Senja membelai perutnya yang keroncongan dengan cemberut lalu memasukkan kembali batu itu dengan hati-hati ke saku bagian dalam.
Senja lalu menilai sekelilingnya dan baru menyadari bahwa dia berada di ruangan kecil yang terlihat bersih dan layak. Dari jauh dapat terdengar, ada beberapa aktivitas yang dilakukan di luar ruangan.
Senja ingin keluar untuk melihat- lihat tetapi tiba- tiba seseorang telah membuka pintu.
Ekspresi kaget pria itu berubah menjadi khawatir. Dia mendekatinya dengan langkah tergesa.
"Bagaimana perasaanmu?" Utara berdiri tegak di samping tempat tidur Senja. "Kau pingsan tadi malam, aku tahu situasi semalam memang agak di luar kendali."
Oh, Kau tidak tahu apa-apa tentang perasaan tak terkendali! Senja mencibir di dalam hatinya.
"Jadi, bagaimana kabarmu sekarang?"
"Aku lapar…" Senja mengatakannya dengan mata memelas. Suaranya agak kasar dan serak, dia bisa merasakan tenggorokannya seperti padang pasir.
Ada keheningan lama setelah itu. Senja merasa Utara tidak mendengarnya dengan jelas sehingga dia berbicara lagi dengan suara yang lebih keras meskipun tenggorokannya yang kering terasa sakit.
"Apakah Kau punya makanan?" Senja berkedip dengan penuh semangat.
Setelah beberapa saat, Utara kembali sadar dan tertawa terbahak-bahak. Sambil menggelengkan kepalanya, ia menatap Sonja.
"Kau membuatku tidak bisa berkata-kata..." Dia kemudian melanjutkan. "Kenapa Kau selalu meminta makanan? Kau baru saja pingsan selama 6 jam dan aku berasumsi bahwa Kau sudah mendapatkan makan malam … apakah kau bermasalah dengan nafsu makan?"
Ugh! Haruskah Kau menyebutkan itu? Aku juga merasa malu, tahu?
Seorang tentara masuk sambil membawa semangkuk bubur dan memberikannya ke Utara. Setelah dia memberi hormat, dia pergi menutup pintu di belakangnya.
"Ini…" Dia menaruhnya di tangan Senja tapi dia mengernyitkan alisnya tidak merasa puas.
Bubur ini tidak memenuhi standarnya sama sekali. Bubur ini terlihat polos dan baunya tidak enak. Merasa kesal Senja tidak langsung memakannya.
Utara yang melihat Senja cemberut dan tidak langsung memakan bubur itu meskipun katanya dia lapar, berdehem pelan untuk menarik perhatiannya.
Perlahan, Senja mengangkat kepalanya. Dengan rambut ungu dan ekspresi yang seolah dia merasa teraniaya, Senja benar- benar seperti seorang penyihir.
"Aku pikir karena Kau baru sembuh dari syok, sebaiknya Kau tidak makan makanan berat dulu, kalau-kalau perutmu tidak bisa menerimanyal" Utara menggaruk hidungnya, merasa canggung dan duduk di tepi tempat tidur itu.
"Perutku mual melihat bubur ini"
Utara terbelalak tidak percaya. Apakah dia tidak terlalu menuntut? Bagaimana dia bisa mengatakan itu? "Kau bisa makan besar nanti"
"Sekarang juga aku bisa makan satu ekor ayam utuh."
"Dengar." Utara mencubit ruang di antara alisnya. Mengingatkan dirinya sendiri bahwa dirinya dan anak buahnya bisa lolos dari kesulitan semalam adalah berkat Senja, Utara melanjutkan dengan sabar "Makan bubur ini dulu dan jika Kau masih ingin makan, aku akan meminta seseorang untuk membawakan lebih banyak makanan untukmu."
Untungnya Senja menurut dan mulai makan satu sendok penuh. Namun, kerutan di alisnya semakin dalam.
"Tidak enak?"
Senja menggelengkan kepalanya dengan lemah tapi masih terus makan.
"Aku akan berterus terang denganmu." Utara berkata tiba-tiba. Senja hanya menatapnya sebentar tapi kemudian melanjutkan makan. "Ada hal yang menggangguku saat aku melihatmu..."
"Kau masih berpikir bahwa aku adalah dia?" Senja memotong kata- katanya, dia sudah bisa menebak apa yang ingin Utara bicarakan.
"Ya, kalian berdua terlihat sangat mirip, aku rasa itu bukanlah suatu kebetulan."
"Lanjutkan."
"Apa maksudmu?"