Jika suka jangan lupa tinggalkan jejak dengan penilaian positif, komen membangun dan alhamdulillah kalau dikasi power stone 😊
💝💝💝
"Lalu kalau tidak sedang patah hati, apakah kamu sudah punya pacar atau calon suami?"
"Hahh?" Ayushita terkejut.
'Pertanyaan macam apa itu?' rutuk Ayushita sebal.
"Sorry, no comment about that," balas Ayushita datar. (Maaf, tidak ada komentar tentang hal itu).
Arjuna hanya manggut-manggut menatap perubahan raut muka Ayushita. Perempuan lemah ini pandai juga menyembunyikan perasaannya.
"Lalu sejak kapan kamu bisa bela diri?"
"Sejak kelas X SMA," Ayushita menerawang ke masa itu. "Kakak bilang orang-orang selalu memandang lemah perempuan dan mengambil keuntungan dari kelemahan mereka. Kakak ingin aku bisa membela diri sendiri saat keadaan darurat. Itulah mengapa aku diajak latihan karate saat itu."
"Berarti kakakmu yang mengajarimu bela diri?" cetus Arjuna.
"Iya. Dia seorang anggota polisi dan juga seorang pelatih karate di kesatuannya," Ayushita menunduk dan mengukir sedikit senyum di sudut bibirnya mengingat Ayub Kakaknya. Kakaknya begitu protektif padanya. Kak Ayub melarangnya pacaran. Bahkan kakaknya sering mengantar dan menjemputnya di sekolah dengan menggunakan seragam dinas sehingga teman-teman pria takut mendekati Ayushita.
"Wah, aku harus hati-hati saat ketemu Kakakmu nanti (calon kakak ipar - ini ucap dalam hati saja), kalau bukan di-dorr maka dikasi jurus karate," seloroh Arjuna semringah.
"Kalau berani macam-macam ya syukur kalau cuma babak belur, kalau di-dorr betulan ya tanggung sendiri," Ayushita tertawa kecil. Arjuna sampai terpesona melihat dua lesung pipi di wajah mulus gadis di depannya.
"Tidak macam-macam kok. Paling juga cuma satu macam," ucap Arjuna tersenyum simpul.
Ayushita hendak menanggapi ucapan Arjuna ketika Firda kembali dari toilet bersamaan dengan makanan pesanan dihidangkan di atas meja. Mereka makan dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Setelah menyelesaikan makan siang, Arjuna dengan gerakan cepat membayar semua makanan mereka. Ayushita cemberut melihat tingkah Arjuna. Untuk kedua kalinya pria itu membayarkan makanannya setelah gado-gado Ibu Sri. Sedangkan Firda hanya cekikikan jahil melihat perdebatan antara Ayushita dan sang dokter.
Azan Dzuhur berkumandang saat mereka keluar dari warung.
"Kalian akan kemana lagi?" tanya Arjuna.
"Sholat Dzuhur lalu pulang," jawab Ayushita tanpa memandang wajah Arjuna.
"Saya juga mau sholat. Ikut saya saja daripada menyeberang. Jalanan sedang ramai," ucap Arjuna mendahului keduanya. Ayushita dan Firda melangkah mengikuti Arjuna masuk ke dalam mobil sang dokter.
Sebenarnya jarak mesjid hanya lima puluh meter di seberang jalan raya dua jalur itu. Namun benar kata Arjuna suasana jalan sedang padat maka akan sulit untuk menyeberang. Mungkin bertepatan dengan jam istirahat makan siang.
Setelah parkir di pelataran Masjid Agung kota yang baru diresmikan sekitar dua tahun, Arjuna dan Ayushita turun dari mobil. Halaman masjid begitu asri dan indah tertata sedemikian rupa.
"Lho, kamu tidak ikut turun, Fir?" tanya Ayushita heran melihat Firda masih duduk nyaman di tempatnya.
"Lagi tanggal merah," bisik Firda. Ayushita menanggapi dengan mulut membulat lalu lalu mengikuti langkah Arjuna menuju tempat wudhu.
"Firda kenapa? Dia tidak shalat?" tanya Arjuna menoleh pada Ayushita.
"Tanggal merah katanya," ucap Ayushita mengulangi kata-kata Firda. Arjuna manggut-manggut. Sebagai orang medis, Arjuna pasti paham istilah seperti itu.
Suasana masjid sangat sejuk. Bangunannya luas dan tinggi dengan tujuh pilar menara yang menjulang kokoh. Ornamen-ornamen cantik khas Timur Tengah terukir di langit-langit. Ayushita berdecak kagum saat masuk ke dalam bangunan.
Sebagian jamaah telah meninggalkan masjid sedangkan banyak yang masih duduk tafakkur atau membaca Alquran.
Ayushita menghampiri sebuah lemari tempat penyimpanan mukena, mengambil sebuah mukena yang belum terpakai lalu mencari sudut sepi. Tiba-tiba Arjuna menghampirinya. Wajahnya masih basah oleh air wudhu yang membuat wajahnya terlihat lebih tampan dan segar.
"Ada apa?" tanya Ayushita berusaha bersikap biasa menutupi kekagumannya.
"Kita shalat berjamaah saja," jawab Arjuna. Ayushita hanya mengiyakan. Shalat berjamaah pahalanya lebih besar dari shalat sendiri, kan?
Firda yang diam-diam turun membuntuti mereka, tersenyum melihat kedua orang yang jarang akur itu sedang shalat berjamaah. Dia lalu mengabadikan moment itu dengan kamera ponselnya lalu kembali ke dalam mobil sebelum ketahuan Ayushita. Bisa marah besar sahabatnya itu.
Lima belas menit kemudian Ayushita dan Arjuna keluar dari gerbang masjid. Keduanya berjalan beriringan menuju mobil.
"Duh duh duuuhhh ... yang shalat berdua, wajahnya berseri-seri ya. Terus waktu berjalan beriringan tuh sudah kaya calon imam dan makmum benaran deh," goda Firda dengan mata mengerling jahil ke arah mereka.
"Apaan sih, Fir!" sanggah Ayushita dengan wajah merona malu. Dia masih berdiri di depan pintu.
"Buruan turun kita cari taksi pulang," desak Ayushita kala melihat Firda masih belum beranjak turun dari mobil Arjuna. Arjuna yang baru saja duduk di belakang kemudi menoleh ke arah keduanya.
"Lho, kalian mau kemana? Bukannya mau pulang ke kampung?" Arjuna mengernyit.
"Iya memang mau pulang. Mau cari taksi," jawab Ayushita.
"Tidak usah naik taksi. Sama-sama saja dengan saya. Lumayan untuk hemat ongkos. Saya juga mau pulang kok," kata Arjuna.
"Terima kasih, tapi kami naik taksi saja," kata Ayushita berkeras hendak membuka pintu untuk menyeret sahabatnya turun.
Arjuna melirik Firda yang hanya diam. Tak lama Firda langsung mengaduh sembari memegang perutnya.
"Aduh, Sit. Perutku ...," Firda memegang perutnya dengan wajah kesakitan.
"Kenapa, Fir? Apa yang sakit?" Ayushita panik. Dia segera memegang tubuh Firda memeriksa keadaannya.
"Perutku sakit, Sit. Kayanya keram perut karena mens deh. Aduhhhh ... aku tidak tahu apakah bakal kuat jalan untuk cari taksi. Tapi ... aduh ... kalau memang kamu maunya naik taksi yah sudah. Ayoo ..!" Firda pura-pura hendak turun dari mobil. Tapi Ayushita langsung menahan bahunya.
"Tidak usah. Kalau memang kamu tidak kuat jalan yah kita ikut Dokter Arjuna saja. Kasihan kalau kamu berdesak-desakan di taksi."
"Terima kasih, Sit," Firda menyunggingkan senyum manisnya.
Ayushita lalu bersiap naik ke mobil di kursi belakang bersebelahan dengan Firda.
"Eh ... tunggu! Kenapa kamu duduk di sini?" Firda menahan Ayushita yang sudah bersiap naik. Ayushita menatap bingung.
"Kenapa?" tanya Ayushita.
"Sit, kamu duduk di depan ya? Perutku sakit banget. Aku mau rebahan di sini. Jadi daripada kamu tidak nyaman sempit, mending kamu di depan saja ya?" rayu Firda dengan wajah memelas.
Ayushita yang pada dasarnya gampang tersentuh akhirnya mengalah dan bersedia duduk di depan. Arjuna yang menyaksikan sandiwara Firda dari kursi kemudi hanya bisa memuji dalam hati kehebatan partner in crime-nya itu. Yup, Firda memang sengaja melakukan itu untuk memuluskan pendekatan Dokter Arjuna pada Ayushita.
Saat Ayushita mengalihkan pandangannya ke luar jendela, Arjuna melirik Firda melalui kaca spion tengah dan Firda mengangkat dua jempolnya sambil tersenyum lebar. Arjuna balas mengangkat sebelah jempolnya.
'Yes, bakal dapat supplay martabak nih selama tiga hari,' sorak Firda dalam hati.
Ya Allah, ternyata Firda membantunya tidak gratis.
Ponsel Arjuna di atas dashboard berdering. Arjuna meraih benda persegi tersebut, menatap layarnya sejenak lalu mengusap ikon menerima panggilan.
"Halo, Assala ..... "
"Arjunaaaa ... kamu dimana?" Terdengar suara seseorang berteriak dari seberang panggilan. Arjuna sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Sudah perjalanan pulang," jawab Arjuna santai.
"WHAT??? Junaaa, benar-benar kamu ya. Aku sudah menunggu sejam di sini sudah hampir bulukan. Kamu sendiri yang ajak aku ketemuan, sekarang kamu malah pulang. Gimana sih?" Omelan panjang dengan suara kencang kembali terdengar samar.
"Yahh ... mau gimana lagi, sudah jauh nih tidak mungkin putar balik lagi kan? Lagian aku bawa pasien sakit perut," Arjuna mengangkat bahunya seolah orang yang di telepon dapat melihatnya. Firda pun jadi alasan.
"Arrgggghhh ... Awas saja nanti aku laporkan sama Tante Indi kalau kamu menelantarkan sepupumu yang tampan kaya Tom Cruise ini."
Arjuna tersenyum geli lalu mematikan sambungan telepon. Ayushita hanya terdiam di kursinya. Arjuna melirik sekilas ke arahnya lalu mulai mengemudikan mobilnya. Sepertinya agak sulit mengajak mengobrol gadis di sebelahnya. Karena dia tahu gadis itu terpaksa saja mengikuti kemauannya dan Firda. Sementara Firda sudah terlelap di kursi belakang.
Perjalanan dua jam pulang ke kampung Petak Hijau dinikmati Arjuna dalam keheningan. Tapi itu tidak masalah baginya. Dia akan pelan-pelan mendekati gadis lemah itu sambil mencari tahu apa yang membuat hatinya selalu berdebar jika berdekatan dengannya, pikirannya pun selalu terbayang wajah gadis itu.
Apakah itu adalah rasa cinta atau hanya kekaguman semata. Mengingat traumanya selama ini, Terkadang dia berpikir bahwa sangat mustahil dia jatuh cinta pada seorang gadis.
Tapi, cinta itu dirasakan dengan hati bukan dipikirkan dengan logika, Arjuna.
***
Siang hari yang terik diuar sana. Nyonya Rosita memilih berjalan-jalan di dalam mall yang sejuk sambil mengunjungi toko langganannya untuk menambah koleksi baju-bajunya. Hari ini Nyonya Indi yang menemaninya. Sahabat mereka Nyonya Aliya, tidak bisa menemaninya karena sedang menemani suaminya ke luar daerah.
"Hari ini ramai ya. Padahal lagi heboh Virus Corona dan warga disuruh tinggal di rumah dulu tidak boleh aktifitas di luar," ujar Nyonya Indi membetulkan letak masker hidung yang dia beli dengan harga mahal.
"Lha, kita berdua juga malah keluyuran gini," kilah Nyonya Rosita. Keduanya tertawa bersama menertawakan kekonyolan mereka sendiri. Mereka lalu kembali sibuk melihat-lihat koleksi terbaru di toko itu.
Sejenak Nyonya Rosita terdiam seraya menajamkan telinga. Dia seperti mendengar suara perempuan yang sangat familiar di telinganya. Dia lalu mencari sumber suara dan berakhir di deretan pakaian wanita umur 20-30 tahun.
"Ada apa Ros?" tanya Nyonya Indi yang telah menyusul sahabatnya. Nyonya Rosita sedang menatap seorang perempuan muda berambut coklat panjang dengan gaun selutut berwarna biru yang lumayan seksi. Perempuan itu sedang asyik memilih pakaian bersama tiga orang teman perempuannya yang berpenampilan glamour. Dari gaya mereka dapat disimpulkan bahwa mereka dari kalangan orang berada.
Perempuan muda yang ternyata Elena menoleh ke arah Nyonya Rosita dan Nyonya Indi. Elena terkejut melihat keberadaan ibu Danuar di tempat itu. Segera dia meredam rasa terkejutnya lalu melenggang dengan elegan menghampiri ibu mertuanya.
"Mama. Lagi ngapain di sini?" tanya Elena dengan suara lembut dan senyum dipasang semenawan mungkin.
"Kamu tanya ngapain saya di sini? Seharusnya saya yang tanya, kamu yang ngapain di sini," jawab Nyonya Rosita ketus.
"Maaf, Ma. Mas Danuar mengizinkan untuk berbelanja keperluan aku," lirih Elena. Tak lama Ketiga temannya menghampirinya.
"Siapa dia, El?" tanya gadis berbaju merah menyala. Warna bajunya senada dengan bibir merahnya yang menantang.
"Dia ... mama mertua aku. Mamanya Mas Danuar," jawab Elena dengan senyum semanis mungkin.
"Lho, bukannya kamu bilang anakmu bertunangan dengan anaknya Aliya, Ros," imbuh Nyonya Indi dengan wajah bingung.
"Memang," jawab Nyonya Rosita pendek. Ketiga teman Elena pun ikut bingung.
"Tapi aku sudah menikah dengan Mas Danuar, Ma," ucap Elena dengan mata mulai berkaca-kaca.
"Oh ya! Kok saya dan suami saya tidak tahu ya," sindir Nyonya Rosita dengan tatapan tajam.
"Itu ... Mas Danuar ... " Elena tercekat. Dia hanya bisa menunduk sambil menggigit bibir bawahnya.
'Huhh ... perempuan tua ini benar-benar berniat membuatku malu di depan teman-temanku. Padahal aku baru saja mulai bisa berteman dengan mereka. Bisa hancur reputasiku di depan mereka,' batin Elena kesal.
"El, kalau gitu kita duluan ya masih ada urusan. Thanks a lot untuk traktiran bajunya," Ketiga teman Elena yang paham dengan situasi langsung pamit. Mereka menjauh sambil berbisik-bisik lirih.
"Oh, jadi sekarang sudah bisa traktir teman barang mahal ya. Sudah sukses jadi social climber kan. Paling juga yang dipake uang anak saya. Danuar capek-capek banting tulang kerja di perusahaan kamu malah enak-enakan jalan-jalan sambil traktir teman. Ckckckck ... entah apa yang dilihat Danuar di dirimu. Hanya bisa menghabiskan uang suami saja," ujar Nyonya Rosita dengan nada pedas menusuk telinga Elena. Gadis itu hanya diam.
(*Social Climber adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memanfaatkan segala cara untuk menaikkan status sosialnya.)
"Mama!" Suara Danuar menginterusi sindiran Nyonya Rosita. Ketiga perempuan itu menoleh ke sumber suara. Danuar berjalan cepat menghampiri mereka.
"Kok Mama tega ngomong begitu sama Elena. Mama restu atau tidak dia tetap menantu Mama karena dia sudah sah jadi istri Danu," ucap Danuar dengan nada emosi.
"Terus kenapa? Emang Mama yang minta dia jadi mantu Mama. Jadi wajar dong kalau Mama tidak mengakui dia," sindir Mama Danuar lagi. Suaranya bergetar menahan tangis. Nyonya Indi mengusap bahu sahabatnya untuk menenangkannya.
"Ma, please! Danu mohon jangan berkata seperti itu sama Elena. Danu sangat mencintai Elena dan dia juga berjanji sama Danu untuk menjadi istri yang baik dan bersabar menanti restu Mama dan Papa. Tolong kasi Elena kesempatan," pinta Danuar memelas.
"Terserah!" Nyonya Rosita berbalik pergi sambil menggandeng tangan Nyonya Indi.
Elena terisak tertahan. Danuar segera merengkuh tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Menegelus rambut panjang istrinya dengan sayang.
"Sabar ya, Sayang. Mama memang seperti itu keras kepala. Tapi nanti pasti dia akan luluh. Kita masih harus berusaha," imbuh Danuar sambil mengecup kepala istrinya. Elena menganggukkan kepala di sela isaknya.
"Yuk, kita makan siang. Mas sudah lapar," ajak Danuar meraih pinggang istrinya.
"Bayar dulu belanjaanku," rengek Elena.
"Oke!"
Mereka menuju kasir. Danuar mengeluarkan kartu debit dan menyerahkan ke pegawai kasir.
Beberapa saat kemudian mereka telah berjalan sambil berangkulan ke sebuah food court di mall tersebut. Danuar membawa semua kantong belanjaan istrinya. Elena tersenyum lebar mendapat perlakuan istimewa suaminya.
"Sayang, bagaimana caranya kita membujuk Mama dan Papa untuk menerima aku?" tanya Elena ketika mereka telah duduk di dalam food court. Elena kembali bergelayut manja di samping suaminya seolah takut Danuar akan direbut orang lain.
"Mungkin kalau kita sudah punya anak Mama dan Papa akan melunak. Bagaimana pun mereka sanngat menginginkan cucu sejak lama makanya mereka suruh aku cepat nikah," jawab Danuar.
'Hamil. Punya anak. Hmm ... gimana ya? Bisa-bisa badanku melar habis melahirkan.'
"Oke deh, Sayang. Kita kasi Mama dan Papa cucu ya. Biar kita cepat pindah di rumah Mama. Kan kasihan mereka tidak ada yang merawat. Aku pengen merawat mereka," tutur Elena dengan senyum yang manis.
"Benar, Sayang?" Danuar berbinar bahagia. Elena mengangguk.
"Terima kasih ya, Sayang!"Danuar mengecup kening istrinya.
Elena menatap suaminya dengan senyum bahagia pula.
Cinta menaklukan hati manapun yang dia kehendaki. Membuatnya bertekuk lutut. Cinta juga akan membuat jiwa kuat. Mampu mengabaikan segala halangan yang merintangi. Bahkan melawan segala rintangan yang menentang.
Bersambung ...
💝💝💝
Terima kasih sudah mampir baca.
See you next chapter 😘