Dua hari lagi menuju hari H pelaksanaan perlombaan sihir peringatan ritual bulan merah dan Lila baru menguasai cara menerbangkan sapu dan mantra telekinesis. Di saat semua peserta lomba dari akademi penyihir di desa lain telah berlatih dan mengasah kekuatan sihir alami mereka, Lila masih berkutat dengan cara menyembuhkan luka menggunakan ramuan dari akar pohon kehidupan.
Cia yang seharusnya melatih kekuatan sihir alaminya juga ikut-ikutan terhambat karena waktunya dihabiskan untuk mengajari Lila dua hal tersebut. Kekuatan sihir alaminya yang sebenarnya cukup luar biasa malah tidak ia asah karena keberadaan Lila. Alhasil, ia sama terbelakangnya dengan Lila dari segi kemampuan sihir.
"Cia, lusa kita sudah berlomba. Apa lagi yang harus kita lakukan setelah ini?" Lila bertanya di halaman belakang akademi penyihir, tempat mereka biasa berlatih. Cia menghembuskan napasnya lelah. Gurat wajahnya jelas sekali menunjukkan bahwa ia kelelahan karena mengajari Lila selama beberapa hari ini tanpa henti. Semua pelajaran yang harusnya ia pelajari juga tidak ia acuhkan karena sudah terlalu letih.
"Haah ... setelah ini kita akan belajar cara mencari kekuatan sihir alamimu. Tapi sebelumnya, kau sudah bisa menggunakan tongkat sihir, kan?"
Lila mengangguk mantap. Matanya berbinar-binar bahagia karena mencari kekuatan sihir alami adalah topik yang ia tunggu-tunggu selama ini. Ia merasa penasaran sekaligus gugup akan kekuatan sihir alami apa yang ia miliki. Akankah itu kekuatan mengendalikan elemen air? Kekuatan api? Listrik, angin, atau tanah? Baik Lila mau pun Cia tidak ada yang tahu.
Cia tersenyum karena melihat semangat dan rasa antusias yang dimiliki oleh Lila. Itu artinya, topik pelajaran sihir kali ini akan lebih cepat dan lebih mudah dipelajari oleh sahabatnya itu.
Namun, Cia melupakan satu hal. Kekuatan sihir alami tidak bisa dicari menggunakan cara instan. Kekuatan sihir alami hanya akan muncul ketika sang pengguna melakukan suatu hal penting dan berbahaya yang berhubungan dengan hal tersebut.
Tetapi, masih ada satu cara lagi untuk mencari kekuatan sihir alami dari seorang penyihir. Penyihir yang sedang mencari kekuatan sihir alami harus mencoba satu per satu elemen yang ada di dunia ini.
Sayangnya, mengingat ada ratusan elemen yang harus dicoba di dunia sihir ini, mental dan pemikiran Cia sudah jatuh bebas duluan. Sepertinya, mengajari Lila topik ini tidak akan secepat dan semudah yang ia kira di awal tadi. Waktu semakin menipis dan masih ada ratusan elemen yang harus Lila coba untuk mengecek kekuatan sihir alami apa yang ia punya.
"Baiklah, mari kita coba dari hal yang paling mudah terlebih dahulu, yaitu air."
Cia memutar-mutar tongkatnya sambil merapalkan sebaris mantra. Tak lama kemudian, segelas air tiba-tiba muncul di tangan gadis berkepang dua tersebut. "Nah, sekarang, fokuskan pikiranmu ke air ini dan buatlah ia bergerak!" suruhnya.
Lila mengerti. Ia mencondongkan kepalanya ke air tersebut lalu menatapnya lekat-lekat. Dahinya berkerut dan pikirannya benar-benar terfokus kepada air yang ada di dalam gelas. Satu menit, dua menit, tidak ada reaksi apa-apa yang ditunjukkan oleh air tersebut. Bergoyang sedikit pun tidak.
"Ck, sepertinya kekuatan sihir alamiku bukan pada elemen air. Bagaimana kalau kita mencoba elemen tanah?" usul Lila sambil menatap tanah yang ada di bawahnya. "Tapi, bagaimana caranya?" tanyanya lagi.
Cia terlihat memijit dagunya pelan. "Kalau tidak salah, Ryou, siswa gempal dari kelas Junior 2 bisa mengendalikan tanah. Aku pernah melihatnya mengeluarkan kekuatan sihir alaminya dan karenanya, tanah yang ada di sekitarnya langsung terangkat ke udara. Ia bahkan bisa membentuk berbagai macam benda dari tanah yang ada di dekatnya," jelas Cia panjang lebar.
Lila yang berada di dekatnya langsung terkesima mendengar cerita tentang Ryou tadi. Baiklah, kali ini ia akan mencoba memberikan seluruh kemampuan dan konsentrasinya kepada tanah yang ada di bawahnya. Dengan sangat serius dan fokus, Lila menatap lamat-lamat tanah yang ada di bawahnya. Matanya menyipit dan dahinya kembali tertekuk. Dengan susah payah, akhirnya Lila menyerah karena sama seperti air tadi, tanah yang berada di bawahnya tidak bereaksi apa-apa.
Lila tampak murung. Kalau bukan tanah dan air, apalagi kekuatan sihir alaminya? Padahal, ia yakin sekali bahwa elemen tanah dan air adalah dua hal yang cocok dengan dirinya. Namun, sepertinya perkiraannya salah total. Kekuatan sihir alaminya bukan pada kedua elemen tersebut.
Lila terduduk lesu di tanah rerumputan. Ia memain-mainkan rumput liar yang ada di dekatnya dengan murung. Cia yang melihatnya merasa sangat kasihan. Ia pernah berada di posisi Lila dan rasanya luar biasa susah untuk mencari kekuatan alami. Jika bukan karena bantuan seseorang, tidak akan mungkin Cia bisa mendapatkan kekuatan sihir alaminya seperti sekarang.
"Ah, tidak apa, Lila. Lagipula, tanah dan air sudah terlalu biasa untuk menjadi kekuatan sihir alami. Bukankah itu bagus, karena bisa saja kekuatan sihir alamimu adalah kekuatan yang sangat langka, bukan?" ucap Cia berusaha menghibur hati sahabatnya itu. "Jangan menyerah! Aku tidak akan menyerah mengajarimu sampai kau sudah mencapai ambang batasmu. Ayo, Lila, masih banyak elemen yang harus kita coba," lanjutnya lagi.
Lila tersenyum. Sahabatnya itu memang selalu mengerti akan kondisi yang dialaminya. Semangatnya kembali terisi setelah mendengar kata-kata dari Cia. Ia tidak mau kalah dengan mentor pembimbing dadakannya itu. Ia harus bisa, demi dirinya dan juga Cia.
"Baiklah! Ayo kita mulai lagi! Nah, Cia, elemen apa lagi yang harus aku coba nantinya?" tanya Lila antusias sembari beranjak dari posisi duduknya. Ia merapikan roknya dan menyibak anak rambutnya ke belakang telinga.
"Yang aku tahu, ada banyak elemen yang bisa kau coba. Kita masih punya elemen listrik, angin, kristal, cuaca, dan masih banyak lagi. Ah, mungkin saja kekuatan sihir alamimu juga merupakan hal yang tidak biasa seperti Emma yang bisa mengendalikan binatang dan Ara yang bisa menggandakan dirinya dan benda yang ada di sekitar."
Lila mengangguk-angguk dan sadar bahwa ternyata masih banyak elemen yang bisa ia coba. Jika tebakan Cia benar tentang dirinya yang mempunyai kekuatan sihir alami langka, sudah pasti dirinya akan senang lahir batin. Namun, mengingat dirinya yang luar biasa payah dalam segala segi kemampuan sihir, Lila tidak berharap muluk-muluk untuk dapat memiliki kekuatan sihir alami langka. Kekuatan biasa saja sudah luar biasa cukup baginya.
Lila kembali mencoba semua elemen yang Cia sebutkan tadi. Ia memfokuskan pikirannya ke banyak hal. Namun, sepertinya hari ini memang bukan hari keberuntungan Lila. Dari semua elemen, tidak ada satu elemen pun yang berhasil ia kendalikan. Tegangan listrik yang ia lihat tidak berubah. Arah dan kekuatan angin tidak berubah, masih sepoi-sepoi seperti biasanya. Kristal tidak muncul dari tangannya dan cuaca masih cerah seperti sedia kala. Ia bahkan tidak perlu susah-susah menguji kekuatan pengendali binatangnya karena siput udara saja sudah takut melihat rupanya.
Rasa gundah gulana yang menyerangnya tadi kini kembali menyergapnya lebih parah. Hampir semua elemen kekuatan sihir alami yang Cia sebutkan sudah ia coba. Namun, tetap saja, ia masih belum menemukan kekuatan sihir alaminya. Ia ingin menangis, namun niat itu ia urungkan karena melihat raut wajah Cia yang sepertinya jauh lebih lelah dan tertekan darinya. Ia harus kuat demi menjaga perasaan Cia.
"Hmm ... kau masih belum menemukan kekuatan sihir alamimu. Semua elemen tingkat umum juga sudah kita coba semua. Tapi, sisi baiknya, artinya kekuatan sihir alamimu memang langka dan bukan elemen umum seperti tanah, air, atau pun cuaca."
Bukannya senang, rasa sedih Lila malah semakin menjadi-jadi. "T-tapi, kalau memang aku ditakdirkan untuk lahir tanpa memiliki kekuatan sihir bagaimana?" tanyanya terbata-bata.
"Ah, tidak mungkin. Semua penyihir pasti memiliki kekuatan sihir alaminya. Aku yakin, kau pasti memiliki kekuatan sihir alami yang sangat berguna, namun belum kau temukan saja sekarang. Oleh karena itu, mari kita berjuang sama-sama untuk mencari kekuatan sihirmu, Lila!"
Seulas senyum terukir di bibir Lila. Senyum hangat pemberi semangat dan rasa aman kepada sahabatnya itu. Karenanya, hati Lila kembali tersentuh. Tangannya mengepal dan dengan sisa-sisa tenaganya, ia berkata, "Mohon bantuannya, Cia!"
"Tentu saja!"