Lila terdiam sambil menatap lekat kedua netra berwarna hazelnut milik Cia. Ia maju selangkah demi selangkah mendekati Cia. Gadis berkacamata yang Lila dekati malah makin mundur ke belakang hingga punggungnya menyentuh tembok putih di belakangnya.
Jarak Lila dan Cia saat ini sangat kecil. Entah karena refleks atau karena ada alasan lainnya, Cia menutup matanya bagai orang ketakutan. Tangannya terkepal dan kepalanya ia tundukkan sembari atensinya menatap lantai marmer yang rencananya akan ia pel setelah ini.
Tiba-tiba, Lila menempelkan punggung tangannya ke kening Cia. Tangan kurus itu menjelajahi kening gadis kutu buku yang ada di depannya hingga beberapa detik. Cia membuka matanya dan langsung terheran-heran dengan apa yang Lila lakukan. Namun, sejurus kemudian, Lila membuka suara. "Cia, kau sakit, ya?"
"Eh?"
"Kalau sakit, mari sini aku antar ke klinik sihir. Gak baik loh kalau nahan sakit. Nanti, bisa aja sakitmu nambah parah terus mati. Bahaya kan kalo kayak gitu nantinya. Jadi, ayo, mari sini kita ke klinik sihir." Lila malah melanjutkan perkataannya barusan. Cia yang berada di depannya hanya bisa diam seribu bahasa menanggapi cerocosan Lila.
Tak lama kemudian, Lila menarik tangan Cia secara paksa dan berlari secepat kilat menuju klinik sihir yang berada di bagian utara akademi penyihir. Kain dan ember yang sedari tadi ia pegang sudah ia tinggalkan di tempat ia memojokkan Cia tadi. Masa bodoh dengan benda itu, yang terpenting bagi Lila sekarang adalah mengantar temannya yang sakit ke klinik sihir. Bisa ribet jadinya kalau Cia mati saat sedang berada bersama Lila. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa Lila sama sekali tidak bisa menemukan perbedaan antara orang mati dengan orang yang sedang tertidur pulas.
Cia tidak menolak sama sekali. Ia sadar, jika ia menolak ajakan dari teman masa kecilnya itu, permasalahan malah akan memanjang hingga bisa membuat Cia lelah sendiri jadinya. Oleh karena itu, tidak menyanggah apa-apa adalah keputusan paling bijak yang harus Cia ambil saat ini.
Hingga akhirnya Lila menyadari satu hal. Cia tidak sakit. Kegiatan "memeriksa-apakah-Cia-sakit-atau-tidak" yang ia lakukan di koridor akademi tadi menghasilkan kesimpulan bahwa Cia tidak sakit sama sekali. Kening Cia tidak panas dan wajah Cia tidak pucat. Jelas sekali, kondisi gadis berkepang dua itu segar bugar bagaikan seorang binaragawan.
Lila berhenti berlari dan dengan cepat berbalik badan untuk berbicara dengan Cia. "Ah, aku lupa kalau kau tidak sakit. Kau memang tidak sakit, 'kan?" tanya Lila memastikan. Cia menggeleng cepat dengan tatapan lelah dan pasrah menghadapi gadis di depannya saat ini. "Kalau begitu, mari kita pergi ke kantin!" sambung Lila setelahnya.
Cia sudah lelah. Ia benar-benar tidak bisa menebak jalan pikiran dari gadis yang bersebelahan kamar dengannya di asrama itu. Tapi bagaimana pun juga, Lila tetaplah seorang gadis polos yang tidak akan melakukan sesuatu yang jahat kepada orang lain. Setidaknya, begitulah pikiran dan kesan yang didapatkan Cia dari Lila.
"Di kantin nanti, traktir aku ya, Cia!"
Cia tersenyum. Gadis di depannya ini benar-benar polos. Tanpa berpikir panjang lebar, gadis itu menjawab, "iya, Lila."
Mereka kemudian berjalan bersisian menuju kantin yang ada di ujung akademi. Dan saat itu, Cia melupakan apa yang seharusnya ia lakukan jika tidak ada Lila tadi.