๏ฟผ
๐๐๐
Beberapa hari tak bersua dengan Firda membuat Ayushita rindu dengan sahabat konyolnya itu.
Firda memang dikenal sebagai gadis beradab dan berperilaku baik di kampung Petak Hijau. Dia gadis yang sopan, penurut dan ringan tangan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan. Bukan hanya karena dia adalah putri tunggal Kepala Desa setempat namun juga karena didikan kedua orang tuanya yang sangat menekankan adab. Ilmu agamanya juga baik.
Firda berwajah cantik meski tak secantik Ayushita, perawakannya sedikit pendek dari Ayushita. Firda hanya memiliki tinggi 152 centimeter sedangkan Ayushita hampir 160 centimeter. Itulah mengapa Firda terlihat mungil dan imut jika dibandingkan dengan Ayushita yang berpostur langsing dan pembawaan yang lembut dan dewasa. Ayushita dan Firda adalah dua pribadi yang bertolak belakang. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Namun perbedaan inilah yang mendekatkan keduanya.
Tetapi saat bersama dengan orang-orang yang dia anggap dekat, Firda sering bertingkah konyol. Ayushita dan Dokter Arjuna adalah orang-orang yang dekat dengan Firda sehingga keduanya sering merasakan imbas kekonyolan gadis mungil itu.
Sebagai teman sekongkol Dokter Arjuna juga, Firda akan selalu melakukan trik-trik aneh untuk bisa mendekatkan keduanya. Firda adalah mak comblang paling menyebalkan yang pernah ditemui oleh Dokter Arjuna. Meskipun Arjuna mengaku baru sekali pacaran.
Dan sepulang dari ibukota kabupaten, Ayushita tidak bertemu dengan sahabatnya itu lagi lebih dari seminggu. Mereka hanya berkomunikasi via telepon atau chat. Katanya gadis konyol itu sakit.
Kini Ayushita kangen dan ingin menjenguknya. Semoga dia baik-baik saja.
Setelah menunaikan shalat Ashar, Ayushita berangkat ke rumah sahabatnya itu. Tak lupa dia membawa kue brownis kukus yang dibuat khusus untuk Firda yang pecinta makanan manis.
Setibanya di rumah Firda, Ayushita disambut hangat oleh Bu Junaid yang sangat senang jika Ayushita berkunjung. Bu Junaid mempersilahkan Ayushita ke kamar Firda.
"Kamu sakit apa sih, Fir?" tanya Ayushita saat dia sudah duduk di sebuah kursi di kamar Firda. Sahabatnya itu masih bergelung di balik selimut.
"Awalnya batuk pilek aja sih. Terus demam juga," jawab Firda dengan suara parau diselingi batuk berdahak. Sebagian wajahnya tertutup masker.
"Demam tinggi?"
"Tidak juga. Kata Dokter Arjuna aman kok bukan Covid 19 hehehe," Firda malah terkekeh.
"Kamu ahh, sakit malah dibecandain," rutuk Ayushita dengan wajah kesal. Firda hanya tersenyum geli menanggapi kegusaran sahabatnya.
"Eh, bawa apa tuh?" tanya Firda menunjuk tas plastik di pangkuan Ayushita.
"Brownis kukus," jawab Ayushita mengulurkan bawaannya pada Firda. Gadis mungil itu langsung bangun dengan wajah semringah menyambut pemberian Ayushita. Tak lupa dia mengendus aroma kue itu sejenak
"Mmmm ... aromanya, luaaaar biasa."
Ayushita terbahak melihat tingkah Firda. Bu Junaid masuk ke kamar membawa dua cangkir teh panas.
"Mari diminum tehnya Nak Sita," ujar Bu Junaid mempersilahkan. Ayushita mengucapkan terima kasih. Kemudian wanita paruh baya itu keluar untuk memberikan waktu kepada kedua gadis cantik itu mengobrol.
"Kok ada dua kotak?" tanya Firda ketika membuka bungkusan plastik.
"Satunya untuk Dokter Arjuna. Aku belum sempat kasi apa pun sebagai bentuk terima kasih karena sudah bantu aku waktu sakit," jawab Ayushita sembari menyeruput tehnya.
"Cieeee!!" goda Firda dengan senyum jahil di balik maskernya. Itulah Firda kalau sudah berhadapan dengan Ayushita atau Arjuna.
"Kamu kasi nanti ke dia ya!" pinta Ayushita.
"Kok aku?" elak Firda cepat.
"Malu ah aku ke rumahnya," balas Ayushita dengan wajah sedikit merona. Dia kembali teringat dengan pesan gambar yang dikirimkan sang dokter. Dan bukan Firda namanya kalau tidak bisa menangkap rona malu itu. Sebuah gambar lampu yang abstrak tergambar di atas kepalanya.
"Antar sendiri saja, Sit. Aku masih sakit. Kalau Dokter Arjuna lihat aku keluar rumah dia pasti omelin aku panjang lebar," mohon Firda dengan wajah dibuat sayu. Tak lupa dia batuk-batuk hebat. Kondisinya benar-benar berbanding terbalik dengan tadi saat menerima kotak kue. Ayushita sampai tersedak tak percaya.
Aktingmu luar biasa ya Fir. Ckckckck.
"Tapi aku malu, Fir," kilah Ayushita.
"Malu kenapa sih? Memangnya kamu sudah melakukan sesuatu? Atau ada sesuatu antara kalian berdua?" celutuk Firda dengan wajah dibuat serius.
"Tidak ada," sambar Ayushita cepat sambil mengibaskan tangannya.
"Nah, kalau tidak apa-apa kenapa harus malu? Lagian ucapan terima kasih itu harus disampaikan sendiri lho." Firda mengunyah kue dengan nikmat. Ayushita terdiam mempertimbangkan saran sahabatnya.
"Oke, aku antar sendiri," kata Ayushita setelah berpikir sejenak.
"Nah gitu dong." Firda mengangkat jempol kirinya.
Mereka bengobrol banyak hal sebelum Ayushita pamit pulang.
"Eh, jangan lupa kue untuk Dokter Arjuna. Dia pasti senang dikasi kue manis yang dibuat dengan hati penuh cinta," goda Firda lagi dengan mata dikedipkan.
"Ngaco ah!"
Ayushita langsung pamit. Sebentar lagi waktu Magrib.
Saat keluar dari pintu pagar rumah Firda, Ayushita berdiri terpaku sejenak mempertimbangkan apakah singgah ke rumah Dokter Arjuna atau terus pulang. Tapi kalau tidak memberikan kue itu maka akan sayang tidak ada yang makan. Tapi kan bisa kasi ke orang lain.
Tapi bagaimana kalau nanti Firda memberi tahu Dokter Arjuna kalau dia membuatkan kue. Firda kan suka bertingkah seperti ember bocor sama dokter itu. Apalagi segala hal yang berhubungan dengan Ayushita. Kalau Dokter Arjuna tahu dan kemudian menagihnya, dia harus bilang apa? Maaf, kuenya sudah dikasi ke orang lain.
Ayushita memijit pelipisnya membayangkan betapa malu dirinya nanti. Sudahlah. Pergi ke rumah dokter itu, serahkan kue, basa-basi sedikit lalu pulang. Jangan layani dia berbicara hal lain apalagi masalah foto.
Setelah membulatkan tekad, Ayushita membuka pintu pagar rumah tinggal sang dokter, menuju pintu yang tertutup rapat kemudian mengetuk pelan.
Dua kali ketuk tak ada jawaban. Ayushita kembali mengetuk agak keras disertai salam. Tak ada jawaban dari dalam. Tetapi tiba-tiba terdengar suara benda pecah.
"Dokter Arjuna! Apakah Dokter ada di dalam?" teriak Ayushita.
Terdengar suara orang batuk-batuk disertai rintihan kesakitan.
'Apakah Dokter Arjuna sakit?' pikir Ayushita.
Dengan perlahan Ayushita mendorong pintu. Tidak terkunci. Ayushita melongok ke dalam rumah. Sepi.
"Dokter Arjuna?" panggil Ayushita lagi.
"Siapa?" Terdengar suara yang parau dan terbatuk-batuk. "Kamu Firda?" Lagi suara batuk-batuk yang semakin intens.
Ayushita melangkah ke sumber suara. Di dalam sebuah kamar. Gadis itu mengetuk pintu perlahan.
"Masuk!"
Ayushita membuka pintu kamar. Tampaklah Arjuna sedang terbaring di atas tempat tidurnya dengan selimut menyelimuti seluruh tubuh. Sebuah gelas tergeletak di lantai dalam keadaan pecah berhamburan.
"Dokter! Apakah Dokter baik-baik saja?" seru Ayushita cemas. Dia meletakkan kotak kue di atas sebuah kursi kemudian menghampiri Arjuna.
"STOP! Jangan mendekat!" Arjuna berseru sambil mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat agar Ayushita tidak mendekatinya.
"Mohon jangan mendekat demi kebaikanmu. Tapi boleh saya minta tolong?" ucap Arjuna dengan napas tersengal. Kerongkongannya terasa kering. Tapi tubuhnya sangat lemas.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanya Ayushita cemas.
"Tolong hubungi Dokter Hendry di RSUD. Beri tahu beliau keadaanku saat ini. Nomornya ada di ponsel saya," ucap Arjuna sambil menunjuk ponsel di atas nakas.
Segera Ayushita ke arah meja nakas.
"Tunggu!" Ayushita menoleh ke pria itu. "Pakai sarung tangan karet yang ada dalam tas kerja saya. Tadi saya sempat memegang ponsel itu," titah Arjuna.
Ayushita berbalik ke arah rak buku di sudut dan membuka tas kulit berwarna hitam. Dia meraih sepasang sarung tangan karet halus berwarna krem lalu memakainya. Sarung tangan itu sering digunakan tenaga media saat bekerja.
Ayushita lalu meraih ponsel di atas nakas. Saat membuka ponsel ternyata layarnya terkunci oleh kata sandi.
"Kata sandinya?" tanya Ayushita ke pria itu.
"1503," kata Arjuna.
Mata Ayushita membola. Namun sekejap dia menguasai rasa terkejutnya. Arjuna menangkap guratan keterkejutan di wajah gadis itu sebelum dia berhasil menutupinya.
Ayushita menghubungi kontak Dokter Hendry. Terdengar nada sambung dua kali lalu disambung dengan suara pria yang bernada berat.
"Halo! Apa kabar Juna?"
"Apa- apakah benar ini Dokter Hendry?" tanya Ayushita sedikit gugup. Hening sejenak di sana. Mungkin Dokter Hendry sedang menatap layar ponselnya untuk memastikan nama penelepon di layarnya. Bukankah nama Dokter Arjuna? Tetapi mengapa suara perempuan?
"Iya. Saya Dokter Hendry. Bukankah ini nomor kontak Dokter Arjuna?" Terdengar nada menyelidik di ujung sana.
"Benar. Ini ponsel Dokter Arjuna. Saya temannya. Dia meminta tolong saya untuk menyampaikan kepada Anda kondisinya sekarang," jawab Ayushita tenang. Kini dia mulai menguasai rasa gugupnya.
"Apa yang terjadi dengan Arjuna? Dimana dia sekarang?"
"Dia di sini di kamarnya. Maksudnya di rumahnya di kampung Petak Hijau. Dokter Arjuna lagi sakit, Dok. Dia demam dan batuk. Hanya saja dia tidak mengizinkan saya untuk mendekat dan memeriksa suhu tubuhnya," tutur Ayushita. Dia berbicara sambil memandang Arjuna yang juga menatapnya. Sesekali pria itu terbatuk dan pasti Dokter Hendry bisa mendengar di sana.
"Baiklah. Boleh saya minta bantuan pada Anda? Siapa nama Anda, Nona?" tanya Dokter Hendry lamat-lamat.
"Saya Ayushita, Dok," jawab gadis itu.
"Baik. Nona Ayushita saya minta bantuan Nona untuk tetap bersama Dokter Arjuna di sana. Saya akan segera ke sana menjemput dia. Beri dia air hangat dan pastikan dia sudah makan. Namun tolong jaga jarak agar tidak bersentuhan dengannya. Apakah Nona pake masker hidung?"
"Iya. Juga sarung tangan," jawab Ayushita.
"Bagus. Saya titip Dokter Arjuna ya." Dokter Hendry lalu menutup telepon.
Setelah menaruh kembali ponsel di atas nakas, Ayushita menghadap Arjuna.
"Apakah Anda butuh sesuatu?" tanya Ayushita.
"Air minum," jawab Arjuna dengan suara seraknya. Ayushita ke dapur mengambil segelas air putih hangat dan menyerahkan pada Arjuna. Pria itu segera meneguk separuh isi gelas kemudian meletakkan gelas di atas nakas.
Ayushita menyempatkan membersihkan pecahan gelas di lantai.
"Sudah makan?" tanya Ayushita lagi. Arjuna menggeleng.
"Saya buatkan bubur."
"Tidak usah," Akan tetapi Ayushita tidak mendengarkan larangan Arjuna. Dia melangkah ke dapur, memeriksa tempat beras dan isi kulkas. Ada beberapa butir telur di sana. Selebihnya hanya botol air minum yang hampir semuanya kosong.
Ayushita merebus dua butir telur dan memasak bubur. Semua dilakukan dengan cekatan karena dia terbiasa memasak.
Setelah semua selesai, gadis itu menyiapkan bubur dan telur rebus di atas sebuah nampan dan membuat secangkir teh hangat juga.
Arjuna tertegun saat Ayushita masuk dengan nampan berisi makanan dan teh hangat. Gadis itu meletakkan di atas meja nakas dekat ranjang pria itu.
"Makanlah sambil menunggu Dokter Hendry. Saya mau shalat magrib di rumah Firda dulu. Nanti saya balik lagi ke sini," ucap Ayushita lalu berbalik keluar kamar.
"Jangan ke rumah Firda. Shalat di sini saja. Ada mukena di ruang sebelah, pakai itu saja," cegah Arjuna.
Ayushita yang sudah sampai di pintu berbalik ke arah pria itu. Dia paham apa maksud Arjuna. Saat ini mereka belum bisa memastikan seperti apa kondisi Arjuna di tengah guncangan wabah virus ini. Berhari-hari Arjuna berinteraksi dengan banyak pasien di RSUD dan tidak menutup kemungkinan dia tertular. Dan Ayushita pun bisa jadi ikut terkontaminasi.
Ayushita mengangguk lalu melangkah kembali. Arjuna pun memandangi punggung gadis itu menghilang di balik pintu. Kemudian dia menatap makanan di atas nampan.
Seumur hidupnya, ini pertama kali ada perempuan lain yang merawatnya dalam keadaan sakit selain ibunya. Membuatkan bubur dan mengambilkan air minum. Bahkan kedua adik perempuannya tidak pernah merawatnya saat sakit.
Ada getar yang bergemuruh di dalam dadanya. Dawai bahagia berdenting mengalunkan lagu asmara dalam jiwanya.
Seulas senyum terbit di sudut bibirnya. Dengan perlahan Arjuna menyeruput teh hangat sedikit. Lalu dia menyendok bubur dan berusaha menikmatinya meskipun dia tak bernafsu makan saat ini.
Ini adalah buatan Ayushita. Dia harus menghargainya. Semuanya terasa enak padahal itu hanya bubur biasa, telur rebus biasa dan secangkit teh biasa juga. Arjuna menghabiskan semuanya. Dan senyum di bibirnya belum pudar sama sekali.
Setelah makan Arjuna menunaikan shalat Magrib walaupun hanya bertayammum saja. Di akhir shalatnya dia berdoa untuk ayah dan ibunya, untuk kedua saudaranya dan menyelipkan satu nama yang telah mengisi hari-harinya selama berada di tempat tugasnya ini.
'Jika dia adalah jodohku maka dekatkanlah. Jika bukan jodohku, maka berikan jalan untuk menjadi jodohku, Ya Rabb. Ampunkan dosaku dan hindarkanlah diriku dari perbuatan hina dan tercela. Aamiin!'
Bersambung ...
๐๐๐
Nb : Big thanks untuk kawan-kawan yang sudah mampir baca BWW.
Dan Big โค untuk yang sudah beri power stone dan Komen. See you next chapter ๐