Lila melihat-lihat keadaan di sekitar kawasan goblin. Tempat ini ... berantakan dan tidak teratur. Cocok sekali dengan popularitas bangsa goblin yang memang suka merusuh dan mengganggu desa-desa penyihir yang ada di dekat hutan.
Bilah kayu akasia yang dijadikan sebagai obor berserakan dimana-mana. Tempat tinggal mereka yang terbuat dari bambu dan rerantingan tampak seperti tidak pernah dibersihkan. Bahkan, beberapa tempayan air sudah menggelinding di tanah dan menumpahkan semua air hingga membasahi tanah.
Kacau. Tempat ini benar-benar kacau.
Jika saja pemberhentian ini bukan tempat terdekat dari posisi awal mereka, sudah pasti Lila akan menolak dengan keras untuk mengunjungi tempat ini.
"Kita harus masuk. Aku akan bertanya kepada tetua goblin yang ada di sini untuk meminta manuskrip mereka. Jika beruntung, kita akan pergi dengan membawa manuskrip itu. Tapi jika tidak ... aku takut hal terburuk yang kupikirkan akan terjadi." Aliga mulai melangkah memasuki gerbang kawasan goblin setelah menyelesaikan kalimatnya. Lila mengekori lelaki itu dengan langkah yang ragu dan ketakutan yang membuncah.
Tempat ini sepi. Tidak ada seorang goblin pun yang terlihat. Para makhluk hijau dengan hidung besar itu sepertinya sudah tahu bahwa pengunjung akan datang ke tempat mereka.
Ironi.
Goblin memang rusuh, namun mereka juga pemalu. Karena hal itu pula, tidak ada satu pun makhluk itu yang berani keluar dari tempat persembunyian ketika melihat kelompok Lila dari kejauhan.
"Nona Peony, apa anda tahu dimana letak markas besar tetua goblin?" Aliga membuka suara. Sudah belasan menit mereka memutari kawasan ini, namun masih belum ada tanda-tanda dari tetua goblin maupun manuskrip itu.
Wanita bermanik amethyst yang Aliga tanya itu hanya bisa mengendikkan bahunya. "Peony tidak tahu," jawabnya singkat.
Aliga mengembuskan napasnya kasar. Percuma saja ia bertanya kepada pendamping mereka yang kikuk itu. Penyihir senior itu tidak tahu apa-apa dan hanya akan menjawab pertanyaan dengan endikkan bahu.
Di sisi lain, Lila dan Cia ikut memeriksa keadaan. Mereka membuka semua rumah, melacak isinya, hingga mengumpulkan semua benda yang menurut mereka berhubungan dengan praktik sihir.
Namun, di salah satu rumah, Lila menemukan sebuah hal yang penting. "Aliga! Lihat, aku menemukan sesuatu!" teriaknya dari dalam salah satu rumah.
Aliga dan Nona Peony langsung cepat-cepat berlari menuju rumah itu. Di sana, sudah ada Cia dan Lila yang berjinjit untuk mengambil sesuatu di atas sebuah lemari. "Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Aliga dingin.
Ia tidak habis pikir. Kedua gadis ini sudah kelewat nekat dengan memasuki tempat tinggal para goblin dengan sembarangan. Dan sekarang, mereka mau mengambil barang yang ada di sini.
Ditaruh dimana otak dan rasa malu mereka?
"Gendong aku agar bisa mengambil kertas yang ada di atas sana!" Lila memerintah dengan ketus. Mau tak mau, Aliga menuruti perkataan gadis itu karena ia satu-satunya pria di kelompok ini.
Lelaki bersurai biru tua itu pun berjongkok lalu membiarkan Lila menaiki pundaknya. Setelah beberapa saat berjuang menahan berat badan Lila, benda yang diincar oleh gadis itu sudah berada di tangan.
"Apa ini?"
"Ini adalah manuskrip sihir, bodoh!"
Aliga terkesiap dan langsung mengambil kertas bergulung itu dari tangan Lila. Ternyata benar! Itu adalah manuskrip sihir yang mereka cari-cari dari tadi.
"Wah, kau benar! Nona Peony, lihat lihat! Ini manuskrip sihir, kan?"
Nona Peony memandang ragu ke arah kertas itu. Ia membentangkan benda itu dan langsung menelusuri segala sisi kertas itu. Namun, keraguannya malah makin bertambah besar.
"Peony ... tidak tahu."
"Cih."