Chereads / Azvara : Magic Forest / Chapter 4 - (3)

Chapter 4 - (3)

Sup asparagus dan jus jeruk yang Lila dan Cia pesan tadi benar-benar mengenyangkan. Perut dua gadis itu kini sudah penuh hingga untuk berjalan saja rasanya susah sekali. Karenanya, mereka memutuskan untuk berjalan menuju area taman dan duduk di kursi yang ada di sana.

Namun, sebuah hal mengganggu pikiran Cia. Ia yakin bahwa ia melupakan sesuatu hal, namun ia tidak tahu hal apa itu. Mungkin, jika Lila tidak mengajaknya ke kantin tadi, hal itu sudah bisa ia selesaikan sekarang.

Tapi sudahlah. Sup tadi membuatnya mengantuk karena kekenyangan dan bangku taman yang kosong kemungkinan besar merupakan tempat terbaik untuk tidur dan bermalas-malasan. Angin sepoi dan aroma pepohonan menyelimuti kedua penyihir amatir itu. Sempurna. Suasana seperti inilah yang menjadi pendorong seseorang untuk tertidur.

"Hei, kira-kira apa yang akan kita lakukan setelah ini?"

"Entahlah. Mungkin tidur atau bermain mantra, mungkin? Tapi sepertinya, aku akan memilih pilihan yang pertama. Suasana seperti ini membuatku mengantuk."

Lila mengangguk sambil memegang perutnya yang sudah penuh. "Kau benar. Suasananya luar biasa nyaman. Angin yang berhembus, aroma pohon pinus, kicauan burung, dan suasana yang sepi cocok sekali digunakan untuk tidur," tutur Lila layaknya orang yang sedang berpuisi.

Tiba-tiba, Cia langsung bereaksi seperti orang ketakutan setelah mendengar perkataan Lila. Satu kata yang barusan diucapkan oleh Lila akhirnya menyadarkan gadis berkacamata itu dari kebodohan parsialnya. "S-sepi?" balasnya retorik.

Lila mengangguk dengan polos dan tanpa beban. Ia kemudian berdiri dan mulai berjalan di sekitar bangku itu. "Ya, sepi. Mungkin siswa lain sedang tidur atau--"

Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari pelipis kiri Lila. Dengan air muka horor, ia memandang Cia lekat-lekat. Kedua gadis itu menelan saliva mereka kasar setelah mereka menyadari satu hal yang sangat penting.

"Atau mereka sedang belajar di dalam kelas, diabsen oleh guru yang sedang mengajar, dan melaporkan bahwa kita sedang membolos kelas mereka."

Aura mengerikan muncul di dekat kedua gadis itu ketika suara tersebut terdengar. Lila paham dan kenal betul dengan pria yang memiliki suara seperti ini. Ya, itu adalah penjaga sekolah akademi penyihir sekaligus orang yang sama yang membangunkan Lila secara semena-mena tadi pagi.

"Juga, kami menemukan bahwa toilet di sayap kanan akademi penyihir belum dipel dan dibersihkan sama sekali oleh murid yang bertugas di sana. Dan kalian tahu siapa murid-murid itu?"

Lila dan Cia saling berpandangan satu sama lain lalu mengangguk pasrah. "Ya, itu adalah kalian. Lalu, coba tebak apa yang akan aku lakukan kepada kalian?"

"Membawa kami... ke ruang kepala sekolah."

Pria tua itu tersenyum. Alisnya naik dan hidungnya mengembang. Topi berenda beludru yang ia kenakan bahkan sedikit terangkat saking senangnya pria itu karena berada dalam situasi seperti ini.

"Tepat sekali, gadis muda!"

•••

Kepala akademi penyihir menggeleng-gelengkan kepalanya lelah. Wajahnya gusar, keningnya berlipat, matanya terpejam takzim, dan bibirnya tertekuk. Dirinya sudah lelah meladeni Lila dan segala masalah yang sudah ia perbuat. Sudah hampir enam tahun Lila berada di akademi ini, dan masalah yang ia timbulkan baik secara sengaja atau pun tidak sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Anak itu adalah pembawa masalah bagi akademi penyihir.

Tapi, Cia? Gadis yang berprestasi dan tidak pernah terlibat dalam masalah apa pun itu tiba-tiba sudah berada di ruangannya karena dilaporkan membuat onar oleh penjaga sekolah akademi penyihir.

"Jadi, seperti biasanya, kau lagi yang datang ke tempatku. Tak apa, aku sudah menganggap itu sebagai makanan sehari-hari. Namun, Cia? Bagaimana mungkin gadis pintar sepertimu..., ah sudahlah. Perasaanku sedang tidak baik saat ini. Kalian tunggulah di sini, dan aku akan memanggil satu orang lagi untuk menemani kalian." Kepala akademi penyihir itu akhirnya angkat bicara dan berbicara dengan nada yang lirih. Ekspresinya kali ini tidak dapat dijelaskan. Marah, sedih, kecewa, dan lelah bergabung menjadi satu.

"Menemani kami dalam hal apa, Pak?" tanya Lila polos. Cia sudah berusaha keras untuk menghentikannya namun terlambat karena gadis itu sudah membuka mulutnya duluan. Kepala akademi penyihir tidak menjawab, namun malah menatap kedua gadis tersebut dengan tatapan setajam pisau tukang jagal.

Sejurus kemudian, pria berkepala licin itu meraih gagang telepon yang berada di atas mejanya dan memencet sejumlah nomor. Setelah bercakap-cakap selama beberapa puluh detik, pria itu meletakkan gagang telepon kembali ke posisi awalnya dan berkata, "kalian akan ditemani oleh seseorang lagi, yaitu-"

"Aliga."