"Oi, anak biadab. Bangun kau!"
Sebuah teriakan kencang membuat seorang gadis berambut pirang yang sedang tertidur pulas di atas dipan kayu langsung terbangun. Ia kaget lalu menoleh ke arah sumber suara. Pertama, ia hanya bisa melihat siluet hitam tinggi karena baru terbangun dari tidurnya. Karenanya, ia pun mengucek-ucek matanya lalu menoleh lagi ke arah orang yang meneriakinya tadi.
Matanya langsung melotot saat melihat sosok di samping kasurnya saat ini. Itu adalah petugas keamanan dari akademi penyihir. Dengan tampang garang, pria yang berdiri sambil memegang tongkat sihir itu langsung menjitak kepala Lila. "Sudah berapa kali aku bilang kepadamu kalau semua murid akademi penyihir harus bangun pagi hari ini?! Kau ini memang pembangkang, ya?" cemooh pria itu sambil bersidekap tangan.
"Sekarang," perintah pria itu sambil menunjuk ke arah kasur Lila menggunakan tongkatnya, "bersihkan tempat tidurmu sekarang! Setelah itu, kau harus mandi lalu langsung menuju ke lapangan tengah. Paham?!"
Dengan takut-takut Lila pun mengangguk. Gadis itu menguap lalu menoleh lagi ke arah pria tadi. Cukup lama ia menatap intens penjaga keamanan itu sampai akhirnya pria itu merasa kesal dan menjitak kepala Lila lagi. "Kenapa kau menatapku?! Lakukan apa yang aku perintahkan sekarang atau aku akan menyuruhmu berdiri di dekat tiang bendera saat upacara pembukaan nanti!"
Lila salah tingkah setelah mendengar perintah dari penjaga keamanan itu. Ia berdiri lalu mulai melakukan pembersihan tempat tidur dengan sigap. Ia merapikan sprei, melipat selimut, serta meletakkan beberapa bantal yang ia gunakan semalam ke salah satu sudut ruangan. Si penjaga keamanan akhirnya pergi tak berapa lama kemudian karena merasa tugasnya untuk memarahi Lila kali ini dirasa sudah cukup.
Gadis berambut pirang panjang itu menghela napasnya berat. Bagi Lila, keputusan ibunya untuk menyekolahkannya di akademi penyihir merupakan keputusan paling buruk yang pernah wanita tua itu buat. Selain karena harus bersekolah di akademi yang sangat membosankan ini, ia juga diwajibkan untuk tinggal di asrama kepunyaan akademi penyihir ini.
Lila membuka jendela kamarnya besar-besar agar udara pagi dapat masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu, ia duduk di atas dipan sambil menguap lagi. Ia melamunkan akan menjadi seperti apa nasibnya kalau ia tidak bersekolah di tempat ini. Khayalan tentang dirinya yang bisa selalu tertidur di rumah membayang-bayangi lamunannya. Ia tersenyum senang hanya karena khayalan sederhananya itu.
Tak lama kemudian, ia tersadar dari lamunannya barusan. Ia melirik ke arah jam dinding yang setia melekat di dinding kamarnya lalu sedetik kemudian matanya langsung membuka lebar.
"Astaga!" pekik Lila. Waktu kali ini sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit. Padahal, upacara pembukaan akan dilaksanakan lima belas menit lagi tetapi Lila belum memakai seragam akademi penyihir. Jangankan memakai pakaian, mandi pun belum ia lakukan.
Lila putus asa. Ia berlari ke arah dapur dan hampir terpeleset karena tidak hati-hati. Untungnya, ia tidak terjatuh. Gadis itu dengan cekatan mengambil handuk yang tergantung di tali jemuran di dekat dapur lalu langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Hanya dalam satu menit Lila sudah selesai mandi. Lalu, ia pun berlari ke lemari pakaian guna mengambil seragam akademi penyihir. Namun, ia tersentak karena pakaian yang ia cari tidak ada di lemari pakaian miliknya. Ia mulai berkeringat dingin. Lila pun memeriksa kembali tali jemuran di dapur dan mendapati seragamnya belum disetrika sama sekali. Ia terlalu malas untuk menyiapkan pakaiannya di malam hari.
Hatinya mencelos. Pakaiannya masih kusut sedangkan waktu terus berjalan. Belum lagi perjalanan menuju lapangan tengah yang memakan waktu banyak jika ditempuh dengan berjalan kaki. Lila tersenyum getir.
"Ah... sialan."