Chereads / Azvara : Magic Forest / Chapter 6 - (5)

Chapter 6 - (5)

Brak!

Suara gebrakan meja nyaring terdengar. Lila dan Cia terkejut bukan main ketika mereka melihat Aliga menggebrak meja  dengan kekuatan yang tidak main-main dengan kepala mereka sendiri. Kedua gadis itu takut jika setelah meja itu, target tinjuan Aliga selanjutnya adalah wajah mulus mereka berdua.

Keadaan yang sama juga diperlihatkan oleh sang kepala akademi penyihir. Wajahnya pucat pasi dan peluh mengalir dari pelipis kirinya. Memang benar apa yang dikatakan oleh banyak murid di akademi ini. Aliga, sang diktator dari segala murid, telah menunjukkan kemampuannya hari ini.

Tapi, bagaimana pun juga, seorang kepala akademi harus terlihat berwibawa di depan murid-muridnya. Oleh karenanya, pria botak itu berusaha tersenyum dan memaksakan muka bersahabatnya untuk keluar. "Ada masalah apa, Aliga?"

"Aku tidak mau mengikuti lomba itu dengan mereka! Mereka hanya akan menjadi beban saja bagiku, sialan!" teriak Aliga bengis. Wajahnya memerah dan matanya bergerak liar. Tidak ada seorang pun yang tahu mengapa Aliga bisa semarah itu saat menyadari bahwa rekannya dalam perlombaan bulan merah itu adalah dua orang penyihir junior yang bahkan salah seorang dari mereka saja tidak bisa menerbangkan sebuah sapu.

Tetapi, tanpa disangka-sangka Lila maju dan tanpa ba-bi-bu langsung melayangkan kelima jarinya ke pipi Aliga. Lagi-lagi, Cia gagal melaksanakan tugasnya untuk menahan gadis itu agar tidak melakukan hal-hal bodoh dan berpotensi mempercepat datangnya ajal gadis itu sendiri.

Tamparan Lila berhasil membuat sang diktator terbelalak dan membuka mulutnya lebar. Sang kepala akademi ikutan menganga, sedangkan gadis berkepang dua yang ada di belakangnya hanya diam sambil mengeluarkan keringat dingin dengan agresif. Lila menunduk dan aura-aura gelap seakan menyelimuti dirinya. Sejurus kemudian, ia menyibak rambut yang menutupi matanya lalu mengangkat kepalanya.

"Siapa yang kau panggil beban, sialan?!" ucap Lila dengan nada sinis. Ia tersenyum, kemudian melanjutkan, "aku tidak beban. Yang menjadi beban itu si Cia. Setiap hari-- ah tidak, hampir setiap hari dia selalu memintaku untuk menemaninya kemana pun dia pergi. Bukankah itu beban, hah?"

Cia terkejut karena tiada angin tiada hujan, namanya dibawa-bawa untuk pembelaan diri Lila. Ingin sekali rasanya ia berteriak dan mengucapkan beribu umpatan kepada Lila. Namun, gadis berambut coklat itu sadar. Meladeni Lila sama saja dengan menggali kuburannya sendiri. Ia tidak akan mati karena kekuatan sihir atau hal semacamnya. Ia akan mati karena stress setelah berdebat dengan gadis kaukasia itu.

"Oi, bagaimana pun juga, kau tetap beban bagiku." Tanpa disangka-sangka, pria bermanik hitam itu membalas perkataan Lila dengan argumennya yang seratus persen benar.

Tak mau kalah, Lila kembali menjawab, "tidak! Aku bukan beban!" Matanya berkaca-kaca seperti ingin menahan tangis. Akan tetapi, gadis itu masih kukuh dengan pendiriannya. Ia bukan beban, yang beban adalah Cia, dan tidak ada yang boleh memanggilnya beban. Tiga poin penting itulah yang selalu berputar-putar di kepala Lila untuk memenangkan perdebatan yang entah dari mana bisa tiba-tiba terjadi ini.

"Kau bisa menerbangkan sapu? Dan kau, gadis yang di sana, apa kau juga bisa menerbangkan sapu?" Aliga bertanya baik kepada Lila maupun Cia yang sedang berdiri di dekat sofa. Cia mengangguk dengan mantap karena terbang dengan sapu adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap penyihir muda. Jadi, hal-hal semacam itu merupakan hal yang sangat normal baginya.

Di lain sisi, Lila malah tertunduk malu. Kenyataan bahwa dirinya tidak bisa menerbangkan sapu pasti akan membuatnya kalah telak dalam adu mulut kali ini. "A-aku bisa menerbangkan sapu," ucapnya terbata-bata, "lagipula, itu kan memang sudah menjadi dasar bagi setiap penyihir seperti kami."

Aliga merasa bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Lila. Dilihat dari nada bicaranya saja sudah jelas terlihat kalau gadis yang menjadi lawan debatnya itu berbohong dan menyembunyikan fakta bahwa ia tidak bisa memakai sapu terbang. Tetapi, pria itu memiliki sebuah rencana cemerlang dan berpura-pura memercayai Lila.

"Baiklah, setidaknya kalian sudah bisa menerbangkan sapu. Aku akan ikut, tetapi setidaknya, berikanlah aku alasan yang jelas kenapa kau memilih kami bertiga dalam perlombaan ini. Ditambah, kedua penyihir ini masih junior dan masih memiliki sedikit sekali ilmu tentang sihir," ujarnya, "nah, sekarang, silakan utarakan alasanmu atau aku tidak jadi mengikuti perlombaan ini."

Setelah diancam seperti itu, mau tidak mau, pria berkepala licin yang tengah duduk dengan anteng di singgasana gadungannya itu terpaksa menjawab pertanyaan muridnya itu. "Alasannya karena nilai kalian tidak mencukupi untuk mengikuti acara kelulusan kelak," jawab pria itu dengan mantap.

"Selain itu, aku juga melihat ada potensi yang luar biasa di diri kalian bertiga," sambung pria itu sambil tersenyum licik.

"Potensi macam apa?"

"Eh? Tetapi nilai Cia baik-baik saja loh. Berprestasi, pula. Kenapa bisa dia yang dipilih?"

"Oi, oi, alasan macam apa itu?!"

Pertanyaan demi pertanyaan kembali dilayangkan oleh ketiga penyihir itu, sama seperti saat mereka pertama kali diberitahu oleh sang kepala akademi untuk mengikuti perlombaan sihir dalam rangka peringatan ritual bulan merah. Pria tua itu merespon dengan membentuk tanda silang menggunakan tangannya. "Aku tidak akan memberitahu kalian potensi macam apa itu. Yang aku tahu, kalian akan mengikuti perlombaan itu di Darkest Forest dan kalian harus menyiapkan segala sesuatunya mulai dari sekarang.

"Sekarang, kembali ke kelas kalian dan belajarlah seperti biasa! Tapi, kalau kalian tidak mau, kalian akan secara sukarela kujadikan tumbal untuk membersihkan toilet bagian belakang akademi ini yang sudah lama tidak dibersihkan oleh penjaga kebersihan."

Perintah dan ancaman kepala akademi memang luar biasa jahatnya. Dengan gusar, mereka bertiga berjalan menuju pintu keluar dan bergegas menuju kelas mereka masing-masing.

"Ah, iya. Di sana, kalian juga memiliki kemungkinan untuk bertarung sampai mati dengan penyihir-penyihir dari desa lain," ucap pria itu dengan nada sinis setelah orang terakhir keluar dari ruangannya.

"Hati-hati...."