"Hai, hai! Nona Peony di sini!"
Perempuan dengan tubuh semampai itu berjalan mendekati Lila dan rombongannya. Ketiga penyihir itu melongo dan berusaha menyadarkan diri mereka sendiri bahwa ini adalah kenyataan. Nona Peony memiringkan kepalanya dan menempelkan telunjuk di bibirnya. "Kalian kenapa melihat Peony seperti itu?" tanya Nona Peony.
Cia sadar bahwa perkataan Tuan Moore tidak main-main. Ia berusaha mengesampingkan rasa bingungnya lalu menjawab, "Ah, tidak. Kami hanya sedikit terkejut karena tidak menyangka bahwa ada yang akan menemani kami nantinya."
"Oh." Nona Peony membalas singkat. "Peony juga tidak menyangka akan disuruh untuk mendampingi kalian. Saat Peony tahu bahwa Peony disuruh mendampingi kalian juga sebenarnya ... Peony tidak mau. Tapi tak apa, selagi Tuan Moore memberikan Peony bir dan anggur merah, Peony bersedia menuruti perintahnya."
Cia tertawa masam, begitu pula Aliga. Namun, reaksi yang ditunjukkan Lila berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kedua penyihir yang akan menjadi rekannya kelak. Matanya berbinar-binar dan air mukanya berubah menjadi bersemangat.
"Nona Peony serius mau mendampingi kami?!" tanya Lila antusias. Nona Peony mengangguk dan tertawa kecil. "Iya, mohon kerjasamanya, ya!"
Lila terlihat bahagia luar biasa setelah mengetahui fakta bahwa ia akan mendapat teman bicara baru untuk lomba kelak. Cia dan Aliga tidak bisa berkata apa-apa melihat pemandangan di depan mereka. Yang ada di pikiran mereka saat ini hanya satu. Tim mereka tak lama lagi akan hancur karena dua penyihir gila disatukan dalam tim mereka oleh Tuan Moore.
"Hei, gadis, aku tidak yakin ini akan berjalan lancar."
"Ya ... sejujurnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah keputusan Tuan Moore. Melarangnya pun aku tidak bisa," ujar Cia sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Aliga terlihat frustasi. Bagaimana mungkin ia bisa berada dalam kelompok yang sangat tidak jelas juntrungannya mau dibawa kemana ini. Ia menundukkan kepalanya lalu memikirkan kembali dosa apa saja yang telah ia perbuat hingga ia diceburkan ke dalam tim abstrak ini.
Cia mencoba untuk bersikap normal di kala rekannya sudah hilang akal--terlebih lagi Lila. Gadis itu kini tengah beradu tatap dengan Nona Peony. Karenanya, ia bertanya, "Pak kepala akademi, bukankah sekarang seharusnya kami sudah pergi menuju perbatasan Hutan Azvara? Menurut jadwal yang diberikan oleh Tetua Penyihir, waktu pelaksanaan lomba peringatan ritual bulan merah sebentar lagi, loh."
"Ah, ya, kalian sudah boleh pergi sekarang. Hati-hati!" Hanya dua kalimat itu saja yang diucapkan oleh Tuan Moore. Cia makin yakin bahwa hal yang lebih buruk pasti akan terjadi setelah ini. Akhirnya, dengan langkah lunglai, ia berjalan ke luar ruangan sambil menyeret Lila dan Nona Peony yang sedang berpelukan. Aliga mengekori mereka dari belakang dengan semangat hidup yang turun hingga ke dasar.
Saat ini, Cia merasa dirinya seakan-akan menjadi karakter utama dalam sebuah cerita. Mengambil semua peran dan membantu kawan-kawannya yang lain. Tapi mau bagaimana lagi, baik Lila, Aliga, apalagi Nona Peony, semuanya tidak ada yang bisa diandalkan.
Semoga itu hanya tebakan Cia saja.
•••••
Saat ini, mereka berempat sudah berada di perbatasan Hutan Azvara. Aliga kembali normal dan mulai melihat-lihat keadaan lawan mereka. Ia kemudian menegak salivanya kasar setelah melihat betapa sangar dan mengerikannya peserta lomba dari desa lain.
"Nona Peony, apalagi yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lila. Ia mengamati Hutan Azvara yang berpendar dari kejauhan.
Nona Peony memijat-mijat dagunya dan berpikir. Sejurus kemudian, ia mengendikkan bahunya. "Peony tidak tahu."
Kini Cia yakin, lebih baik dirinya bunuh diri saja kemarin malam daripada harus tersiksa bersama kelompoknya.