Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak penyihir. Peringatan ritual bulan merah akan dilaksanakan hari ini dan lomba akan segera dimulai di Hutan Azvara.
Untuk yang pertama kalinya di tahun ini, Lila berhasil bangun pagi dan lebih cepat dari jadwal normal penyihir lain. Sebuah pencapaian yang sangat simpel namun membanggakan bagi gadis berambut pirang itu. Tidurnya juga sangat nyenyak tadi malam. Tapi yang pasti, dirinya yang ceroboh itu melupakan semua hal yang terjadi malam lalu, termasuk dirinya yang menunggu Aliga berjam-jam.
Lila merasa ada yang aneh dengan semua kejadian dari hari kemarin. Namun, ia masa bodoh dengan itu semua. Yang harus ia lakukan saat ini adalah pergi ke kamar Cia untuk langsung mengajaknya menemui Aliga dan pihak akademi.
Tapi, alih-alih langsung pergi menuju kamar Cia, gadis kikuk itu malah lebih memilih untuk bersantai terlebih dahulu sambil menyantap sup asparagus sebagai menu sarapannya kali ini. Ada kemungkinan ia tidak akan bisa lagi memakan makanan itu setelah perlombaan ini....
Alhasil, Lila pergi ke kamar Cia lima belas menit sebelum bel akademi berbunyi. Sambil menyandang satu tas penuh peralatan penyihir dan sebuah sapu terbang, Lila bergegas menuju kamar Cia.
"Cia! Ayo berangkat!"
Cia membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Di luar, sudah ada Lila yang siap dengan segala perbekalannya. "Ah, tumben."
"Apanya?" tanya Lila.
Cia tidak menjawab. Ia hanya tertawa kecil saja menanggapi pertanyaan Lila itu. Tapi, ada yang aneh bagi Cia. Tas yang Lila bawa ... tidak sebanyak yang dirinya persiapkan. Tapi, Cia tak mau ambil pusing dengan hal itu. Ia tahu bahwa di antara mereka berdua, penyihir yang paling sering merasa was-was dengan keadaan adalah dirinya. Jadi, wajar sekali jika barang bawaannya lebih banyak daripada Lila.
Karena tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Cia langsung mengambil barang-barangnya dan pergi meninggalkan kamar asramanya. Dengan menaiki sapu terbang, kedua penyihir itu berhasil sampai ke akademi penyihir dengan cepat dan aman.
Tepat setelah melewati gerbang akademi, mereka langsung bertolak menuju ruang kepala akademi. Sehari sebelumnya, pria itu telah memberi mereka ultimatum untuk terlebih dahulu berkumpul di ruangannya sebelum lomba dimulai. Sebagai penyihir yang baik dan tidak ingin menambah masalah lagi, Lila dan Cia menuruti perintah pria tua berkepala plontos itu. Maaf saja, masalah mereka sudah terlalu banyak untuk ditambah lagi.
Begitu memasuki ruangan, mereka langsung disambut dengan pandangan sinis Aliga. Lila tak habis pikir. Ini masih pagi namun pria itu sudah bersikap temperamental. Namun, daripada mengurusinya, gadis itu lebih memilih untuk langsung duduk di sofa yang ada di ruangan itu walau belum dipersilakan oleh Tuan Moore untuk duduk.
"Selamat pagi, penyihir-penyihir muda," sapa kepala akademi itu dengan ramah. "Kalian tahu hari ini hari ap--"
"Pak tua, tolong langsung ke intinya saja," potong Aliga, "Aku tidak mau berlama-lama berada di ruanganmu yang pengap ini."
Dahi Tuan Moore langsung berkerut mendengarnya. Hampir saja pria tua itu naik pitam sebelum akhirnya ia kembali tersadar akan tujuannya mengumpulkan ketiga penyihir itu di sini.
"Baiklah, jadi begini. Kalian tentu sudah tahu bahwa hari ini kalian akan berlomba di Hutan Azvara. Aku tidak tahu pasti apa saja yang akan kalian lakukan di sana, namun itu semua ada hubungannya dengan ilmu sihir. Ya, begitulah."
Kali ini, bukan Aliga lagi yang merasa kesal, namun Lila juga. "Kalau itu kami juga sudah tahu, Pak tua!" respon Lila ketus.
"Tidak, aku memiliki satu kejutan lagi untuk kalian."
Ketiga penyihir itu langsung membuka telinga mereka lebar-lebar setelah mendengar kata 'kejutan'. Sesaat kemudian, Tuan Moore melanjutkan, "Kalian akan ditemani oleh Nyonya Peony di Hutan Azvara kelak."
"Heeeh?"