Chereads / Azvara : Magic Forest / Chapter 8 - (7)

Chapter 8 - (7)

"Flappius Exarus!" Tepat setelah dua kata itu diucapkan, sapu yang berada di tangan Lila mulai melayang. Namun, keberhasilan itu hanya berselang beberapa detik saja dan setelahnya, sapu itu kembali kehilangan kekuatan magisnya dan menjatuhkan Lila ke tanah.

"Duh, bukan seperti itu, Lil," keluh Cia, "sapu yang kau gunakan seharusnya diangkat lebih tinggi lagi dan posisi kaki kirimu harus berada di depan kaki kanan."

Lila terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia berdiri kemudian menepuk-nepuk bagian belakang rok hitamnya yang kotor karena terjatuh tadi. Ternyata, belajar menerbangkan sapu termasuk ke dalam satu hal yang sangat menyusahkan dirinya.

Ini masih latihan paling dasar. Mantra yang diberikan oleh Cia untuk Lila hapalkan juga masih satu. Tapi, melihat sapu yang tidak kunjung terbang lama dan kaki Lila yang masih menapak di atas tanah, sepertinya latihan ini akan memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan perkiraan Cia.

Lila kembali merapalkan mantranya dengan sungguh-sungguh. Gagal. Lagi-lagi usahanya kali ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Sama seperti tadi, sapu yang berada di tangan Lila terangkat sedikit kemudian turun lagi dalam waktu beberapa detik saja. Gadis itu terlihat gusar dan uring-uringan. Bukan itu saja, staminanya juga sudah terkuras habis walaupun sebelum istirahat tadi, ia sudah menghabiskan banyak makanan di kantin bersama Cia.

Cia yang berada di dekatnya juga merasa letih. Gadis berkepang dua itu menghembuskan napasnya kasar lalu menyeka peluh yang bercucuran dari pelipisnya. Karena sudah lelah berdiri, ia pun memutuskan untuk duduk dan memandang langit biru muda di atas kepalanya.

Langit yang sedang Cia tatap kini sedang disesaki oleh pengendara sapu terbang dan beberapa siput terbang yang menjadi pengatur lalu lintas udara. Atensinya terpaku kepada rombongan murid akademi yang dengan lancarnya bisa meliuk-liuk di udara dengan sapu mereka. Gadis itu berpikir jika saja Lila bisa melakukan hal-hal tersebut, pastilah ia tidak perlu repot-repot mengajari gadis itu hal paling mendasar yang seharusnya sudah diajarkan di jenjang pendidikan di bawah akademi penyihir.

Bel berbunyi menandakan bahwa waktu istirahat telah usai Semua murid akademi penyihir, dengan pengecualian Lila dan Cia, harus memasuki kelas mereka masing-masing. Tak berapa lama kemudian, langit pun kembali sepi. Murid akademi telah kembali ke kelasnya dan siput terbang pengatur lalu lintas udara kembali masuk ke cangkangnya. Kini, tinggal Lila dan Cia saja yang masih berada di halaman belakang akademi penyihir.

"Cia, aku merepotkan sekali, kan?"

"Eh?" respon Cia. Tiba-tiba saja, Lila yang seingatnya masih meneriakkan mantra untuk terbang tadi kini sudah berada di sebelahnya. Tak hanya itu, ia pun bertanya kepada Cia.

Dengan mata yang berkaca-kaca dan suara lirih seperti ingin menangis, Lila berkata, "A-aku merepotkanmu, kan?"

Cia merasa kebingungan untuk menanggapi pertanyaan Cia yang bagaikan buah simalakama itu. Jika ia menjawab 'iya', sudah dapat dipastikan bahwa mood Lila akan rusak seminggu ke depan. Namun, jika gadis berkacamata itu menjawab 'tidak', Cia akan bermanja-manja dan tidak serius dalam berlatih karena tahu bahwa pembimbingnya tidak merasa keberatan dengan sikapnya.

Maju kena mundur kena.

Cia terdiam dan memikirkan jawaban terbaik yang harus ia berikan kepada sahabatnya itu. Lila yang berada di sebelahnya masih menunggu jawaban Cia dengan sabar. "E-eh, kenapa kau menanyakan hal itu?" tanya Cia dengan terbata-bata.

"Aku melihatmu kelelahan dari tadi. Sudah pasti kau merasa letih karena mengajariku, kan? Huaa, maafkan aku, Cia. Aku tidak tau harus bagaimana lagi," sesal Lila.

Lila terisak dan meminta maaf kepada Cia. Sepertinya gadis itu sadar bahwa dirinya sudah membuat Cia kerepotan. Namun, mendengar penyesalan Lila, Cia jadi tak sampai hati untuk mengatakan keadannya yang sebenarnya kepada Lila. Baiklah, ia harus berbohong kali ini, pikirnya.

Tangan Cia pun ia gunakan untuk mengusap-usap pundak Lila dengan lembut. Sejurus kemudian, ia mengangkat dagu Lila, menatap lekat kedua iris Lila, lalu tersenyum hangat. Isakan Lila berhenti dan keheningan menyelimuti tempat itu.

"Kau tidak pernah merepotkanku. Ya, terkadang kau memang banyak sekali tingkahnya. Namun, karena aku sahabatmu, aku tidak merasa terbebani dengan semua hal itu. Bagaimana pun juga, kau dan aku sudah saling mengenal lama, kan? Mana mungkin aku merasa terbebani hanya karena mengajarimu cara menerbangkan sapu."

Mendengar penjelasan Cia, Lila tersenyum. Semua rasa tidak enak hati dan perasaan menyesal terbang ke langit dan menghilang termakan jarak. Lila yang ceria kini kembali. Gadis itu tersenyum lalu memeluk tubuh Cia yang ada di depannya dengan erat. "Yey, terima kasih, Cia," ungkap Lila, "aku akan latihan dengan lebih serius mulai sekarang!"

Setelah berkata seperti itu, Lila melepaskan pelukannya pada Cia lalu mulai berdiri dan berjalan ke arah sapunya yang ia letakkan beberapa meter dari tempatnya sekarang. Ia pun kembali mengambil posisi untuk menerbangkan sapu dan tekadnya untuk bisa terbang sudah bulat.

"Baiklah, Lila, mari lakukan latihanmu lagi! Ingat kata-kataku tadi! Angkat sapumu sedikit lebih tinggi, taruh kaki kirimu di depan dan kaki kananmu di belakang, ucapkan mantranya dengan keras, dan terbanglah dengan percaya diri!"

Lila mengangguk mantap. Pandangannya menajam dan pikirannya terfokus sepenuhnya kepada sapu yang berada di genggamannya. Ia menarik napas panjang-panjang, lalu berteriak, "Flappius Exarus!"

Gagal lagi. Sama seperti tadi, sapunya tidak bisa terbang dengan benar. Lila cemberut. Namun, setelah melihat Cia yang sudah mau repot-repot mengajarinya, raut wajah itu kini berganti dengan senyum optimis. Tangan gadis itu terkepal dan ia kembali mencoba peruntungannya kali ini. Cia menyoraki dan memberinya semangat dari jauh. Stamina Lila seakan terisi penuh, dan ia mencoba menerbangkan sapunya berkali-kali lagi hingga lembayung senja sudah terlihat di langit.

Tak terasa, latihan yang mereka berdua lakukan sudah berlangsung hingga jam pelajaran akademi telah selesai. Langit jingga di atas mereka kini kembali ramai oleh sapu terbang dan kendaraan-kendaraan udara lainnya. Parkiran sapu juga terlihat ramai dan semua murid serta pembimbing berbondong-bondong untuk pulang ke asrama mereka masing-masing.

Beberapa puluh menit kemudian, langit telah berubah menjadi gelap dan keadaan kembali seperti tadi. Sepi dan sunyi. Yang terlihat kini hanya sekumpulan bangau pembawa pengumuman yang tengah mondar-mandir di langit malam berbintang untuk mengumumkan pemberitahuan penting untuk semua murid akademi penyihir.

"Baiklah, saatnya pulang, Lila."

Lila menoleh. Cia sudah berada di sebelahnya dan menawarkan tumpangan sapu terbang kepada gadis itu. "Tidak terasa, waktu kini sudah menunjukkan pukul enam sore. Sebaiknya kita cepat-cepat pulang sebelum roh-roh magis menculik kita jika berlama-lama berada di sini," ajak Cia. Karena tak bisa menolak, Lila pun menumpang kepada Cia. Untung saja kamar asrama mereka bersebelahan. Jadi, Cia tidak terlalu direpotkan dengan hal itu.

Latihannya kali ini sudah membuahkan hasil walau tidak terlalu signifikan. Lila harus berterima kasih banyak kepada Cia karena berkatnya, gadis itu bisa menerbangkan sapu hingga beberapa menit lamanya.

Rencananya, setelah pulang ke kamarnya, Lila akan berlatih lagi hingga lancar. Rapalan mantra Flappius Exarus berulang kali diucapkan oleh Lila pada malam itu. Namun, besoknya, ia harus kembali menghadap kepala akademi penyihir bersama Cia karena banyak kerusakan yang ia timbulkan di kamarnya saat mencoba untuk berlatih cara menerbangkan sapu terbang sendirian.