Chereads / Enough Love / Chapter 2 - 01. Bring Me to Life

Chapter 2 - 01. Bring Me to Life

- March 24

Apa jadinya pagi jika malam enggan beranjak meninggalkan senjanya? Namun aku selalu berharap fajar enggan menyambut kepulangan malam. Agar tidak ada hari esok, agar tidak ada hari baru yang bertaut sambut.

Nyatanya sang waktu tidak pernah berhenti sebelum diriku yang mengalah sendiri.

Pagiku selalu di sambut dengan denting piano, lagu Mariah Carey - Hero. Cover version Dietmar Steinhauer, Composer berkebangsaan Jerman yang di mainkan oleh pria yang ku ketahui bermarga Cho.

Aku tidak tau apa itu kebiasaan yang sering dilakukan pria itu setiap pagi sebelum aku tinggal di apartemen ini, atau hanya sekedar cara dia ingin membangunkan ku tanpa bicara terlalu banyak.

Cho akan terus mengulang memainkan lagu yang sama hingga satu jam kedepan. Meski aku telah keluar kamar dan memperhatikannya dari sudut kaca balkon, tempat biasa aku menghabiskan waktu di kesendirianku.

You know you can survive

So when you feel like hope is gone

Look inside you and be strong

And you'll finally see the truth

That a hero lies in you

Potongan lirik yang berhasil mengganggu atensi lamunanku. Di setiap pagi, dan di setiap harinya. Kalimat-kalimat itu seolah mensugesti diriku.

Tidak ada kata penutup dari pria itu, selain dia mengakhirinya dengan tersenyum ke arah ku dan berlalu menuju kamarnya untuk bersiap dengan aktivitasnya.

Hold on

There will be tomorrow

In time you'll find the way

Jika benar aku akan menemukan jalan kebahagiaanku, mengapa semua masih terasa hampa? Secuil harapan yang coba pria itu sampaikan seolah tidak berarti apa-apa bagiku, sia-sia.

Kesia-siaan, aku terpenjara pada raga dengan jiwa yang mati. Sukma ku terlelap di suatu tempat yang dingin. Rutinitas yang berjalan 89 hari lamanya tidak memberi alasan bagiku untuk merasa bahwa semuanya masih nyata.

Apartemen mewah di bilangan Cikarang menjadi penjara bagiku menetap. Hutang nyawa itu menjadi satu-satunya alasan aku masih bernafas.

Aku selalu membayangkan bagaimana rasanya terjun di ketinggian 10 lantai Meikarta Distrik 1. Orang bilang jika kau orang baik maka kau layak mengambil waktu lebih awal untuk mati. Namun, jika hanya berakhir di rumah sakit, ada banyak dosa yang harus kau tebus.

Perkataan bodoh siapa itu? Dan sialannya aku mempercayainya.

Ah— percuma saja terjun, jika kembali menyusahkan pria bermarga Cho itu. Sedari dulu Tuhan tidak pernah sudi mengambil nyawaku, dan aku harus menerima fakta itu meskipun aku tidak mau.

"Sarapan sudah tersedia di meja, aku ada jadwal kuliah pagi."

Sudah berapa lama aku termenung?

Aku hanya membalas anggukkan, masih dengan cara yang sama, muka datarku. Tidak terlalu Exited meski cita rasa masakan Cho lebih baik daripada aku. Setidaknya aku masih bisa memasak, meski buruk.

Saat akan menuju pintu, Cho kembali berbalik dengan tulunjuk kanannya ia acungkan ke udara. Raut cerah dan sebaris kalimat tanya yang di akhiri senyum manis Cho tersampaikan.

"Ah... Satu lagi. Hari ini pulang cepat. Ada yang mau kau titip?"

Belum sepenuhnya aku menggeleng enggan, Cho kembali menyambar.

"Sepertinya kau butuh cokelat. Sekalian ice cream akan aku belikan."

"Jangan kemana-mana sebelum aku pulang. Jika kau butuh sesuatu, gunakan telepon rumah. Nomor ku tertulis di note dekat meja."

"Dan tidak perlu mencuci semua piring kotor, biar aku nanti. Kau cukup beristirahat sambil Netflix jika bosan."

Apa Cho memang secerewet itu, huh?

Setelah memastikan segala keadaan baik untuk dia tinggalkan, Cho berlalu menutup pintu. Dia akan segera kembali ketika jadwal kuliahnya usai. Menemani ku hingga malam menjelang meski dengan kesunyian tanpa suara.

Tidak ada perjanjian jika aku harus bekerja mengurus segala sesuatu keperluan Cho. Aku bagaikan mayat hidup yang terus bergentanyangan. Pria itu hanya membutuhkan atensi ku tetap ada di setiap ia membuka mata.

Segala sesuatu ia lakukan sendiri dan aku hanya menikmati peran sebagai Dara, terpenjara dengan fasilitas super ada.

***

- May 24

Adilkah dunia jika berputar hanya pada beberapa orang saja? Di separuh bagian bumi, ada perkumpulan mereka yang selalu merasa terluka, kecewa, berjuang, dan terabaikan.

Sementara di sebagian lainnya, menikmati segala sesuatu dengan satu gerakan telunjuk, tanpa berusaha serta merasa percuma untuk setiap perjuangan yang mati-matian mereka lakukan.

Lantas bagaimana dengan mereka yang memilih meninggalkan kenyamanan dan terjun pada jurang kematian? Akankah mereka mampu menemukan kebahagiaan di akhir cerita? Atau malah terjebak pada kesialan yang enggan mereka tinggalkan?

Satu pertanyaan yang selalu ingin aku tanyakan kepada pria tinggi itu, Mengapa? Hanya satu kata itu yang mungkin saja mampu menjawab rasa ingin tahu ku.

Mengapa Cho selalu menerjunkan dirinya untuk permasalahan yang tidak seharusnya dia pedulikan?

Disetiap akhir pekan, saat tengah malam menjelang, Cho selalu bertemu dengan seseorang yang memiliki senyum manis. Pria yang ku temui saat di Semarang.

Dialah satu-satunya pria yang berani melawan dan membantu Cho meminta seteguk keadilan untukku. Berlari ke TKP dan kembali dengan segunung bukti. Berteriak pada rekan sejawat kala segala fakta yang ia ungkap tidak memberi pengaruh apa-apa kepada penyidik lainnya.

Seseorang yang memiliki aturan yang kuat. Berdiri pada prinsip keadilan akan kebenaran. Sebuah tekad dan prinsip yang seharusnya di miliki untuk mereka yang berpangkat sama.

Pria berseragam yang ku tunduk hormat kala ia meminta maaf sembilan puluh derajat saat tidak mampu membuktikan ucapannya, bahwa kebenaranlah yang akan berdiri menang.

Sebagai ganti untuk janji yang tak tertepati, ia memastikan untuk terus berjuang demi aku mendapat keadilan. Pria yang selalu ku ingat namanya hingga detik ini, Mahesa Dirgantara.

Malam tidak selalu menjadi waktu beristirahat untuk mereka yang telah lelah menghirup sesak oksigen di peliknya siang. Aku selalu kembali menuju kamar ketika menginjak pukul sembilan malam. Menutup pintu rapat dan mematikan lampu utama, berharap Cho akan menganggap aku telah terlelap di alam mimpi.

Di saat seperti itu aku selalu bersiap untuk mencuri dengar saat bel akan berdering di akhir pekan, menandakan seseorang akan bertandang dan tidak lain itu, Mahesa.

Aku hapal untuk senyum tegar yang selalu Mahesa sematkan kala bertemu Cho. Sebelum pahit kan tersampai, setidaknya mereka akan menguatkan satu sama lain meski sebatas senyuman yang terlintas.

Di balik pintu yang sengaja ku buka dengan mereka yang berbicara di ruang tengah membelakangi kamarku. Samar-samar ku dengar percakapan ber-volume lirih.

"Bagaimana bisa, Esa? Itu satu-satunya bukti paling kuat, semua rekaman itu...semua— Argh!" Aku melihat Cho menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, frustasi.

"Aku juga tidak kalah gila begitu tau semua lenyap. Padahal aku ingat semua masih aman di tempat penyimpanan bukti." Wajah Mahesa tidak kalah keras dengan semua perkataan yang ia maksud untuk meyakinkan Cho.

"Rekaman itu tidak cukup kuat untuk menjerat Dia ke penjara. Aku yakin Ibunya akan terus mencari cara agar Dia aman dan terbebas dari apapun."

"Terus kau akan diam saja tanpa bantu usaha?" Cho kembali menatap Mahesa dengan suara yang kian melirih.

"Tidak Bang. Masih ada cara lain untuk menghukum Dia. Aku akan mencari kemana semua bukti-bukti itu di singkirkan. Kita pasti bisa bawa Dia ke penjara, tapi mungkin bukan sekarang. Taring mereka terlalu berpengaruh untuk petinggi di Semarang. Perlawanan kita belum berarti apa-apa untuk mereka."

"Hanya kau satu-satunya harapan, Esa. Kita mungkin bisa menyerang titik lemah mereka melalui media jika rekaman itu ada."

"Dan setelah itu aku akan melihat dirimu di media massa sebagai mayat tanpa identitas, Bang."

Obsidian Mahesa menatap tajam ke arah Cho. Kalimat implisit itu, seolah jawaban mutlak untuk tindakan yang akan Cho lakukan nantinya.

"Jangan gegabah, kita tetap harus bermain aman jika berurusan dengan mereka. Yang penting Sheanna sudah aman bersama mu."

"Dengan status gila?"

Aku hanya tersenyum miring saat kalimat itu kembali ku dengar.

Semua bukti telah lenyap. Mungkin Dia akan terbebas dari kesalahan tanpa hal yang mampu menjerat. Dan yang membuat senyumku kian menggiring sarkas, saat mereka tetap berusaha memvonis gila diriku. Menjebak sebagian yang tidak punya apa-apa demi menutupi sebuah kebusukkan.

Sejauh mana skenario yang telah mereka siapkan selama beberapa bulan ini?

Aku telah kehilangan waktuku untuk membalas segala ketidakadilan ini. Selama ini aku selalu mempercayai peran sang Dewi Themis. Mata tertutup, pedang dan timbangan. Lambang dari sebuah hukum.

Hukum hadir untuk menyempurnakan ritus perjalanan manusia menuju kesempurnaan, mengawal siklus peradaban manusia menuju kemanusiaannya. Hadir untuk satu tatanan sosial yang berkeadilan dan berkeadaban. Terus melintasi dari satu dimensi ke satu dimensi lainya hingga menuju sekarang.

Sosok Lady Justice bak imaji bagi sang pendamba keadilan. Mencari titik keseimbangan dimana mereka yang telah berbuat jahat seharusnya mendapat efek jera dari kesalahan. Hingga sadar 'kan kembali menampar ketidaksadaran mereka.

Lantas bagaimana dengan aku? Orang yang disingkirkan dan di buang paksa untuk kesalahan fana. Saat akan berbicara tentang diri ini, aku malah di bungkam dan tidak di dengar. Tidak ada pembelaan untuk apa yang sebenarnya ku lihat dan ku rasa.

Aku korban dari ketidakadilan yang terus mereka dorong menjadi sang tersangka utama. Nyatanya memang setiap manusia masih harus berjuang untuk merebut hak keadilan mereka sendiri.

Jika sebuah timbangan adalah simbol keseimbangan antara hak dan tidak berhak, lantas mengapa mereka tetap berat pada yang tidak berhak? Jika saja sebuah obyektifitas dan kebal intervensi mampu menjadi gambaran sang penutup mata, mengapa keadilan masih mampu untuk di beli dan tebang pilih?

Aku selalu mempercayai fakta bahwa esensi penutup mata Dewi Themis telah rusak jauh sebelum abad ke-15 M*. Mata Dewi Themis yang telah lama terbuka mungkin saja telah lama menyaksikan bahwa timbunan emas dan berlian akan lebih indah ia kenakan. Hingga saat mata sang dewi tertutup, bayangan akan keserakahan duniawi terus bergentayangan mencampuri titik murni ke-obyektifitasan.

[*]Awal permulaan Dewi Themis digambarkan tidak mengenakan penutup mata hingga berkisar setelah abad ke 15 M trend Dewi-dewi mengenakan penutup mata mulai muncul melalui era Renaissance.

Pedang bermata dua sebagai penyimbolan kekuatan pertimbangan dan keadilan. No man above the law, tidak ada satu manusia pun yang di benarkan untuk berada di atas hukum. Apakah benar semua masih berlaku?

Pada bagian mana yang harus ku percaya? Ultimum Remedium atau Premium Remedium? Jika nyatanya pedang Dewi Themis telah lebih dulu menghunusku.

Aku yang berada di bawah, bukan mereka yang teratas dengan timbunan duniawi.

Aku membenci kenyataan ada banyak orang yang memakai topeng malaikat dengan wajah serupa. Bersembunyi di balik tipu muslihat. Siapa yang harus ku percaya ketika keserakahan telah berkuasa dan merenggut hati nurani hingga tercipta sekelompok mayoritas yang tidak berakal sehat.

Minoritas seperti kami hanya akan akan semakin di kerdilkan dan tersingkir. Percuma berharap pada tatanan keadilan tanpa campur tangan.

Saat keserakahan kian berkuasa, di situlah terbentuknya generasi pembenci baru, dengan aku yang menjadi bagian sembari membawa sebilah pedang keadilan.

***

- October 29

Kosong

Terjebak dalam lamunan

Sekelebat kisah lalu kembali terangan

Ada pertanyaan yang terus menghiasi pemikiran

Tentang kisah kelam yang belum terlupakan

Dimanakah sebenarnya aku berada?

Pada lorong waktu yang terus berlalu?

Atau aku masih terjebak nostalgia?

Mungkinkah aku telah berkemas meninggalkan masa lalu?

Sebuah pertanyaan yg belum terjawab

Pertanyaan tak hentinya ketika ku menghadap

Pertanyaan yang jawabannya ingin ku ungkap

Kepada-Mu duhai sang penguasa jagad

Ada ketakutan yg terus menghampiri

Takut untuk kembali lagi

Takut untuk mengulang lagi

Dan takut untuk menjadi bagiannya lagi

Takut...

Apa yang lebih buruk dari sekedar mimpi buruk?

Dan hal apa yang lebih menakutkan saat tidak menemui matahari bersinar di esok pagi?

Kenyataan.

Kenyataan bahwa aku masih hidup.

Kenyataan bahwa aku masih mampu merasakan hangat Mentari.

Dimana kenyataan yang membawaku pada keadaan yang selalu memberi tekanan tanpa memberi jeda untuk aku tenang dengan damai. Aku bahkan tidak lagi mampu menopang pundakku sendiri.

Dadaku terlalu sesak menahan setiap hal yang ku sembunyikan, saat aku tidak tau arah mana harus berlari menyelamatkan diri.

Saat aku tidak menemukan tempat untuk beristirahat sekedar berharap akhir dari sebuah ketakutan.

Di ujung lorong sana aku selalu melihat bayangan hitam terus mengulur tangan meminta ku menyambutnya. Tapi lagi-lagi aku di tarik paksa oleh Cho untuk segera keluar dari titik pembatas.

Seharusnya Cho melepas jika dia sendiri tidak mampu berpijak pada buminya. Ketika seluruh semestanya hancur, apa yang bisa ia harapkan dari seorang tawanan yang tak memiliki tuas penyelamat.

Aku bukan sandera dengan jaminan permata, hanya besi karat tertumpuk jerami. Jika mereka rela mencari, maka aku hanya akan menjadi sisa ampas pembuangan yang enggan di lirik. Tumpul tak berguna.

Pulang dalam keadaan mabuk dan kacau disetiap malam. Merdu lantunan irama piano di pagi menjelang tidak lagi ku temui keindahannya. Hanya sumbang dan redup dari sisa cerah beberapa bulan terakhir yang ku lihat.

Maafkan aku Cho, maafkan aku jika pahit alkohol yang kau tenggak adalah aku sang penyebab. Jika senar gitar yang selalu putus karena emosimu adalah aku yang menjadi si pisau tajam penghunus mu.

Jika aku tidak mampu lagi melanjutkan hidup, lantas bagaimana dengan dirimu, Cho?

Satu-satunya harapan.

Saat aku telah pasrah pada hidupku dan menjatuhkan segalanya padamu. Lantas bagaimana dengan dirimu?

Satu-satunya jalan.

Haruskah kita sama-sama berlari?

Haruskah kita sama-sama terjun?

Dan haruskah kita sama-sama berakhir?

Mereka telah menyentuhmu, mengganggumu, hingga membuat bisnis yang mulai kau rintis gulung tikar. Hanya karena aku, sampah yang tidak seharusnya kau pungut, kini menjadi penyebab duniamu jatuh kedasaran.

Seorang Cho Seungyoun yang ku ketahui sosok terkuat yang berdiri pada Olypmus-nya. Nyatanya, ia tetaplah manusia yang bersembunyi pada karakter Zeus. Ledakan emosi di balik dering ponsel yang mengganggu aktifitasnya, selalu membuat ia segera bergegas pergi hanya untuk menjaga rasa ingin tahu ku tidak kian membesar.

Aku pikir semua pria sama saja, melihat mereka yang selalu berlari dari keterpurukkan menuju dunia malam sebagai pelampiasan. Bergumul ria pada teriakan nama yang selalu ingin mereka dengar untuk di agung-agungkan pada sesama biadab.

Menjadi sang Dionysus saat seharusnya ia memilih menjadi Ares hingga titik darah penghabisan. Tidak akan pernah pulang tanpa membawa kemenangan.

Cho masih terlalu muda, ambisi akan kesenangan dan kenyamanan dalam istananya seharusnya tidak terganggu oleh orang sepertiku.

Semua orang memiliki Alter Egonya masing-masing, begitu pula Cho Seungyoun. Dia akan terlihat terlalu baik bahkan tanpa cela bajingan di hadapanku. Namun saat aku bersembunyi pada ruang gelapku, Cho akan berlari keluar mencari kesenangan di balik keterpurukkannya.

Sebelum fajar menyambut, tampilan kacau serta jejak pergumulan di malam singkat itu, dapat ku lihat di balik pintu. Ia selalu berjalan sempoyongan menuju kamar dan akan terlihat baik-baik saja saat mentari pagi menyambut hari kami. Masih dengan senyum hangat, tawa renyah dan suara riang, Cho terlalu baik menutupi ketidaktahuanku.

Menahanku di sisinya dengan tanpa imbal balik, akankah suatu saat aku akan menjadi bagian dari wanita pelampiasannya juga? Inikah yang di namakan "Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya?"

Jika Ya maka aku hanya akan mentertawakan nasibku sendiri. Wanita hina akan terus menjadi sematan pangkal namaku.

Aku hanya menanti giliranku tiba.

Hingga perasaan takut terus menghantuiku di setiap tarikan nafas yang ku hembus kembali.

Afraid, segala kemungkinan di balik awan hitam selalu mengganggu pemikiranku. Putusan pengadilan telah di tetapkan, ketiga orang itu terbukti bersalah dan hukum penjara sudah seharusnya mereka dapatkan.

Aku terbebas dari jerat hukum dengan dalih kekeluargaan. Mereka memaafkan karena penyakit mentalku, serta bagaimanapun Dia adalah kekasih yang begitu mencintaiku. Di balik itu, mereka tetap melabeliku sebagai orang berbahaya.

Aku hanya memandang miris diriku pada tampilan cermin. Sosok ini, sosok yang terperangkap pada tubuh mati. Semudah itu mereka menciptakan karakter untuk aku perankan?

Siapa yang gila?

Siapa yang berbahaya?

Siapa yang pembunuh?

Serta siapa yang terlalu di cintai?

Media begitu mengagungkan Dia, karakter pangeran dari negeri dongeng yang begitu di idamkan banyak orang. Tanpa cela dan retak. Begitulah Dia tercipta dari tatanan kekuasaan yang mampu berdiri di atas hukum manusia. Siapa yang berani menyentuhnya jika tidak ingin berakhir menjadi bagian dari Tamam Shud.

Hal yang akhirnya aku ketahui kenapa Mahesa begitu gencar ingin membuatnya mendapat hukuman. Ada banyak kasus yang selama ini selalu di tutupi para begundal berseragam itu. Selain Kekerasan, perusakkan, narkoba dan hal yang buram lainnya di balik dapur keluarga mereka.

Terlalu licik dan licin, perumpamaan itu cukup menggambarkan mereka sebenarnya. Aku hanyalah bagian kecil dari ketidakadilan yang mereka ciptakan. Seharusnya aku menjadi bom waktu, namun amunisi ku tidak cukup kuat untuk meledakkan barak pertahanan yang mereka miliki.

Hingga makin hari Cho kian menjadi, ia terlalu posesif untuk hal yang tidak perlu. Membuang jarak yang sebelumnya aku ciptakan. Kian mengikis spasi perlahan-lahan, hingga membuat aku ketakutan.

Cho akan beraksi memindahkan channel siaran yang ku tonton saat lagi-lagi wajah Dia terekpos di media. Atau Cho dengan cepat membuang surat kabar yang semalam Mahesa bawa untuk Cho dan Mahesa perdebatkan.

Aku terisolasi dari dunia luar, fakta yang seharusnya aku ketahui terkurung pada kotak persegi. Kian hari kian tertutup waktu yang menggiringku pada rutinitas palsu dan berturbulensi pada pemikiran negatif.

Tindakan kita sendiri terisolasi dan satu tindakan tidak membeli absolusi untuk yang lain (William Butler Yeats).

Aku selalu di rundung ketakukan untuk segala sesuatu yang belum terjadi. Membayangkan bagaimana masa depan yang menantiku. Tidak ada harapan yang bisa aku kais dari orang di masa lalu. Mereka begitu membenci, hingga namaku menjadi bagian yang tidak seharusnya mereka sebut.

Bagaimana jika Dia akan datang kembali?

Menjemput paksaku.

Menyiksaku.

Menjadikanku boneka.

Menodaiku.

Dan kembali menghabisiku.

Bagaimana jika Cho akan menyerah pada peperangan? Dengan mudah menyerahkanku pada mereka, demi mendapat kembali kehidupan bebasnya.

Atau, bagaimana jika Cho akhirnya yang akan menjadi malaikat mautku?

Secara dekat, Cho lebih leluasa menggantungku di atas tungku api dengan bara yang meluap rakus.

Siapa yang tau hal apa saja yang terjadi di luar sana? Ketidaktahuanku dengan mudah dapat mereka manfaatkan dalam transaksi puncak tertinggi duniawi yang selama ini selalu di kejar banyak orang.

Segala benang kusut terus bergelanyut pada pemikiran. Terlalu penuh sesak hingga aku butuh udara segar.

Berdiri pada sudut ujung balkon, merasakan sejuk semilir angin, hanya satu-satunya penenangku. Menghirup setiap sesak yang menyapa. Menggiringnya pergi hingga menuju ke bawah adalah bagian yang ku inginkan.

Lukisan pada kanvas putih di lantai terbawah gedung akan terasa indah jika di pandang dari atas tempatku berpijak ini. Dengan aku yang akan menjadi putik bunga dikelilingi mahkota merah pekat darah. Sebuah mahakarya yang akan tercipta indah dari tubuh mati ini.

Namun tindakan Cho yang begitu tergesa menutup rapat pintu balkon sebelum aku berhasil membuka, membuat aku jengah dan murka.

Secepat kilat Cho mengunci dan menyembunyikan kunci.

Membuat aku sadar bahwa Cho sama saja. Cho tidak akan membiarkanku lepas begitu saja. Ada bayaran di balik welas asih yang telah Cho tuang selama ini, yakni tubuhku.

Melihat bagaimana pagi hariku di sambut dengan Cho yang masih duduk terlelap di kamar dengan tangannya yang menggenggam tanganku. Membuatku yakin bahwa Cho selalu datang ke kamar saat aku berada di luar kesadaran.

Dia menginginkan ku.

Cho sama seperti lelaki itu.

Cho terus berusaha kuat untuk meraihku lebih dekat padanya dan menjadi penurut. Segala perhatian dan atensi kehadirannya dalam kesunyian yang aku ciptakan kian meningkat.

Aku selalu waspada untuk setiap makanan yang Cho hidangkan. Memuntahkan kembali setiap suap yang pura aku telan. Ataupun membuang kaplet obat yang Cho berikan dengan dalih vitamin.

Mati adalah terbaik sebelum aku kembali menjadi budak nafsu.

Di setiap kesempatan aku selalu mencari celah untuk berlari. Tidak ada lagi tempat untukku bersembunyi. Lari menjadi option terakhir.

Tekanan dari setiap keadaan telah membuatku tebal akan rasa sakit. Tubuhku terlalu kebal untuk tiap pecahan beling yang aku injak. Memangnya apalagi yang aku cari selain rasa sakit ingin berlari dan mengakhiri?

Secara sadar, aku mencari alasan untuk apa aku bertahan jika aku hanyalah raga mati tanpa rasa dan sukma. Aku kehilangan semua sakit saat aku sengaja menarikan ujung jemari pada benda logam yang berujung pipih dan tajam.

Menggoresnya kesana kemari, nyatanya tidak memberiku jawaban. Benar saja, aku hanya mayat yang bertendensi tanpa rasa sakit. Hanya teriakan Cho yang kian membuatku pengang.

Sentakan kasar dan makian menjadi musik pengiring kala tetes demi tetes merah menjadi titik hias di lantai apartemen.

Cho akan menarik dan membawaku menuju kamar. Air wajah yang mengeras dengan tangan gemetar saat ia membersihkan semua sisa luka menjadi momen yang tertangkap netra.

Hanya akting. Tetes air mata itu hanya manipulasi untuk Cho membuatku lemah pada pendirian. Aku menyesal telah menganggapnya AngEL jika nyatanya ia Devil yang tersamar.

Hingga di penghujung Oktober ini, aku harap semuanya akan berakhir dengan damai. Saat benda pipih mengkilap itu berhasil ku temukan di sudut meja pantry.

Aku tuli untuk tiap jerit oktaf yang Cho teriakan padaku. Dengan perlahan dia terus maju untuk meraih saat ujung benda itu telah berada pada leherku.

Dingin ujung stainless steel terasa menjadi penyejuk untuk tiap panas yang menjalar di sekujur tubuh selama ini. Mataku terasa buram saat bulir putih itu bergumul ingin melesak keluar.

"SHEANNA. DENGAR AKU, LETAKKAN KEMBALI PISAU ITU!"

"Sheanna.... Percaya padaku, suatu saat semua akan berakhir. Tidak dengan cara begini!"

Aku memundurkan langkahku ketika lagi-lagi Cho melangkah maju.

"Serahkan padaku pisau itu, Sheanna!"

Aku menggeleng, histeris kala Cho kian mengikis jarak.

"APA YANG HARUS AKU PERCAYA? KALIAN SAMA SAJA. BIADAB!"

"Kau boleh benci aku karena tidak menepati janji membawa Dia ke penjara. Tapi aku mohon jangan lakukan hal seperti ini."

"Aku janji, Na. Aku janji akan bantu dirimu menghilangkan semua rasa sakit. Please... jangan terus sakitin dirimu lagi."

Tanpa peduli, Cho tidak menghentikan langkah kecilnya. Mencoba untuk merebut pisau yang ku genggam erat di samping kanan leherku.

"JANGAN MENDEKAT, CHO!" Ujung pisau itu kian menyentuh kulitku, hingga cairan dengan wangi yang ku sukai mampu terdeteksi indera penciumanku.

"Sheanna jangan gila!"

"Kita bisa laluin ini bersama. Aku akan terus ada untukmu..."

Pandanganku kian memburam. Disaat seperti ini, mengapa aku bisa lemah hanya dengan kalimat 'Terus ada untukmu'.

Kebohongan apalagi yang harus aku terima? Aku hanyalah si sial tanpa seorang yang bersedia menemani. Bersama dan selalu ada hanya semu untuk aku rasakan dalam kamus perjalanan hidupku.

"Aku memang gila Cho. Aku gila dan berbahaya. Aku pembunuh, Cho. Tidak ada yang sudi menerima aku lagi."

"Dan kau. Kau bohong. KAU PEMBOHONG CHO SEUNGYOUN!" Rasanya begitu sakit jika harus mendengar kembali ucapan palsu.

Aku tidak rusak, sepenuhnya belum rusak. Jika saja mereka bisa menghentikanku tenggelam dalam blackhole yang ku buat sendiri. Jika saja mereka mampu mengerti aku meski secuil.

Aku tidak pernah meminta sesuatu yang begitu sulit untuk terpenuhi, tapi mengapa takdir membuatku terombang ambing pada harapan palsu akan kasih sayang.

Seteguk cinta yang inginku rasa harus aku bayar dengan duka tidak berkesudahan. Menangisi nasib diri, bahkan bayanganku enggan mengikuti. Sebegitu hina diriku untuk sekedar merasa teranggap.

Setelah semua abai yang aku rasa, sakit yang aku derita, duka dan nestapa yang tidak dapat aku lupa. Cho dengan lantang menjanjikan sesuatu yang aku yakini hanya semu.

"Kau hanya memanfaatkanku. Tidak jauh berbeda dengan Bajingan itu."

Suaraku kian melemah bersama desakan bening hangat yang tidak henti mengalir mentertawakan diriku sendiri. Aku mengarahkan ujung pisau itu ke arah Cho, berharap ia akan melangkah mundur dan menyerah.

"Tidak, Na. Tidak. Aku benar-benar tulus menolongmu, tidak ada maksud apa-apa."

"Aku akan menjagamu sampai kapanpun."

"Tolong percaya kali ini. Ada aku sekarang, kau tidak sendiri lagi. Beri aku kesempatan untuk bisa buat dirimu bahagia."

Kalimat penenang itu. Nada yang begitu lembut yang terus Cho sampaikan, menggiringku pada titik lemah untuk sekedar berhenti pada ego dan mendengar.

Dan saat terlemahku, menjadi jalan bagi Cho untuk merebut pisau yang aku genggam.

Aku berontak dan berterik agar Cho gentar pada posisi. Tapi si sialan Cho tetaplah si keras kepala yang enggan menyerah.

Hanya teriakan histeris menjadi akhir dari perdebatan kami di sore hari itu sebelum aku jatuh tidak sadarkan diri.

Mengapa di saat-saat terakhir Cho dengan tega membuatku kian merasa bersalah dan berhutang budi. Lagi-lagi aku menjadi penyebab, kembali menyakitinya yang tidak sepantasnya mendapat pesakitan.

Hal yang ku ingat dengan baik sebelum kehilangan kesadaran. Dengan sempurna, tangan Cho mengenggam seluruh tajam pisau yang coba ku hunuskan padanya.

Aroma pekat merah dan dingin lantai apartemen menjadi akhir bagiku menutup mata dengan damai. Aku berharap, agar esok tidak melihat kembali indah dunia yang coba Cho tawarkan padaku.

Dan aku berharap, esok tidak lagi melihat seorang Cho Seungyoun dengan perasaan takut dan bersalahku.

Maaf dan Terima Kasih, Cho Seungyoun.

Note : Ultimum remedium merupakan asas hukum yang menempatkan hukum pidana sebagai alat terakhir dalam penegakan hukum. Sedangkan Premium remedium adalah teori hukum pidana modern yang menyatakan bahwa hukum pidana sebagai alat utama dalam penegakan hukum.

Don't forget for Vote and Comments ya guys 😉