Suara itu tiba-tiba berhenti dan menyisakan keheningan. Keheningan yang janggal. Lila dan kelompoknya saling berpandangan dan mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara.
Tiada angin tiada hujan, Lila mulai merasakan adanya keanehan. Tangan kanannya yang sedang memegang sapu terbang tiba-tiba merasa panas. Ia melirik ke arah rekannya yang lain, termasuk Nona Peony, dan raut wajah mereka sama bingungnya dengan Lila. Walau energi panas yang ia rasakan tidak terlalu besar, namun tetap saja itu aneh.
Tak lama kemudian, sapu yang Lila pegang mendadak bergetar hebat. Getarannya makin lama makin kuat sehingga membuat Lila terpaksa melemparkan sapu itu ke tanah. Rekan satu kelompoknya yang lain mengikuti apa yang Lila lakukan lalu menjauh beberapa langkah dari sapu mereka. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sapu terbang Lila ... tiba-tiba menghilang. Setelah bergetar hebat, sapu terbang miliknya dan yang lain hilang dan berubah menjadi debu. Nona Peony panik sambil berlarian tak tentu arah dan tentu saja hal itu tak memperbaiki keadaan. Aliga diam dan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Namun tak lama, suara statis yang tadi sempat berhenti kini terdengar lagi.
"Pada perlombaan kali ini, kami telah menghilangkan semua benda yang berhubungan dengan mobilitas. Agar lebih adil, kami telah menyita semua benda yang akan membantu kalian bergerak, termasuk di antaranya sapu terbang, karpet terbang, hingga roh pengangkut. Lanjutkan permainan dengan berjalan kaki dan semoga beruntung!"
Suara itu kembali berhenti dan senyap menguasai. Lila memandang Cia lalu berkata, "Ini peraturan yang mereka siapkan rupanya."
Cia mengangguk-angguk kecil. "Iya, dan aku rasa ini cukup adil. Tidak semua desa membawa sapu terbang atau benda-benda semacamnya. Jadi, ya sudah, kita tinggal berjalan kaki saja."
Aliga tiba-tiba membuka suara. "Tapi, bukan kah seharusnya mereka terlebih dahulu mengumumkan hal itu kepada para peserta beberapa hari sebelumnya? Kalau begini, sia-sia saja aku membawa sapu itu," ungkapnya.
Nona Peony yang berada di dekat mereka mengangkat tangan dengan ragu-ragu. "Hehe, sebenarnya Peony sudah diberikan informasi tentang hal ini beberapa hari sebelumnya tapi Peony lupa untuk memberitahu kalian."
Aliga berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Lila mengembuskan napasnya lelah. "Nona Peony, jika kau sudah tahu mengenai hal ini, mengapa kau masih panik?" tanya Lila pelan.
Nona Peony menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil cengegesan. "Aku suka berlarian sambil merasa panik."
Lila, Cia, apalagi Aliga sudah terlalu lelah untuk meladeni tingkah ajaib Nona Peony. Sudah terlalu banyak hal yang harus mereka pikirkan dan tingkah bodoh Nona Peony adalah salah satu hal yang paling tidak ingin mereka pikirkan.
Karena sudah terlalu lama melihat kelompoknya berjalan di tempat, Aliga selaku ketua mulai mengajak rekannya yang lain untuk berdiskusi. Ia menggambar peta Hutan Azvara di atas tanah lalu berkata, "Jadi, tempat mana yang harus kita tuju pertama kali?"
Cia langsung menunjuk salah satu titik. "Di sini. Ini tempat yang paling memungkinkan untuk mendapat manuskrip-manuskrip itu."
"Ah, jangan," sanggah Lila, "Peserta lain pasti akan menuju tempat itu saat ini dan kita harus sebisa mungkin menghindari mereka. Kekuatan sihir kita masih lemah."
Kening Aliga mengerut. Ia kemudian berdehem lalu menunjuk satu titik yang paling dekat dengan posisi mereka saat ini. "Sepertinya, kita harus pergi ke kawasan para goblin. Tempat itu adalah tempat yang paling dekat dari sini. Bagaimana?"
Ia menatap Lila dan Cia untuk meminta kepastian. Kedua gadis itu mengangguk mantap dan menyetujui saran Aliga. "Baiklah, sudah diputuskan bahwa kita akan ke kawasan goblin terlebih dahulu. Ayo jalan!"
"Tunggu! Kita nanti saja jalannya, Peony masih lelah, hehe."
"Bodoh."