Kepala akademi penyihir yang sedang duduk manis di kursi berendanya langsung menunjukkan ekspresi kaget ketika melihat seorang pemuda berperawakan tinggi dan tegap sudah berdiri di ambang pintu masuk kantornya itu. Wajahnya garang dan jelas sekali ia asal-asalan saja saat tengah memakai pakaiannya itu. Jubah akademinya saja tidak ia pakai sama sekali. Malahan, benda itu telah ia simpan dengan rapi di dalam tasnya yang lengang itu.
Namun, pria tua berkepala plontos itu secara cepat dan tiba-tiba langsung mengubah ekspresinya menjadi tersenyum sinis. "Wah, cepat sekali kau datang ke kantorku, jagoan."
Aliga diam saja. Ia malah memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan santai mendekati lemari piala yang berada di dekat pintu masuk. Bukannya mendengarkan dan membalas perkataan si penanya, pemuda itu seolah acuh tak acuh dan malah melihat-lihat catatan lomba dan piala-piala yang berhasil didapatkan murid-murid dari akademi ini.
Strategi pemuda itu berhasil. Si kepala akademi penyihir terlihat kesal karena merasa tidak dihiraukan oleh lawan bicaranya itu. Pria tua itu berdeham, sambil menggebrak mejanya sekali. Gebrakan itu tidak terlalu kuat, namun Aliga dan semua orang yang berada di dalam ruangan itu bisa mendengarnya dengan keras. Aliga menyeringai. Akhirnya pria itu kesal, batinnya.
Cia dan Lila masih tidak berkutik dari tempatnya. Aura seram keluar dari dua orang itu. Lila tahu, statistik dan tingkat kekuatan dua penyihir itu bisa dianalogikan dengan bumi dan langit jika dibandingkan dengan kekuatan miliknya. "Jadi, tidak usah basa-basi, Pak tua. Apa yang kau mau hingga menyuruhku cepat-cepat ke sini?"
"Aku akan mengikutkan kalian semua ke lomba peringatan ritual bulan merah dua hari lagi." Tanpa basa-basi seperti yang Aliga katakan, pria tua itu langsung mengatakan topik utama yang akan ia bahas.
Lila dan Cia berpandangan satu sama lain. Raut wajah bingung tercetak jelas di wajah kedua gadis itu. Aliga juga sama bingungnya dengan mereka. Banyak sekali pertanyaan yang sebenarnya ingin ditanyakan oleh tiga penyihir muda itu.
"Apa itu ritual bulan merah?"
"Memangnya apa yang harus kami lakukan di lomba itu?"
"Kenapa kau memilih kami untuk mengikuti lomba ini?"
Pertanyaan demi pertanyaan dilayangkan secara bertubi-tubi oleh tiga penyihir itu. Karenanya, kepala akademi penyihir merasa terganggu dan kelabakan meladeni pertanyaan-pertanyaan itu. Belum lagi, Lila sudah beberapa kali mengulangi pertanyaan yang sama untuk ditanyakan kepada si kepala akademi penyihir hingga membuat pria itu naik pitam.
"Sudah, sudah! Aku akan merangkum pertanyaan kalian menjadi satu dan dengarkan aku baik-baik karena tidak akan ada pengulangan jawaban lagi setelah ini!" Dengan marah, pria itu beranjak dari kursinya dan mulai berteriak hingga membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi kaget. Kemudian, ia pun melanjutkan, "ritual bulan merah adalah acara yang dirayakan setiap 60 tahun sekali dan dilaksanakan pada tanggal 6 dari bulan keenam di tahun tersebut. Di sana, kalian akan melakukan semacam adu kekuatan sihir dan-"
Tanpa berpikir, Lila tiba-tiba menyela ucapan kepala akademi penyihir itu. "Adu kekuatan sihir? Serius? Kekuatan sihirku masih sangat rendah, loh."
Bukan hanya si kepala akademi penyihir saja yang terkejut. Cia dan Aliga juga terkejut ketika melihat betapa beraninya gadis itu saat menyela perkataan seorang kepala akademi penyihir. Menanggapi pertanyaan Lila, kepala akademi penyihir itu menyeringai dan menatap tajam kedua mata Lila. "Aku punya alasan tersendiri mengapa aku menyuruh kalian untuk mengikuti perlombaan itu. Dan terkhusus untukmu, gadis muda, alasanku mengikutkanmu ke ajang bergengsi seperti itu mungkin agar aku bisa menyingkirkanmu dari hidupku ini."
Perkataan pria itu sangat sarkas hingga membuat Lila merinding dan ketakutan. Matanya berkaca-kaca dan seperti akan menangis ketika melihat pria itu memperlakukannya dengan kasar seperti itu.
"Hei, tunggu. Jadi maksudmu, aku akan dipasangkan dengan dua gadis pendek dan culun ini dalam ajang perlombaan sihir terkenal?" Aliga tiba-tiba angkat bicara setelah sedari tadi diam saja.
Kepala akademi penyihir itu tersenyum, mengangguk mantap, lalu berkata, "tentu saja."