk pulang ke apartemen. Terkadang, aku benar-benar harus memprotes dirinya tentang esensi waktu yang terbuang hanya sekedar melakukan perjalanan.

Sayup-sayup aku mendengar beberapa tawa pemuda mendekat ke arahku. Oh ayolah... baru beberapa waktu lalu aku memuji sikap sopan santun masyarakat Bandung, ketika sekarang aku di hadapkan para begundal tidak berguna. Aroma rokok dan alkohol menyakiti indera penciumanku.

Aku urung beberapa langkah untuk sekedar menghindar, bau menyengat dari kedua benda laknat itu masih membuat diriku sedikit tremor meski aku beberapa kali kerap mencuri rokok Jo demi menghilangkan setres.

Pakaian hitam, jeans robek, tampilan lusuh preman jalanan, tawa sakras dan kata-kata kotor, layaknya lorong waktu kembali membawaku pada sekelebat bayangan kelam masa lalu. Pengap dan panas membuat dadaku kian menyesak. Aku di buru udara kotor hingga membuatku butuh respirasi ketenangan.

Teriakkan berpadu makian itu kembali menyerang semua bagian sisi diriku, bak kaset rusak terus berputar berulang kali hingga membuatku terhuyung lepas pada pertahanan— aku butuh pegangan. Aku menutup kedua telingaku rapat berharap suara-suara itu terhenti, namun mereka terus mendekat, mencoba menggapai tubuhku saat berulang kali aku memohon untuknya menjauh.

Kenapa seluruh waktu berhenti? Terutama mereka; orang-orang yang seharusnya dapat membantuku. Apa hingga kini aku tidak menjadi bagian dari mereka? Terbuang layaknya sisa endapan residu— ampas sialan!

"Jangan berani-beraninya kau menyentuh dia!" Aku merasakan Jo berdiri di depanku, membawa tubuhku berlindung di balik punggung kekarnya.

Aku masih terlalu tuli untuk sekedar mendengar segala racauan yang preman itu katakan; suara-suara itu terus menggangguku. Entah bagaimana pastinya saat aku kembali di kejutkan dengan satu bogeman keras menghantam salah satu di antara mereka hingga tersungkur.

Tentu Jo sang pelaku utama, membuat beberapa orang menjadikan kami pusat atensi akibat tindakannya.

Kali ini Jo tengah menggapai salah satu di antara mereka lagi, mencengram erat kerah baju pria itu hingga membuat pria itu sedikit berjinjit saat tidak memiliki imbang yang sama dengan postur tinggi Jo.

"Tangan kotormu tidak pantas menyentuh dia. Hadapi aku jika kau punya keberanian secuil-pun untuk meraihnya!" Gemeretak keras suara yang Jo tekankan pada pria itu, semakin menambah aura merah membara dalam diri Jo.

Aku mencengkram erat lengan Jo ketika ia hendak melemparkan lagi tinjunya, berniat menghabisi pria itu dengan amarahnya.

"Jo, sudah. Berhenti!" Teriakku karena aku sungguh tidak tahan melihat semua situasi.

Sesak menjalar keseluruh tubuh saat para kerumunan terus menambah volume mereka. Tubuhku kian bergetar bersama suara serak yang berlari menuju kerongkongan. "Jo... Please berhenti."

Aku menggenggam kepalan tangan Jo saat dia menjatuhkannya di sisian garis celana jeansnya. "Ayo pulang. Aku mau pulang..." Isakku terdengar, namun Jo bergeming pada posisi.

Tatapan amarah dari obsidian pekat miliknya seolah menjadi laser yang siap memotong siapa saja saat ia telah manjadikan mereka titik bidikan dari sorot mata provokatifnya.

Aku terus menarik-narik kepalan tangan Jo agar ia melepaskan cengkraman tangannya pada pria itu. Suaraku kian memberat saat isakku mulai menguasai diri.

Hanya kalimat terakhir yang mampu membuat cengkraman tangan Jo mengendur, bersama tarikkan nafasku saat aku berkata,

"Aku pikir kau tahu lebih baik dari siapapun Jo...

...Aku benci kekerasan"

***

- November 6

Angka numerologi 6 dianggap paling harmonis dari semua angka satu digit. Angka ini di anggap memiliki sifat penuh kasih dan perhatian, atau mereka akan menjulukinya sebagai nomor keibuan. Budaya China juga percaya jika 6 merupakan angka keberuntungan yang diasosiasikan dengan 'indera keenam', karena menurut budaya China, pikiran termasuk ke dalam indera keenam.

Namun bagiku enam tetaplah enam, sebuah angka tanpa memiliki unsur kebaikan apa-apa, terlebih saat enam di sandingkan dengan sebelas.

6 November, satu-satunya angka yang aku lingkar merah pekat. Disetiap malam saat aku terpaksa sadar dari mimpi burukku, manik indahku terus tertuju menatap tajam padanya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk aku mempersiapkan segalanya hingga tiba masa yang aku tunggu akan datang. Terlebih ketika aku mendengar nama Hotel itu menjadi pilihan mereka merayakan ulang tahun si brengsek, sekaligus peresmian cabang baru kantor mereka, membuat decihan ku kian membumbung.

Hal yang tidak aku duga saat semesta mendukung seluruh rencana, Dewi Fortuna benar-benar sedang berpihak padaku kali ini ketika Jo tengah di sibukkan dengan Study Tour-nya di luar kota.

Tentu dia cukup percaya jika keadaanku baik-baik saja selama ini dengan semua sikap tenang dan eleganku— siapa yang dapat membaca isi pikiranku?

"Kau benar yakin bisa aku tinggal sendiri selama seminggu, Na?"

"Aku bukan anak kecil, Jo." Itu kalimat yang sama ke tujuh kalinya aku ucapkan pada Jo hari ini.

"Tapi aku ragu untuk meninggalkanmu sendirian." Ucapnya lagi dengan raut khawatir.

Aku melipat kedua tangan, menghela nafas berat dengan raut terjengahku—mungkin. "Oke aku ikut, jangan salahkan jika tiba-tiba disana aku buat kekacauan dengan teriakanku hanya karena teman-temanmu yang mungkin akan menggangguku."

Aku bergegas pergi ke kamarku dengan langkah kesal, membuat Jo terburu mengikuti. "Aku sudah berkata, jika aku tidak apa-apa untuk kau tinggal sendiri. Tidak perlu khawatir. Cukup fokus dengan kegiatan kuliahmu. Semakin lama aku merasa seperti benalu." Rutuk ku sembari mengeluarkan koper dari lemari.

Ku lirik dari sudut ekor mata, Jo tengah mengusak belakang rambutnya, frustasi. Ada kebimbangan dalam dirinya untuk bertahan pada pendirian ikut serta membawaku.

"Di liat dari pergaulanmu, aku yakin semua teman-temanmu mata keranjang dan PK!." Aku kembali mendistorsi Jo dengan kalimat tajamku. Membuat nafas Jo terhela dan menghentikan tanganku yang tengah memasukkan beberapa baju ke dalam koper.

"Oke, kau tidak ikut." Ku lirik tangan kiri Jo terkepal menampilkan urat-urat tangan yang selama ini tertempa baik karena Jo rajin berolahraga.

Satu helaan berat nafasnya terus berseteru, berkecamuk pada keadaan. "Tapi jika kau butuh sesuatu langsung hubungi aku." Alisku terangkat naik mendengar ucapannya.

"Aku tidak perduli, Na. Meski itu Surabaya atau Seoul sekalipun, aku tetap akan pulang saat itu juga."

Final Jo bak hakim yang tengah mengetuk palu keputusan. Aku hanya mengangguk patuh dan mengantar kepergian Jo.

Bersama tertutupnya pintu penghubung di antara kami, detik itu pula menghantarkanku pada The Trans Luxury Hotel Bandung. Sebuah rencana, sebuah mission, dan sebuah dendam yang tidak pernah padam hidup bersama hari-hari yang terlalui.

Aku memantapkan setiap langkah kaki menuju ruang ganti para pelayan hotel. Ternyata kebiasaan mereka masih tidak berubah; orang-orang kepercayaan selalu menjadi andalan termasuk para pelayan.

Ballroom yang di sulap bak istana megah bersama pernak pernik mewah. Ini surga; surga bagi beberapa orang yang di takdirkan menjadi kapitalis dan borjuis. Kontras, sangat berkontradiksi penuh jika di bandingkan dengan para gumulan proletar jalanan hasil dari kesenjangan sosial. Gumulan yang hanya mengais sisa kepamrihan kaum borjuis demi sesuap nasi untuk mempertahankan kehidupan mereka.

Sayangnya aku menjadi bagian dari mereka.

Dari sudut aku berdiri, aku terus memindai seluruh tamu yang hadir pada malam ini. Aku hanya menyeringai kala melihat rupa dari beberapa yang ku kenali. Manik hazle, seorang aristokrat berkebangsaan Jerman dan ametis biru dari kalangan Russia tengah bercengkrama hangat bersama pria paruh baya berobsidian kelam. Tentu saja ia tidak ingin mensia-siakan aset berharga. Dasar kapitalis hipokrit.

Di sudut selatan sana, sepasang ametis ocean dengan beberapa wanita berkulit putih tengah menginvansi seluruh ruang dengan tawa bahagia. Aku benci, kembali mendengar tawa iblis dan barisan kalimat yang terlafal dari bibir tipis wanita itu. Andai saja aku mampu merobeknya saat ini juga. Namun tujuanku bukan dia kali ini.

Penyebab mimpi buruk, asal dari semua malam-malam kelamku, akar dari semua rasa takut yang menguasai, dan semua, semua... Dia ada disana, berdiri angkuh mempredasi siapa saja yang berani melawan arogansinya.

Pria berahang tegas cenderung mendominasi. Pemilik bibir tebal berkarakteristik sensual— material basah seksi itu yang selalu membuatku tergugu gugup ketika ia mengecup. Hidung bertulang tinggi dengan segala kesempurnaan tiada tertandingi. Manikku tak henti kembali mengagumi semua keindahan yang terpahat di wajah berametis tajam itu. Sungguh aku semakin membenci kala ia dengan perak rambut terkomplemen sempurna, semakin menambah kesan mewah berkebangsawanan dalam dirinya.

Tidak berhenti di situ saja saat ia dengan sengaja menyunggingkan senyum miringnya, membuat siapa saja melihat akan kehilangan sistem respirasi.

Sialan sekali dia! Aku kehilangan detik warasku beberapa sekon, hingga sadar kembali menamparku saat sosok hitam di pojok sana menatap tajam dengan hunusan kebencian. Benar saja, aku mengutuk rasa cinta yang masih mendominasi. Kepalan tanganku mengerat di balik seragam pelayan yang ku kenakan.

Cocktail di genggaman tangannya tersisa sedikit, hingga pramusaji menghampiri menawarkan gelas baru. Aku mendecih saat melihat beberapa delegasi tua bangka itu berusaha menarik minatnya untuk berjodoh dengan putri mereka. Seolah mereka lupa tentang tahun lalu saat sebuah kehidupan hancur hanya karena keegoisan dan keserakahan. Tunggu saja saat nasib neraka ia tawarkan pada putri-putri cantik kalian. Menyesal tentu silabel pertama yang akan kalian ucapkan.

Berulang kali aku melirik arlojiku, bergerak di waktu yang tepat dengan presisi yang telah aku latih baik. Beberapa acara pembuka telah terlalui, peresmian dengan tepukan riuh tamu undangan semakin menambah meriah suasana. Manik indahku menatap nyalang saat sosok itu kini berdiri menjadi pusat perhatian, ada banyak silabel yang terucap sempurna dari beberapa mereka yang haus akan perhatian untuk di akui. Segala pujian dan doa terus terlafal, tanpa mereka sadari; ada aku si minus perhatian yang menginginkan segala keburukan menimpa padanya.

Saat puncak acara yang di tunggu oleh seluruh tamu, begitu pencahayaan redup dengan kesan romantisme di tambah alunan Adagio berpadu piano. Aku melihat Tuan Frederick mengulurkan tangan pada wanita licik itu, menariknya menuju lantai dansa dengan satu pencahayaan hingga beberapa kasak kusuk terdengar kekaguman kian mengatensi pusat revolusi keduanya.

Tapi dengan pencahayaan seminim itu, disudut sana, aku masih dapat memerhati sosok jangkung berproporsi atletis, masih berdiri dengan segelas anggur di genggaman tangannya. Raut bahagia yang dia tujukan untuk kedua orang tuanya, membuatku kian muak dengan semua kebahagiaan yang masih dia miliki tanpa mengingat semua ketidakadilan yang ia jadikan nasib untukku.

Pelan aku melangkah, menerobos kerumunan yang masih terpaku akan gerak tubuh Tuan Frederick seirama dengan piano dan biola yang mengalun indah. Putaran tubuh dengan liukkan heels membuat beberapa senyum mengembang sembari menangkupkan kedua tangan terpana. Aku hanya menanti detik demi detik bersama langkah pasti tanpa ia sadari, bahwa sejak empat jam lamanya— aku menghirup respirasi yang sama dengannya.

Ametisnya terus terfokus pada dua sosok yang masih menjadi pusat atensi tanpa menghirau akan deret barisan perempuan yang menunggu di lempari daging; layaknya pria itu adalah santapan berkualitas tinggi bagi mereka anjing jalanan.

Saat titik temu kian mendekat, aku mampu mencium aroma khas berpadu dengan tembakau menyengat. Tidak ada yang berubah meski waktu banyak menditorsi upayaku, ia masih sama... Brengsek, masih selalu membuat candu.

Lima menit adalah angka krusial yang aku miliki untuk semua awal yang 'kan ku akhiri. Benda asing terlipat yang kini berada di genggamanku tersembunyi di balik nampan, membuat siapa saja tidak menyadarinya.

Dari belakang punggung aku mampu melihat senyumnya mengembang, hingga detik yang aku nanti menghampiri.

Satu.

Dua.

Tiga.

Lampu di matikan tepat saat Tuan Frederick berciuman panas di lantai dansa sana. Para kerumunan semakin berteriak riuh bahagia menganggap jika semua adalah bagian dari konsep acara utama. Permainan musik yang dimainkan perlahan melembut menambah kian romantisme saat kami saling berpelukan dengan cara berbeda.

"Lama tidak bertemu. Sayang."

Aku menyeringai puas saat ku rasakan bulir hangat mengalir di jemari ku bersama keterkejutan yang ku tangkap dari ametisnya. Cengkraman tangannya mengerat di bahuku saat aku terus menghunus dalam pisau yang ku gunakan.

"Ss—Siapa kau?"

"Kau lupa? Ini aku...

...Kekasihmu."

Begitu cepat aku terjatuh untuknya dan terluka karenanya, hingga tiada seorangpun di dunia ini mendengar suara jeritku.

Deru saat aku terbunuh dengan nafas yang berulang kali coba ia paksa hentikan dan terus merenggut arti kehidupan.

Saat pekat merah menguasai, bersama titik-titik kecil bertambah kian berintensitas volume menjadi aliran yang memercik segala arah.

Esok, saat segumpal awan meraup sendu dalam keheningan, mungkin saja aku masih menunggu sebuah kepastian.

Dan mungkin saja hidupku akan hancur setelah ini.

Tapi tidak. Sudah aku pastikan bahwa ini adalah pembatas, akhir dari segala batas dan bab hidupku.

Aku hanya ingin mengakhiri dan tenang.

Selamanya.

"ARGHH... SESEORANG TERTUSUK!!!"

Ribuan teriakan bergema saat lampu menyala. Aku melepas semua penyamaranku ketika melewati lorong-lorong menuju basement.

Rasanya ini jauh lebih ringan, semua beban terangkat. Aku harap ia tidak lagi datang mengusik malamku setiap harinya.

Jika hidup adalah peperangan, semoga ini adalah fight terakhir saat aku sebelumnya terus berkonspirasi melawan keberanian, berjuang dengan satu sisi keramaian berteriak dan suara hati di sisi nuraniku memberontak.

Ku lihat beberapa orang bergegas berlari tanpa menyadari jika aku seharusnya yang mereka cari. Membayangkan jika semua akan berakhir, menutup story dengan bagian ending terbaik saat semua lakon menderita dengan cara masing-masing. Sama seperti aku saat kehilangan orang-orang yang aku cintai, mereka harus membayar apa yang seharusnya mereka rasakan.

Sebelum meninggalkan, aku menoleh kebelakang tepat pada CCTV yang menyala. Tersenyum sebaik mungkin untuk pesan terakhirku;

"Aku menikmati hadiah pesta malam ini."

Senyum sakrasku membumbung, yang aku yakini wanita tua itu akan berteriak jauh lebih histeris daripada ribuan tamu di ruangan.

Langkah pembalasan menuntunku menuju akhir tujuan, sebelum aku menyadari seseorang asing menarikku, membekap, dan membawaku menuju van hitam.

***

"Ini salah, Bang. Kita harus membawanya ke Kantor Polisi!"

"Langkahi mayatku sebelum kau berani membawanya!"

Aku hanya menjadi penonton dengan kedua tangan terlipat sombong saat cengkraman tangan Jo di kerah kemeja Mahesa kian mengencang. Ini ketiga kalinya aku melihat gurat amarah Jo menguasai diri. Seperti kataku, dia adalah si brengsek keras kepala yang tidak mengerti arti takut. Hukum di lawan hukum, penentangan di lawan penentangan.

Jo mengambil jalan yang tidak aku duga sebelumnya.

"Dia melakukan tindak kriminal, tidak benar jika menutupinya."

"Lantas, apa bedanya mereka." Obsidian Jo menukik bersama hempasan kasar saat ia melepas cengkraman tangannya.

"Satu kesalahan yang di biarkan akan terus berulang." Kalimat Mahesa berhasil menusukku.

Aku tidak tau jika di pesta itu Mahesa hadir dan menyaksikan semua hal yang aku lakukan. Kesalahanku alpa akan Mahesa yang selama ini juga tidak henti mengorek tentang pria itu.

Jo tidak menerima option untuk melaporkan perbuatanku pada polisi meski Mahesa mentraktat jika semua file CCTV yang menangkap diriku telah berada di pihak Tuan Frederick. Tidak ada jalan bagiku untuk lolos. Semua rencana yang telah aku susun berakhir gagal meski aku mampu melakukan beberapa hal yang sedari dulu ingin aku balas.

"Jangan membuat keadaan semakin rumit. Aku akan tetap memegang prinsipku. Sheanna harus di tahan."

Final kalimat Mahesa menjadi trigger bagi Jo saat ia dengan paksa membawa Mahesa menuju pintu keluar. Aku jengah melihat drama di antara keduanya. Di singgasanaku, masih dengan noda merah di beberapa jemari, aku berpangku kaki tanpa rasa bersalah ataupun menyesal untuk semua kekacauan yang akhirnya menyulitkan Jo.

Aku bertanya;

"Apa pria itu mati?"

Dingin menjalar ke seluruh ruang saat keduanya membeku menatap ke arahku yang akhirnya bersuara sejak tadi. Ku lirik nafas Jo masih memburu. Aku tidak tau dengan cara gila apa dia sampai di Bandung secepat kilat saat tidak ada satupun penerbangan tengah malam. Sinting jika aku percaya perkataanya tentang Helikopter.

"Biar aku yang mengurusnya, Na. Kau diam saja."

"Dia masih kritis di meja operasi." Sahut Mahesa memotong Jo dengan wajah tidak kalah dingin tanpa ekspresi.

Sayang sekali hari ini aku tidak bisa menikmati senyum manis terlukis dari wajah tampan itu.

"Seharusnya dia langsung mati."

Jo menatap tajam ke arahku, tidak menyangka jika kata-kata itu akan begitu saja meluncur. Hingga kalimat akhir yang membuat Jo menghantam keras dinding disebelah Mahesa, demi meredam segala amarahnya. "Aku akan menyerahkan diri jika si sialan itu mati."

"JANGAN BERTINDAK BODOH SHEANNA. MEREKA HANYA AKAN KEMBALI MEMBUNUHMU JIKA ITU TERJADI!" Bentak Jo saat dia semakin tersulut emosi.

"Apa yang ingin kau pertahankan lagi, Jo?" Aku mengangkat jemari tangan kananku yang masih penuh noda darah pria itu, memperhatikan tiap bercak yang tercetak di jemariku.

"Kau sendiri tau, jika aku menginginkan kematianku." Kembali, aku menatap Jo penuh provokatif.

"Biarkan aku membunuhnya, setelah itu aku bersedia menerima hukuman apapun." Aku mengatakan hal yang selama ini selalu aku pendam. Keinginanku, hanya kematiannya.

"SHEANNA ELLANDRA PRISSCIA, CUKUP!" Bentak Jo saat dia tidak terima dengan semua tindakan yang ingin aku lakukan.

Aku hanya tersenyum miring menanggapi semua amarah Jo. Hingga tawa tidak dapat aku hentikan saat lagi-lagi pria bodoh ini rela menukarkan kebahagiaan hidupnya untuk menolongku. Dia benar-benar dungu untuk kategori manusia yang di sebut baik. Untuk alasan apa dia bersikeras untuk mempertahankan aku saat semua keadaan berubah salah?

Aku berdiri pada posisi, melangkah menghampiri Jo saat tidak mampu menghentikan menyaksikan semua kegelian ini. Betapa bodohnya orang-orang selama ini berhasil aku tipu.

Melihat seluruh keterkejutan yang berusaha Jo bungkam saat melihatku terus terbahak di hadapannya, aku memegang pundak Jo sembari mengontrol semua tawa yang tidak dapat aku hentikan, merunduk sejadi-jadinya saat aku baru tau jika dia adalah sosok keras kepala yang sama sekali tidak memiliki rasionalitas.

Ku lirik dari ekor mata, Mahesa tidak kalah heran melihat diriku. Ini terlalu asik untuk di saksikan hingga air mataku tidak mampu membohongi. Tubuhku terus menggantung dengan satu tangan memegang perut sembari mempertahankan pegangan pada pundak Jo.

Dengan semua tipu muslihat yang telah aku buat selama ini, aku menghunus Jo dengan penyesalan akibat pilihannya menolongku.

Akankah dia menyesal telah mempertahankan ku?

Dasar pria dungu. Termanfaatkan tanpa tersadar.

"Kau terkejut?...

...Apa aku sekarang terlihat berbeda, Cho Seungyoun?"

"Aku hidup hanya untuk kematianmu." (Sheanna Ellandra Prisscia)

HALLO READERS... 👋

UNTUK KALIAN YANG MEMILIKI WATTPAD, KALIAN BISA BACA FANFIC INI MELALUI WATTPAD SAYA @El__SCho.

SAYA AKAN LEBIH DULU MENGUPDATE CERITA INI DI SANA.