Pagi itu Tania sedang membereskan rumah saat nenek memanggilnya, tanpa banyak basa basi Nia langsung menghadap neneknya dikamar.
"Ada apa nek?",tanya Nia.
"Kamu sedang apa, Nak"
"Aku sedang menyapu di depan, Nek. Apa nenek butuh sesuatu?"
"Tidak, Nak. Nenek hanya ingin mendengar suaramu saja. Suara lembut yang akan selalu nenek rindukan disurga sana jika nenek tiada nanti"
"Nenek bicara apa sih?!"
Tangan nenek meraba wajah Nia. Dipegangnya wajah cucu kesayangannya itu, dia membelai rambut panjang Tania. Tak terasa airmatanya mengalir deras dipipinya.
"Nenek kenapa? Ada yang sakit? Apa yang nenek rasakan"
Nenek hanya menggelengkan kepalanya, dia berbohong untuk menutupi rasa sakit yang teramat sangat diperutnya. Usus buntunya memang sudah dioperasi. Namun sudah sangat terlambat, infeksi akibat peradangannya sudah menyebar. Beberapa hari ini dia merasakan demam tinggi disekujur tubuhnya, rasa mual yang teramat sangat, muntah dan tidak nafsu makan. Tania hendak membawanya ke dokter, namun nenek menolaknya. Dia hanya minum ramuan obat tradisional saja.
Apendiks nya sudah menyebabkan peradangan hebat pada dinding perutnya. Sehingga dia seringkali merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Nenek tak pernah menceritakan rasa sakitnya itu pada Tania, dia menahannya seorang diri.
"Nenek yakin tidak apa-apa? Lebih baik kita-kedokter saja nek. Aku khawatir dengan keadaan nenek"
"Tidak usah, Nak. Ini hanya demam biasa. Paling sebentar lagi nenek sudah lebih baik"
"Tapi nek ...",ucap Nia khawatir.
"Nia ... Jika nenek tidak ada nanti, bagaimana hidupmu kelak Nak. Andai saja nenek bisa menunggu mu sampai kamu menikah. Nenek akan tenang, karena ada seorang yang akan bertanggungjawab dengan dirimu"
Nia terdiam. Dia memang tak mengatakan pada nenek perihal pernikahannya dengan Ardi, toh pernikahan itu hanya sementara. Dan itu dia lakukan demi biaya pengobatan nenek.
******
Nia meluruskan kakinya diatas kursi bambu ruang tamu. Dia memikirkan kata-kata neneknya tadi. Apakah Ardi adalah suami sesungguhnya buat dirinya? Ataukah hanya sosok imaginer yang singgah sementara dalam hidupnya? Dia tak berani berkhayal. Dia tahu siapa Ardi, laki-laki mapan dan tampan yang notabene merupakan pengusaha muda yang sukses merintis karirnya dari nol.
Dan dia juga paham benar siapa Rachell Fernando yang merupakan putri bungsu dari milyuner ternama dikota. Seorang artis top papan atas negeri ini yang juga sudah memulai debut internasional nya sejak awal pernikahannya dengan Ardi.
Entah sejak kapan ada rasa rindu dihatinya untuk laki-laki itu. Rasa rindu yang perlahan namun pasti mengegerogoti hatinya. Rasa kagum pada sosok laki-laki gagah itu berubah menjadi rasa sayang dan cinta. Namun dia cukup tahu diri untuk tidak berharap lebih pada laki-laki itu.
"Ayolah, Nia ... Realistis lah sedikit. Mas Ardi menikahimu hanya karena paksaan dari istrinya. Demi mendapatkan seorang anak dari istri pertamanya. Bukan karena mencintaimu. Kamu tak pernah ada dihatinya, Nia. Sadarlah dari mimpimu itu. Mas Ardi tak pantas untukmu",perdebatan dalam hatinya membuat dia makin menderita.
Uhukkk.... Uhuuuk... Uhukkk...
Suara batuk nenek yang makin menjadi menyadarkannya dari lamunan. Tubuh nenek pucat. Tangan dan kakinya terasa sedingin es. Nafasnya mulai sesak. Nia berlari keluar memanggil tetangga disekitarnya.
Beberapa orang datang membantunya, saat mereka hendak membawa nenek kerumah sakit nafas nenek mulai sesak dan tertahan. Namun baru saja mereka hendak mencari sebuah mobil sewaan, nenek sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Tania histeris melihatnya. Perlahan-lahan pandangan kabur dan dia tak sadarkan diri.
******
Tania menangis didepan pusara sang nenek. Beberapa tetangga berusaha menguatkan hati kecil perempuan manis yang sedang rapuh. Tubuh nenek dibenamkan didalam tanah, lalu taburan bunga menghiasai pusaranya itu. Satu persatu para pelayat meninggalkan tempat pemakaman. Nia masih sendiri disana. Masih ada tangis kesedihan untuk sang nenek.
"Nia ....", suara seseorang memanggilnya.
Tania menoleh. Seorang pemuda berdiri di belakang. Dia menyeka airmata nya.
"Aku turut berdukacita atas kematian nenekmu. Aku berdoa semoga nenekmu mendapatkan tempat terbaik disurga-Nya"
Tania mengangukkan kepalanya dan berusaha tersenyum. Dito datang menghiburnya yang sedang berduka. Seorang teman kecilnya, yang dikenalnya sejak SMP. Teman yang selalu ada dalam suka dan duka. Saat kedua orang tuanya meninggal bahkan saat nenek dirumah sakit dia dengan setia menemani Nia.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya, Nia?",tanya Dito saat mereka meninggalkan pemakaman.
"Aku belum tahu Dito, aku belum memikirkan apapun"
"Aku paham keadaanmu saat ini. Aku mengerti kesedihan mu. Aku harap kamu bisa bangkit lagi. Bisa menata hidupmu lagi. Aku yakin kamu kuat Nia"
"Terima kasih, Dito. Kamu memang temanku yang terbaik", ucap Nia.
Dito melirik pada Tania, dia sebenarnya mengharapkan lebih dari seorang teman pada Tania Rosella, lebih dari seorang teman biasa. Rasa sayangnya pada perempuan itu mulai tumbuh dari kedekatan mereka berdua sejak kecil.
******
Seminggu setelah kepergian nenek Tania baru merasa sedikit lebih tenang dan mencoba ikhlas menerima takdir dari Tuhan. Yang terpenting baginya sekarang adalah bagaimana dia melanjutkan hidupnya. Dia harus terus maju dan tak boleh larus dalam kesedihannya terus-menerus.
Akhirnya Tania memutuskan untuk pindah dari rumah itu, dia mencari sebuah kontrakan yang lebih dekat kekampusnya. Dito yang membantunya mencari kontrakan dan Dito juga yang membantunya mencarikan pekerjaan untuknya. Nia berniat melanjutkan kuliahnya yang tertunda satu tahun ini. Bulan depan dia bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Dengan gaji dari pekerjaannya sekarang ini, dia harus berhemat untuk membiayai kuliah dan sewa kontrakan nya.
ATM Ardi yang dipegangnya hanya dipakai untuk hal yang benar-benar penting dan mendesak. Dia hanya memakainya beberapa kali untuk berobat nenek. Setiap bulan Ardi mentransfer sepuluh juta rupiah untuknya kedalam rekening ATM itu. Nia takut berhutang banyak pada laki-laki itu.
"Terima kasih atas bantuanmu, Dito. Aku senang aku bisa kuliah lagi. Dan aku mendapatkan pekerjaan. Aku berhutang padamu", ucap Nia saat Dito membantunya merapihkan kamar kontrakan nya itu.
"Kamu bicara apa, Nia. Tidak ada yang berhutang. Aku menolongmu ikhlas. Aku tak mengharapkan imbalan ataupun balasan darimu. Aku senang melihatmu semangat lagi. Aku harap kamu bisa mengejar semua ketertinggalan mu kemarin"
"Aamiin... "
Matahari sudah hampir tenggelam saat mereka selesai membereskan kamar kontrakan itu. Dito dan Nia tersenyum puas melihay hasil kerja mereka seharian ini. Dito pamit dan kembali kerumahnya. Nia mengunci pintu dan merebahkan tubuhnya diatas kasur kapuk kecil tanpa ranjang itu.
Tubuhnya yang lelah mulai menikmati sensai santai dan tenang sore itu. Dia senang sekali bisa meneruskan kuliahnya. Rasa tak sabar menelimuti hatinya. Puas berbaring, Nia membersihkan dirinya lalu berganti pakaian. Setelah itu dia menyempatkan diri untuk membuka lagi buku-buku pelajarannya yang telah lama dia musiumkan sementara. Dia membaca buku-buku itu sampai akhirnya dia tertidur.
******