What we all need?
Just more about the lies of the world.
Nobody knows how you've betrayed me. No flaws when you're pretending. And somehow you've got everybody fooled.
Without the mask where will you hide?
But now I know you. I know the truth now. I know who you are.
And I don't love you anymore.
***
- November 05
Hujan turun dalam bentuk gerimis saat senja pulang kepangkuan sang malam. Bulir-bulir buram meretakkan sesekat kaca, akrab bersama renunganku yang tiada berujung.
Sebuah pertanyaan yang masih menggantung tanya dari salah satu novel yang pernahku baca. Mengapa Tuhan menciptakan manusia berdiferensiasi sesuai dengan karakter masing-masing?
Mengapa harus ada perbedaan? Jika sama, jauh lebih indah dan damai dari pada memaksa menyatukan perbedaan rumit menjadi sesuatu yang utuh.
Namun aku tidak dapat menyangkal, jika potongan puzzle dengan bentuk berbeda nyatanya terlihat jauh lebih indah saat disatukan. Komposisi dengan pola berbeda-beda, saling melengkapi satu sama lain, saling menutup celah kecil hingga terbentuk karya seni yang unik.
Hal yang telah lama aku amati dari orang-orang yang aku temui, tentang ketidakpastian di balik pasti jawaban essay dari pertanyaan yang aku jawab sendiri. Ntahlah, Aku sendiri masih meragu.
Serupa tapi tidak sama, itulah manusia. Ada banyak teka-teki di balik segala sesuatu yang terasa nyata. Membuat semua terasa rumit dengan sandi yang harus di pecahkan, menebak-nebak jalan cerita, serta menyuguhkan plot twist terbaik sampai kita tidak sadar terbawa arus permainan kata-kata dan terjebak amarah.
Setiap orang berbohong, berkamuflase, memakai topeng, saling memanipulasi, membuat satu sama lain meragu akan ketulusan yang di beri.
Siapa dia? Dengan siapa aku berbicara? Sang protagonis atau antagonis yang aku hadapi? Dan terkadang semua menjadi pertanyaan-pertanyaan yang di biarkan tanpa terjawab, lambat laun menjadi persepsi negatif alam bawah sadar.
Begitulah adanya, menyelamatkan diri sendiri di balik topeng. Ini bukan tentang bagaimana memperdaya seseorang, tapi tentang bertahan.
Aku pun sama, memakai topeng. Tanpa topeng, dimana aku akan bersembunyi?
Hujan terus berlangsung saat sebagian pemikiranku masih berkisar tentang karakter yang di bangun orang-orang. Nafasku terhelan pelan, hujan membuat semuanya terasa begitu berat. Tidak ada yang bisa aku lakukan satnight ini selain memandangi hujan yang mungkin tidak akan berhenti begitu saja, terasa lebat dari arah jendela kamar. Sungguh membosankan rutinitas seperti ini, terkurung tanpa melakukan apapun.
Aku memutuskan mencari peralihan dengan sesuatu yang dapat membuatku melarutkan rasa bosan. Gelap menjadi satu-satunya tertangkap netra saat menuju dapur. Kopi ku seduh tanpa gula, meninggalkan pahit di ujung lidah bersama getir tersisa saat aku melihat siluet Cho di ruang tengah sedang kesulitan mengganti perban di telapak tangannya.
Aku menyentuh bekas luka di leherku yang tidak terlalu dalam, hanya goresan. Cho berhasil menolongku dengan meminta pertolongan kenalan dokternya. Sedangkan telapak tangannya harus berakhir dengan jahitan, cukup banyak, dan mungkin terlalu dalam. Dapat ku lihat dia begitu kesulitan melakukan aktifitas termasuk menggenggam handphone.
Aku memberanikan diriku berjalan mendekat, ku lirik dahi Cho mengeryit saat melihat aku menumpu tubuhku dengan lutut di hadapannya yang tengah duduk di sofa. Menggeser kotak P3K kesamping, meraih tangan Cho dan sisa perban yang belum ia lekatkan. Membantu Cho membalut kedua telapak tangan dalam kebisuan.
Aku tau Cho hanya memperhatikanku di balik diamnya. Seminggu ini kami hanya berakhir tanpa suara. Tapi Cho masih tetap sigap menyembunyikan semua benda tajam yang ada di apartemen. Tidak membiarkanku mendekat pada balkon ataupun pergi keluar sendirian sekedar membuang sisa sampah makanan yang Cho pesan.
Cho semakin menjadi posesif untuk hal-hal kecil yang aku lakukan sendiri tanpanya, dia bahkan tidak peduli dengan keadaan diri sendiri.
"Mau pergi keluar?" Pertanyaan itu ia layangkan saat aku telah selesai melilit perban dan akan beranjak pergi menuju kamar.
Aku hanya menjawab sembari melirik tangannya, "Naik mobil? Dengan tangan seperti itu?"
Cho membalas jawabanku dengan tawa kecilnya, "Kenapa, khawatir? Padahal baru seminggu kau selalu berusaha suicide."
Aku berdesis sinis atas sindirannya itu. Berusaha untuk tidak terprovokasi. Bukannya aku takut, hanya saja aku kasihan memberinya nasib meninggal di usia muda saat dia adalah Jupiter yang selalu di kelilingi puluhan asteroid kampus.
"Tenang, Aku tidak akan menabrak pembatas jalan saat menyetir." Saut Cho lagi dengan mengangkat tangan ke udara sembari memutar-mutar kedua pergelangan tangannya, mungkin ia tengah menunjukkan jika lukanya tidak terlalu serius.
"For your information, I'm a ghost driver."
"Nice to meet you ghost driver" Aku menyilangkan kedua tanganku di dada. "I am the fuck of ghost rider." dan menyunggingkan senyum miring pada Cho.
"Teman?" Cho mengulurkan tangan yang terbalut perban padaku untuk berjabat, yang ku balas, "Jangan sok keren jika kau tidak bisa menahan nyerinya."
Tawa Cho meledak atas sindiranku, air mukanya terlihat begitu cerah karena aku berani membuka diri. Semua terjadi begitu saja, interaksi tanpa kecanggungan setelah berbulan-bulan lamanya kami terkurung pada ke ambigiuan bisu.
Dibawah temaram lampu dengan sinar orange-nya, saat hujan melarutkan semua pembatas yang tercipta dan mengalir layaknya air menerjang bebatuan karang hingga menjadikannya jalan, aku telah mempersilahkan Cho masuk menyelami dasar terdalam kehidupanku yang penuh akan peperangan.
Malam itu aku mengakhiri obrolan ringan kami dengan kesepakatan kami akan pergi keluar setelah luka di kedua telapak tangan Cho sembuh. Tidak ada kata maaf ataupun penjelasan untuk semua kejadian dan prilakuku, seolah Cho menjadi pihak yang di paksa mengerti atas sikapku. Semua berjalan layaknya tidak pernah ada sesuatu yang besar menimpa kami sebelumnya.
Aku menyembunyikan luka, dan Cho menyamarkan tiap luka yang dengan paksa aku tutup.
***
Di siang ini, saat sepanjang jalan aku hanya menatapi sepetak lahan, perumahan, perkantoran, cafe dan resto, serta orang-orang yang mengorbankan leisure mereka, memilih menghabiskan dengan hal yang lebih produktif guna mendapatkan upah begitu padat memenuhi lalu lintas.
Ku perhatikan gerak perubahan awan yang semula mendung perlahan menyambut kami dengan sinar cerahnya, sepertinya Matahari enggan mengalah kali ini. Di balik kemudi Cho terlihat begitu tenang sembari menggerakkan kepala mengikuti iringan musik Within Temptation - Shot In The Dark. Ternyata seleranya tidak buruk.
Sedari pagi Cho membawaku berkeliling Kota Bandung dengan Pajero Sport miliknya. Fyi, ia menamai benda itu dengan sebutan Lily, sangat kontras dengan penampilan elegant dari si hitam.
Perjalanan kami siang ini berakhir di salah satu Mall pusat kota. Memasuki tempat ramai, berkeliling melewati satu persatu kios, dan terkadang harus berdesakan saat ingin menuju kios yang ingin di tuju, membuat respirasiku tercekat beberapa kali. Aku memilih mengekor di balik punggung kekar Cho demi mendapat perlindungan. Tidak jarang beberapa kali aku terkesiap saat beberapa orang tidak sengaja menyenggol lengan ataupun tubuhku.
Tentang Jupiter dan para Asteroid yang pernah aku katakan sebelumnya. Dunia Sains telah membuktikan jika Jupiter merupakan planet terbesar di antara empat raksasa gas— Saturnus, Uranus dan Neptunus, serta menjadi yang terbesar di sistem Tata Surya. Dengan silau ketampanan yang dimiliki Jupiter meski ia menjadi yang ke empat, Jupiter tetap percaya diri berdiri gagah menjadi yang terkuat melalui rotasi tercepatnya. Menyandang simbolis sebagai Dewa Zeus, raja para dewa dan penguasa langit, tentu Jupiter sadar seperti apa kedudukannya.
Para astronom telah mempercayai sejak Big Bang 13,7 miliar tahun lalu, alam semesta terus meluas. Peristiwa kelahiran alam semesta bukanlah sebuah ledakan yang meletus keluar dari titik pusat ledakan. Semula ukuran alam semesta di percaya bermula dari sangat kecil dan padat, kemudian setiap titik meluas secara merata terus berlanjut sampai hari ini. Hingga terbentuklah hipotesis, bahwa alam semesta tidak memiliki pusat.
Namun bagi para Asteroid yang berbagi orbit yang sama dengan Jupiter, mereka (Asteroid) selalu menjadikan Jupiter sebagai titik pusat untuknya mendekat. Dengan daya tarik gravitasi yang memikat, Jupiter berhasil membuat Asteroid berkerumun mengelilingi tanpa henti. Asteroid itu selalu berusaha mencuri atensi tanpa peduli jika sang Jupiter abai dan diam saja.
Itulah yang aku lihat dari Cho Seungyoun. Kehadirannya selalu berhasil menjadi pusat atensi wanita. Memiliki proporsi tubuh sempurna, bahu tegap, lengan berotot, serta kesan seksi dengan jalinan tinta yang melakar beberapa bagian tubuh, membuat siapa saja agresif ingin mengeksplore dan menyentuh lebih dalam.
Bukankah pria yang berani berekspresi melalui tato dan memiliki ciri tersendiri justru terlihat lebih seksi?
Ah... Satu lagi. Jangan lupakan bagaimana obsidian hitam dengan garis senyum bulan sabit memiliki pesona tersendiri, saat Cho hanya melepas sedikit gravitasinya— menarik siapa saja hingga terjatuh tanpa mampu melepas. Kalian benar-benar berada dalam masalah besar jika telah terjebak oleh persona Cho Seungyoun.
Siang ini, dengan apa yang aku lihat dan saksikan sendiri. Aku dapat menarik kesimpulan, ternyata menarik perhatian seorang Cho Seungyoun tidak semudah itu.
Di belakang Cho aku terus menghitung dalam diam ada berapa saja wanita haus akan belaian melirik seduktif kearah Cho. Tapi Cho terus melangkah percaya diri dengan kedua tangan ia simpan di saku jeansnya. Hingga beberapa saat ketika langkah kami terhenti, sapaan dari pramuniaga toko yang kami hampiri menyadarkanku.
"Handphone, for what?" Tanyaku saat berada di ambang deretan counter handphone.
"Ya komunikasilah."
Aku baru tau selain humoris dan posesif, Cho punya sisi menyebalkan, tengil, jahil dan sedikit galak— terkadang.
"Aku kira buat lempar cakram." Jawabku sekenanya.
Cho memiringkan kepala, sedikit memutar badan menghadap ke arahku.
"Kenapa?"
Ia seperti tengah menimbang sesuatu dengan sudut bibir yang sedikit ia tipiskan, "Hmm... Boleh sih, tinggal pilih mau yang mana. Mau yang lempar anjing? Bisa sekalian beli sekonter-konternya."
Wait, pilih? Itu maksudnya untuk aku?
"Aku bukan tipe orang dengan tingkat percaya diri tinggi, tapi aku perlu memastikan sesuatu." Aku menyipitkan mata menatap obisidan Cho, penuh selidik akan sesuatu. "Kau berniat membelikanku handphone?"
Cho hanya tersenyum dan kembali melangkah masuk mendahului ku, "Iya anak manis." Responnya singkat.
"Untuk apa? Ya maksudku... Aku tidak terlalu butuh handphone." Aku melangkah cepat setengah mengejar jarak Cho.
Ketika Cho menghentikan langkahnya, memutar badan, membuat aku hampir menubruk dada bidangnya. "Kau tetap butuh handphone meskipun tidak pernah keluar atau ada telepon rumah sekalipun." Jawab Cho dengan santainya tanpa menunggu respirasiku kembali setelah dengan kurang ajarnya tercekat.
Ia kembali berjalan meninggalkanku tanpa peduli dengan aksi protesku yang terus menolak semua pemberiannya.
Terlalu berlebihan, aku rasa begitu. Selama tinggal bersama Cho, ada banyak hal yang Cho berikan seolah dia sudah menjadi penanggung jawab hidupku.
Pakaian bermerk yang dulu hanya bisa ku nikmati melalui netra di etalase toko, kini sehari-hari menjadi pakaian yang aku pakai.
Aksesoris yang tidak terlalu aku butuhkan, sepatu, tas dan semua hal-hal mewah lainnya Cho penuhi tanpa menghirau penolakanku.
Aku seperti terbawa mimpi pada dunia fantasi, hidupku berputar 180 derajat dalam sekali malam. Mendapatkan apa yang dulu susah payah aku dapatkan. Merasakan apa yang dulu begitu sulit untuk sekedar aku jamah.
Keinginan-keinginan semu dulu kini terlengkapi sempurna dalam satu waktu berkat Cho.
Tidak ada ke khawatiran bagaimana caraku makan esok hari jika hari ini aku mencicipi makanan cafe atau restoran. Bagaimana caraku menghemat uang agar air dan listrikku tetap hidup jika hari ini aku menghabiskan seratus ribuku. Atau tentang bagaimana caraku mendapat konsul di klinik kecantikan demi menghilangkan bekas suicide.
Aku hanya tertawa miris melihat tampilan diriku sendiri di cermin, bak boneka yang di dandani sempurna, sekarang akulah sang primadona.
Mungkin jika dulu aku akan sulit melepaskan ini semua. Tapi sekarang, pertanyaannya; untuk apa?
Untuk apa saat aku tidak dapat memiliki duniaku seutuhnya. Aku terkurung pada kebebasanku, pilihan untuk melangkah lebih jauh terlalu sulit untuk aku lakukan. Cho menahanku berada disisinya ketika aku berkemauan keras untuk lari dan terjun ke jurang kematian; aku ingin meraih kebebasanku dengan caraku.
Kini kedua tangan Cho sudah di penuhi dengan totebag hasil menjarah seluruh Mall. Jangan salah paham, tentunya itu hasil dari mengkonsumsi habis tanpa sisa credit card milik Cho. Cho berkata, untuk mendapatkan kembali disposable income-nya; bisa di pikirkan nanti. Jadi aku hanya diam saja.
Aku hanya mengikuti arahan Cho menyuruhku lebih dulu berjalan di depannya. Layaknya Big Boss menenteng tas bermerk dengan dagu terangkat serta langkah kaki di penuhi arogansi, semakin sempurna diriku untuk di caci maki karena di temani ajudan setampan Cho Seungyoun— lebih tepatnya; katakan saja ia sebagai tipe pacar ideal.
Setelah pulang nanti aku akan memilih berhibernasi didalam kamar dalam waktu lama sembari mengompres sekujur kaki yang terasa pegal.
"Kenapa berhenti?" Aku tersentak, linglung saat Cho mengintrupsi diriku.
Ada yang aneh.
"Eung—hm... Tidak. Aku merasa ada yang mengikuti kita sedari tadi." Aku kembali mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru basement, melihat setiap sudut tanpa ter-alpa.
Sedari di Mall aku merasa ada mata lain yang mengikuti kemana arah kaki kami melangkah. Setiap fokus yang coba aku arahkan untuk menangkap sosok itu, ia menghilang begitu saja.
"Tidak ada siapa-siapa. Mungkin perasaanmu saja." Cho menyuruhku masuk ke dalam mobil setelah ia sebelumnya juga mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru basement.
Saat mobil meninggalkan Mall, ada rasa yang masih menjanggal. Aku berulang kali melirik spion, memastikan tidak ada siapapun yang mengikuti kami di belakang sana.
"Tidak ada yang mengikuti kita, Na." Perkataan Cho membuatku urung kembali melirik spion.
Cho menangkap kegelisahanku dan mencoba mengalihkan dengan hal lain. "Genre musik apa yang kau suka?"
Aku hanya menyunggingkan senyum tipis saat Cho bertanya perihal selera musik ku, "Ntahlah... Bahkan Wikipedia tidak bisa menjawab Band yang aku suka masuk kategori apa."
"Band? Woaah... boleh juga seleramu. Aku kira kau lebih suka ke ranah Boyband." Sorak Cho antusias di balik kemudinya.
Aku menaikkan alisku "Terus... Jika aku menjawab Boyband atau tentang K-Pop kau akan mencercaku dengan sindiran terbaikmu?"
Cho terkikih, "Selera musik seseorang tidak untuk di cerca mau seperti apa jenis yang mereka suka. Kelas musikmu tidak menjadi rendah hanya karena menyukai K-Pop, Keroncong, Dangdut, Trot atau genre lainnya. Genres are a way to categorize music. But it doesn't have to define you. It doesn't have to limit you."
Cho melihat ke arahku "So... Walaupun kau bernyanyi lagu Younha - Waiting sambil berteriak tidak jelas, aku tidak akan protes. 'Cause I know, ketika kata-kata gagal menyampaikan, musiklah yang berbicara."
Di akhir kalimat, Cho menambahi sesuatu sembari mengedipkan mata kirinya, "Lagian aku juga seorang Oppa, hanya bedanya sudah terkontaminasi budaya Suroboyo medok ala Betawi."
Aku hampir menyemburkan Iced Coffee Jelly Float yang baru aku sesap ketika mendengar pernyataan Cho yang terdengar lempeng namun di bumbui sedikit jokes di sore perjalanan pulang kami.
Setelah aku lebih sedikit membuka diri terhadap Cho, dia semakin banyak bertanya perihal apa saja yang aku suka dan tidak suka. Cho mencoba membuat aku nyaman untuk saling berbagi, termasuk ketakutan yang aku alami.
Aku masih belum terlalu nyaman, hanya membiasakan diri untuk terlihat baik-baik saja agar Cho merasa dihargai untuk semua usaha kerasnya masuk dalam duniaku.
Keseganan di balik meja makan atau pantry tidak lagi memenuhi apartemen Cho. Dari pada memilih membantu aku yang kini mengambil alih tugas dapur, Cho lebih senang mengawasi sembari menggangguku. Hal yang membuat suasana apartemen di pagi hari terasa hidup, semakin bertambahnya hari.
"Cepat kembalikan spatulanya Cho, ikannya nanti gosong."
"Sodet aja, Na... Sodet. Biasa di kampung nyebutnya juga sodet. Terlalu ke KBBI-an bahasamu." Begitulah Cho, dengan nada tengilnya tanpa peduli dengan aku yang mulai merasa kesal.
"Aku berhenti masak aja ya, Cho. Biar kau kelaparan di Kampus nanti."
"Galak amat. Iya ndoro putri. Nih." Cho menyerahkan kembali spatula yang sedari tadi dia sembunyikan di balik punggung, "Sekalian buatin bekal, biar hemat uang jajan." Ia tersenyum jahil.
Aku hanya merotasikan bola mata, jengah. Jika dia ingin menghemat uang jajannya, untuk apa membuang uang dengan membelikan aku jam tangan Alexandre Christie kemarin.
"Kali ini aku akan memotong tanganmu jika pulang nanti kau membawa sesuatu yang tidak penting seperti kemarin." Ancamku saat mengantar Cho ke depan pintu.
Cho hanya memberikan cengiran khasnya menanggapi peringatanku.
Tapi saat aku akan menutup pintu, Cho menahannya dan berkata;
"I can't promise to not buy if I see something that suits you." Dan setelahnya ia berlari menuju lift tanpa peduli dengan teriakan laranganku.
Mungkin sudah banyak senyum tipis yang tersemat atas semua tingkah menyebalkan Cho. Tanpa aku sadari, dia mampu membawaku kembali hidup, sejenak melupa rasa sakit dan bangkit untuk awal kehidupan baru.
Melalui hari demi hari berharap semua kembali pulih, mengobati luka hingga mengering dengan sendirinya. Namun sebagian sisi lainku menginginkan hal berbeda. Sebuah keadilan yang hingga kini ingin aku dapatkan. Rasa sakit ini harus terbayar.
Tidak susah bagiku untuk mengakses segala informasi tentang Dia ketika di tinggal sendiri oleh Cho ke kampus. Selama hampir dua tahun aku menjalin hubungan dengan-nya, aku dapat dengan mudah masuk dan mencari informasi internal tentang mereka.
Hari yang aku tunggu, hari dimana hal besar akan terjadi, hari dimana aku akan membalas semua ketidakadilan. Aku telah mempersiapkan segala sesuatu secara matang sembari menunggu dan memperdaya keadaan. Setidaknya sedikit bersabar untuk saat ini adalah tujuan utamaku.
***
- Desember 24
Hari ini tepat 24 Desember, satu tahun lamanya semua berlalu. Hari dimana orang-orang menantikan salju putih dan menyambut kebahagiaan mereka di malam hari dengan penuh doa. Hidupku justru berakhir pada jerit tangis kekecewaan, terbuang dan tersingkir tanpa berdaya sedikitpun untuk meminta pengampunan.
Di balik kaca balkon aku hanya melihat semua riuh kebahagiaan mereka yang menyambut hari baru, hari dimana setiap orang menantikan dengan penuh suka cita. Tidak ada doa dan harapan untuk kebahagiaan yang ingin aku pinta malam ini, esok pagi akan tetap menjadi neraka meski surga telah Cho ciptakan.
Hidupku tidak akan pernah tenang jika Dia masih ada. Aku selalu di kejar mimpi buruk gadis itu. Di setiap malam dia selalu datang memintaku bertanggung jawab atas nyawa yang terenggut paksa. Tangis serta teriakan di malam sunyi itu terus terdengar meski aku meredamnya dengan teriakan musik rock yang aku dengar melalui earphone.
Bagaimanapun akulah yang bertanggung jawab atas semua, menepis bayangan hitam di sudut kamar tidak akan menyelesaikan perkara. Gadis itu akan selalu datang berdiri di sudut kamar sembari menatapku dengan air mata darah yang mengalir.
Aku di hukum dan selalu disiksa tiap sekon waktu berlalu. Seharusnya bukan aku saja yang menghirup udara segar ketika fajar menjelang. Sangat tidak adil jika hanya aku yang menikmati hangat mentari saat gadis itu masih merasakan dingin di balik guci yang sampai saat ini belum disempurnakan.
Sebuah penyesalan yang terus mengejarku, membayangiku hingga aku ketakutan. Batinku terus menjerit meminta ketenangan.
Aku masih belum mempercayai siapapun termasuk Cho untuk membawaku keluar dari rasa bersalah yang tidak kunjung usai. Masih dengan sekat aku membatasi Cho untuk tidak terlalu jauh melampaui batas.
Bisa saja aku meminta Cho untuk lebih erat mengenggam tanganku saat aku merasa tali yang dia ikat kian mengendur akibat pemberontakanku. Berkali-kali aku menatap punggung kekar itu sembari menyuarakan permintaanku, tentu Cho tidak dapat mendengar ketika dua sisiku saling melawan satu sama lain dalam diam.
Aku ingin lebih lama tinggal dan menerima dunia yang tengah Cho bangun, tapi aku tetap menolak dengan sisi ego ku. Aku bisa apa selain berdusta?
"Mau?" Cho membuyarkan lamunanku dengan sebatang cokelat Silverqueen.
Selama satu tahun ini Cho terlalu sering memberiku Ice Cream cokelat atau jajanan cokelat lainnya. Cho percaya kandungan serotonin yang merupakan anti depresan alami mampu mengembalikan kembali mood.
Seperti biasa, aku menerima cokelat yang Cho berikan, memandangnya sekilas sebelum aku mengarahkan cokelat itu tepat di depan matanya.
"Chocolate," Mengangkat Silverqueen itu menutupi mata Cho yang tengah menatapku.
"Cho." Menurunkan tanganku hingga Cho dapat melihatku.
"Choco," Mengarahkan kembali cokelat itu menutupi mata Cho.
"Cho." Dan menurunkan lagi.
Cho mengerutkan dahi tidak mengerti atas apa yang aku lakukan.
"Chocolatos," Aku mengangkat lagi tanganku kembali memutus pandangan kami.
"Chojolatee." Kembali membuka penyekat tatapan Cho padaku.
"Cho-colate," Kali ini gerakanku sedikit cepat, mengangkat dan menurunkan dalam satu waktu. "Chojolate. Jo-jolatoes. Choco. ChoJo."
Saat tanganku akan kembali menutup arah pandangnya, Cho menghentikan pergerakan tanganku, menahan cokelat itu di pertengahan dadanya.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyanya masih heran.
"Cho. Jo." Jawabku yang masih di balas dengan menaikkan salah satu alisnya.
"JO! Cho— Jo. Aku akan memanggilmu dengan nama Jo mulai hari ini."
"Kenapa Jo?"
"Karena kau selalu menyuap aku dengan cokelat agar mau berkomunikasi dengan mu." Aku tidak berharap jika alasanku akan diterima begitu saja oleh Cho.
Namun Cho justru menyambutnya dengan senang hati, ia tersenyum lebar ke arahku dan ingin mengarahkan tangannya mengusak rambutku. Reflek diriku yang menjauh sebelum Cho menyentuh kepalaku membuat ia menghentikan pergerakannya.
Cho mengganti keterkejutannya dengan menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya, membentuk tanda OK dengan tangannya tadi.
"Aku suka," Responnya sembari tersenyum. "Pastikan untuk terus memanggilku dengan nama itu. Panggilan sayang, bukan?" Tanyanya tanpa meruntuhkan sedikitpun senyum.
"Hem—" Aku mengangguk atas permintaannya itu. "Bukan panggilan sayang, tapi rasanya lebih nyaman dengan nama itu."
"Whatever." Balasnya singkat.
Kini kami sama-sama beralih melihat pemandangan malam kota. Hingga keheningan yang cukup lama tercipta kembali Cho putus.
"Kau masih takut bertemu banyak orang?"
"Sedikit."
Aku tidak tau kenapa sekarang Cho membahas perihal itu. Reaksiku di mall dan jalanan raya ketika kami menghabiskan waktu di luar, setidaknya cukup untuk membuat Cho mengerti tanpa harus bertanya lebih.
"Terutama pria." Sambungku tanpa menunggu.
"Dan ketika mereka lancang buat menyentuhmu?" Aku hanya membalas dengan anggukkan ku.
"Baiklah aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk keluar dari rasa takut. Kau hanya belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Itu sebabnya kau belum mampu memaafkan segala sesuatunya, termasuk keadaanmu sekarang." Cho terus berkata sembari menatap lurus kedepan.
"Orang-orang berbuat salah, dan sebagian lainnya terluka akibat kesalahan. Trauma, perasaan takut akan selalu ada, entah itu sebelumnya kita mempunyai pengalaman pahit atau hal lainnya."
"Meski kita memaafkan belum tentu semua bekas luka akan hilang dengan sendirinya, I know. Akan ada memori kecil yang terus menyimpan kenangan buruk, membangkitkan kembali dan mengingatkan hingga dendam tercipta." Cho menjeda kalimatnya,
"Tapi di balik itu semua bukan berarti hidup mu berakhir. Di luar sana masih ada orang baik dengan segala kelembutan mereka. Mereka butuh orang-orang kuat seperti dirimu sebagai pelengkap satu sama lain. Tidak ada namanya orang rusak dan pembawa sial yang di singkirkan dari populasi. Kau akan tetap diterima dan punya ruang di antara orang-orang, mau sekelam apapun masa lalu yang kau punya."
Aku menatap ke arah Cho yang tidak henti memberikanku nasihatnya.
"Orang bijak pernah berkata; If you spend your time hoping someone will suffer the consequences for what they did to your heart, then you're allowing them to hurt you a second time in your mind (Shannon L. Alder). Kalimat itu sampai sekarang masih aku jadikan pengingat saat merasa dendam dengan orang-orang yang mencoba menjatuhkan duniaku."
Cho balas menatap ku, "Ketakutan, rasa bersalah atau semua hal yang menghantuimu, jangan jadikan sebagai penghakiman untuk diri sendiri sampai kau merasa tidak pantas untuk menerima kembali semua cinta."
Tatapan itu, tatapan mata Cho memancarkan segala ketulusan yang terus mencoba mengetuk hatiku.
"Bangkit Shean, keluar, and run. Jika kakimu masih belum sanggup untuk berlari, masih ada aku yang dengan senang hati mengendong dan membawamu keluar dari sumur yang kau buat sendiri. Setelah itu kita akan tetap bersama menghadapi segala sesuatunya."
Run, Na!
Kata-kata Cho kembali membuat pertahananku roboh perlahan, "Jika seluruh orang di dunia membenci dan menolakmu, masih ada aku yang dengan senang hati tetap merentangkan tangan untuk menyambutmu pulang."
"Aku akan tetap menjadi rumah untukmu. Tempat bersembunyi, tempat melampiaskan amarah, dan tempat untukmu kembali merasakan kehangatan."
Kali ini tubuh Cho sepenuhnya menghadap ke arahku. Cho mengangkat tangan kanan dan merentangkan jemarinya.
"Shean... Tidak semua tangan pria itu selalu menyakiti. Tidak semua tangan pria kasar dan aniaya. Jika kau belum bisa melepaskan rasa takutmu terhadap pria lain, setidaknya percaya denganku. Percaya aku tidak akan berprilaku kasar dan menyakitimu dengan tangan ini."
Masih dengan obsidian sama, menatapku penuh kasih dan harap, "Tangan ini akan memperilakukanmu dengan lembut dan hati-hati. Tangan ini yang akan menuntunmu saat tersesat. Dan tangan ini pula akan selalu memegang janji untuk memberikanmu dunia dengan penuh kehangatan di tengah duniamu yang begitu dingin dan sepi."
Cho menghembuskan nafas perlahan, berbicara terlalu lembut sampai aku tidak mampu sekedar berpaling dan menolak, "Percaya dan terima aku. Kita akan memulai semuanya dari awal. Menghapus semua kenangan menakutkan dan hidup lebih baik lagi."
Saat semua orang berjalan menjauhiku, Cho satu-satunya orang yang berlari melawan arus hanya untuk mendekatiku. Menerjang segala ketidakmungkinan demi menawarkan secercah harapan untuk aku kembali percaya.
Kedatangan Cho memang tidak memberikan seluruh sinar terang untuk kembali menghidupkan cahaya yang meredup. Dia datang menawarkan padaku sebuah dunia baru yang penuh dengan harapan akan hangat untuk di terima. Setitik harapan itu mungkin saja akan menjadi fatamorgana jika Cho tidak mampu menarikku utuh keluar dari kegelapan.
Tentu aku menantikan kebahagiaanku, kembali tersenyum dan merasakan kasih sayang layaknya orang lain. Namun, aku meragu semua akan berhasil. Ada banyak luka telah aku lalui selama ini dan semua selalu berakhir dengan kebohongan hingga aku berkali-kali dirajam rasa sakit pengharapan.
Mungkin aku akan kembali menyambung tali ku lagi untuk percaya. Tidak apa-apa jika kali kesekian aku mengikat kembali taliku yang di paksa putus oleh orang-orang. Aku sudah terbiasa di kecewakan dan bangkit dengan sendirinya, mengikat kembali tali pendekku dan kembali berjuang untuk keluar dari jurang kelam.
Setidaknya kali ini aku ingin kembali mencoba, mencoba untuk mempercayai Cho. Aku tidak ingin terus merasa kedinginan di tengah kesepian tanpa ada orang yang menemaniku sembari memelukku hangat.
Aku ingin berusaha bertahan diatas sakitku, sekedar, hanya sebentar untuk merasakan hangat dunia yang coba Cho tawarkan.
Dengan hati-hati aku berkata pada Cho, sebuah perjanjian dan syarat, "Jo, jika aku bisa percaya dan menerimamu, suatu saat jika hal buruk terjadi, kau bisa tetap percaya dan berada di pihak ku, 'kan?" Aku melirih di ujung kalimatku, "Karena apapun yang akan terjadi nanti, itu semua bukan kehendak ku."
Ada rasa takut dan gugup ketika aku kembali memulai segalanya. Gugup untuk bersuara jika orang-orang memintaku beralasan agar mereka bertahan. Takut jika suatu saat aku kembali di tinggalkan dan di biarkan terjatuh di sumur gelap dengan air yang kian menenggelamkanku.
Namun, aku melihat ketulusan yang terpancar di obsidian Cho saat ia menatapku begitu lembut tanpa sorot mengintimidasi. Cho menganggukkan kepala setuju. "Apapun yang terjadi, aku akan berada di pihakmu dan melindungimu, Shean."
Tanpa melepaskan senyum ia mengalihkan padangan matanya ke arah tangan, meminta aku untuk berani menyatukan jari-jari kami, berjanji untuk saling mempercayai satu sama lain.
Detik saat aku memberanikan diriku menyatukan kedua tangan kami, detik itu pula segala pasti dan jaminanku terkunci.
Aku menyerah untuk berjuang sendiri. Kini, aku memiliki Cho yang akan berada di sisiku, mempercayaiku dan menjagaku. Menjadikannya rumah tempatku berlindung dan kembali pulang saat aku telah lelah mengembara sejauh mungkin untuk pergi mencari tentang siapa aku.
Setidaknya, sejauh apapun aku pergi dan menghilang, Cho akan tetap menjadi rumah untuk aku kembali pulang dan beralasan tetap tinggal selamanya. Rumah dimana sebuah kehangantan dapat kurasa tanpa air mata. Sama seperti sekarang, saat aku merasa tenang di balik hangat yang Cho berikan melalui pelukan.
Aku menangis tidak mempercayai jika pada akhirnya aku menyerahkan hidupku padanya, Cho Seungyoun.
***
Mungkin bukan dunia, hanya sebuah rumah dengan perkarangan penuh tanaman bunga. Tempat yang begitu kecil namun mampu memberi kehangatan. Rumah yang bisa kau jadikan tempat tinggal yang layak.
Tempat dimana kau mampu membagi rasa bahagia, tawa, duka dan tangismu tanpa merasa takut di tinggalkan.
Dan rumah yang akan membuatmu terus kembali mau sejauh apapun kau melangkah pergi. (Cho Seungyoun)
DON'T FORGET FOR VOTE AND COMMENT