Sepanjang perburuan itu, banyak prajuritdari sisi Azura yang ditembak jatuh.
Melihat anak buahnya ditembak jatuh satu persatu mata Utara menjadi gelap dan wajahnya memerah oleh amarah yang dia coba tahan.
"Mereka sudah dekat" bisik Senja padanya.
"Siapa?" Utara bertanya dengan bingung.
"Bantuan."
Ekspresi wajah Utara berubah menjadi kaget. Bagaimana dia tahu? Apakah dia baru saja mengatakannya? "Apakah kau yakin?"
Senja dengan tegas menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana Kau tahu?" Utara masih kurang yakin dengan ucapan Senja.
"Mereka datang."
Dan tepat setelah itu seribu prajurit menyerang dari balik bukit, mereka mengamuk lengkap dengan baju besi, pedang, dan tombak mereka.
Para pemanah Azura berada di baris kedua sementara panah mereka melesat tepat ke bagian vital prajurit Zodasian. Banyak musuh yang jatuh ke tanah, ini membuat mereka terpaksa mundur.
Setelah melihat keadaan berubah dan bala bantuan ada di sana untuk menyelamatkan mereka, semua prajurit turun dari pohon. Bergabung dengan rekan-rekan mereka untuk mengejar pengejar mereka sebelumnya.
Utara dan Senja juga turun dari pohon, ketika keduanya menyentuh tanah Senja sudah tidak bisa berdiri dengan baik, sehingga Utara tetap memegang pinggangnya.
Salah satu prajurit dengan tergesa-gesa berjalan menuju Utara dan berlutut di depannya.
"Letnan Utara. Minta maaf atas keterlambatan kami,"ucapnya tanpa berani mengangkat wajahnya.
Tepat pada saat itu Senja terpuruk ke pelukan Utara karena perasaan berlebihan yang dia rasakan.
"Senja!" Dia mencengkeram tubuhnya erat-erat untuk mencegahnya jatuh ke tanah.
Tidak terlalu jauh dari mereka, pembantaian pun terjadi.
***
Aroma menyegarkan menyerbu hidung Senja, tapi dia masih enggan membuka matanya, hanya alisnya yang sedikit bertaut yang memberi tanda bahwa dia sudah sadar. Tidak ada yang memperhatikan ini.
Hal pertama yang dia sadari adalah sekujur tubuhnya terasa sakit dan dia merasa lelah belum lagi rasa lapar yang tak terlukiskan yang membuat perutnya seperti terbelah dua.
Senja mencoba untuk mengingat apa yang terjadi padanya dan saat ingatannya kembali, gambar demi gambar saling tumpang tindih.
Tiba-tiba Senja duduk dan menatap tubuhnya. Dia masih mengenakan jubah yang sama dari tadi malam, namun beberapa bagian tubuhnya yang terluka sudah dibalut, termasuk tangannya sehingga dia merasa sedikit mati rasa.
Senja menyibakkan rambut dari wajahnya. Jika dia tidak salah, tadi malam bala bantuan datang tepat pada waktunya untuk menyelamatkan mereka, namun perasaan kewalahan ketika seseorang hampir mati dan sekarat mencekiknya sampai dia tidak tahan lagi dan jatuh pingsan.
Rasanya ada hubungan antara rasa lapar ekstrim yang Senja rasakan dan rasa lelah yang dia alami. Perasaan itu seolah energinya hingga kering.
Senja tidak yakin apakah ini berkah atau bukan. Dia memang bisa merasakan emosi orang lain tetapi dia tidak bisa membaca pikiran mereka, alangkah baiknya jika dia bisa.
Tetapi ketika dia memikirkan kembali tentang kemungkinan dia bisa membaca pikiran orang lain mengira tubuhnya gemetar dan dia menggelengkan kepalanya kuat- kuat.
Hanya bisa merasakan emosi mereka mampu membuatnya hampir gila, apalagi jika dia bisa mendengar apa yang ada di dalam pikiran mereka?
Satu gambar lagi melintas di pikiran Senja yang membuat jantungnya berdetak kencang. Dia merogoh saku di jubahnya dan merasa lega ketika dia merasakan batu merah itu.
Sambil meregangkan tubuhnya lagi Senja menatap benda itu dengan saksama dan teringat memori yang terbentuk ketika dia pertama kali dia menyentuh batu itu.
Senja menatap batu itu, berharap bisa melihat gambar itu lagi. Tapi…
"Tidak bisa, aku sangat lapar…"