Chereads / Azvara : Magic Forest / Chapter 10 - (9)

Chapter 10 - (9)

Satu hari sebelum perlombaan bulan merah, Lila masih berkutat dengan pencarian sihir alaminya. Siang dan malam ia sudah berusaha keras, namun belum ada tanda-tanda bahwa ia akan menemukan sihir alaminya dalam waktu dekat. Saat mengadu kepada Cia pun, sahabatnya itu tidak bisa memberi saran berarti. Cia menyuruhnya menunggu sampai sihir itu sendiri yang mendatanginya.

Karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan--sebenarnya masih banyak yang harus dipelajari, namun Lila memilih untuk pura-pura tidak tahu--, Lila pun mengajak Cia untuk bertemu dengan Aliga di taman belakang akademi. Bagaimana pun juga, mereka akan bekerja dalam tim dan bisa kacau jika salah satu dari mereka tidak pergi besok.

"Kau melihat Aliga?"

Cia menggeleng. Rambut kepangnya bergoyang ke kiri dan kanan karenanya. Lila cemberut. Ini sudah hampir malam tetapi Aliga belum juga menampakkan batang hidungnya.

Berkali-kali Lila mengecek jam tangannya namun Aliga tak kunjung datang. Angin senja berhembus semakin kencang dan siput udara telah memasuki rumah mereka. Lembayung senja mulai nampak, namun Aliga tak kunjung datang. Ke mana sebenarnya pria itu pergi? batin Lila.

"Lila, kau yakin sudah mengajaknya ke sini tadi siang?" Cia bertanya kepada Lila yang membelakanginya untuk memastikan. Lila mengangguk cepat. "Iya," jawabnya singkat.

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Hanya ada suara gesekan daun yang tertiup angin dan kaokan burung gagak albino di langit sana. Benar-benar sepi. Cia bahkan sempat berpikir bahwa hanya tinggal mereka berdua siswa yang masih ada di akademi ini sekarang.

"Lila, sepertinya Aliga tidak akan datang. Lebih baik kita pulang saja," saran Cia.

"Tidak, aku mau menunggunya di sini."

Cia menatap sendu ke arah gadis berambut panjang itu. "Ini sudah mau malam, dan kau bahkan belum menyiapkan segala keperluan untuk pergi ke Hutan Azvara besok," tutur Cia, "Dan lagi, udara di sini semakin dingin. Nanti kau bisa sakit jika terlalu lama berada di sini."

Lila menggeleng cepat. Ia tetap kekeuh dengan pendiriannya. "Kau pulang duluan saja, Ci. Aku mau menunggu Aliga dulu di sini. Tak apa, aku bisa menyiapkan keperluanku dalam waktu cepat jadi tak usah khawatir. Aku sudah membawa almamater akademi penyihir di tasku, jadi aku tidak akan kedinginan. Aku tidak bakalan lama, kok, hehe."

Kekhawatiran makin menjadi-jadi. Semua yang Lila katakan tadi bohong. Lila lambat sekali dalam berkemas. Dirinya yang ceroboh dan kikuk itu pasti akan bolak-balik memeriksa lemari untuk mengambil barang-barang yang lupa untuk ia bawa. Almamater akademi penyihirnya juga tidak ada. Benda itu sedang Lila pinjamkan kepada kawan sekelasnya yang lain. Jadi, kalau ia tetap menunggu di sini, sudah pasti gadis itu akan terkena demam keesokan harinya.

Karena miris dengan keadaan Lila saat ini, Cia kembali mengajak gadis itu pulang. "Ayo pulang!"

"Tidak ...," balas Lila lirih. "Aku akan menunggu Aliga di sini. Aku tidak mau membuatnya kecewa. Bisa saja tepat setelah kita pulang, dia baru saja datang, kan?"

"Bukankah kau membencinya, Lil?"

Gadis bermanik biru itu berbalik dan menatap lekat kedua netra Cia. "Aku memang membencinya, tapi untuk apa? Yang dia katakan tempo hari memang benar. Toh, aku memang tidak bisa melakukan hal-hal yang dia katakan, bukan? Jadi, untuk apa aku berlarut-larut menaruh rasa benci ke dia."

Cia tersentuh. Ia tidak pernah menyangka bahwa Lila yang kekanakan bisa berkata seperti itu. "Baiklah, aku juga akan ikut menunggu sepertimu."

"Eh, jangan!" larang Lila sambil membentuk huruf X menggunakan tangannya. "Kau tidak boleh berlama-lama di luar di saat-saat seperti ini. Kau kan penyakitan, Ci. Bisa susah kalau kau sakit demam besok."

Bukannya mundur, Cia malah maju mendekati Lila. "Tidak, aku akan menemanimu menunggu di sini!"

"Kenapa?"

"Karena aku ak--"

Belum sempat Cia menyelesaikan kalimatnya, dirinya sudah terlebih dahulu menghilang dari pandangan Lila. Lila bersyukur bahwa kemarin ia sempat mempelajari teknik teleportasi dengan Cia. Dengan begitu, ia dapat dengan mudah memulangkan temannya itu ke rumahnya. Baguslah. Dengan ini, Cia tidak perlu kedinginan sepertinya.

Lila pun memilih untuk mengambil tempat duduk di bangku kosong yang ada di taman ini. Kakinya merasa lumayan letih setelah berdiri cukup lama. Tak berapa lama kemudian, matahari tenggelam dan kegelapan menyelimuti. Udara semakin bertambah dingin hingga membuat gadis berambut pirang itu bersin-bersin. Ia menarik topi penyihirnya kuat-kuat, bermaksud untuk menjaga kepalanya tetap hangat. Namun, sia-sia saja. Keadaan masih sama seperti sebelumnya.

Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu. Aliga belum kunjung datang namun Lila belum mau menyerah. Ia yakin, sebentar lagi Aliga pasti datang. Namun, rasa kantuk mulai menyerangnya Jadilah, ia membaringkan dirinya di bangku taman sambi menatap kumpulan bintang yang ada di atasnya.

"Haahh ... Aliga belum datang juga. Tapi tak apa, Lila, dia pasti datang sebentar lagi. Yang perlu kau lakukan hanya bersabar menunggunya. Ya, kau harus bersabar. Ayo Lila semangat!" Lila menyemangati dirinya sendiri. Udara dingin malam makin menusuk kulit wajahnya. Ia berbaring dalam kondisi menggigil sambil memeluk badannya sendiri.

Karena tidak bisa menang melawan rasa kantuknya, Lila jatuh tertidur. Ia tidur di bawah atap bintang, selimutnya angin malam, dan lagu pengantar tidurnya adalah nyanyian dari jangkrik.

Ia tertidur dengan damai.

•••••

"Siapa?" Cia bergegas menuju pintu kamarnya setelah mendengar ketukan di ambang pintu. Dahinya berkerut karena menerka-nerka siapa gerangan yang ingin bertamu ke rumahnya malam-malam begini.

"Ada ap-- Aliga?!"

Di ambang pintu, terlihat sosok Aliga yang tengah menggendong Lila layaknya pasangan suami istri. Dengan muka malas, lelaki itu langsung masuk ke kamar Cia dan serta merta membaringkan gadis yang tengah digendongnya di atas kasur Cia.

"Ini, aku kembalikan sahabatmu ini kepadamu. Tadi, ia tertidur di bangku taman. Karena aku tidak tahu di mana kamar asramanya, jadi aku berikan saja kepadamu. Oh, iya, jaketku jangan lupa dikembalikan besok. Aku sedang buru-buru, jadi sampai jumpa besok."

Cia belum sempat membalas ucapan sampai jumpa lelaki itu, namun Aliga sudah terlanjur pergi. Cia menatap Lila sambil tersenyum.

"Ah, kau memang keras kepala rupanya. Tapi, kau ternyata benar, ia tetap menepati janjinya, Lil. Untuk kali ini, tebakanmu lebih tepat daripadaku."