Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 22 - BWW #22

Chapter 22 - BWW #22

💝💝💝

"Dokter Arjuna. Apa hubungan Anda dengan adik saya?" To the point, membuat Arjuna gelagapan dan langsung mengalihkan tatapannya ke wajah kakak sang idaman hati. Apakah hari ini dia akan menghadapi interogasi ala polisi? Dia akan menjawab apa nanti? Arjuna jadi gugup.

Ayushita merasakan alarm bahaya berdering dan segera memutar otak.

"Ah ha ha ha ... Kakak sudah makan siang?" tanya Ayushita mengalihkan pembicaraan.

"Sudah," jawab Ayub.

"Ah, Kak temani aku makan di kantin aku lapar," rengek Ayushita manja.

"Memangnya kamu belum makan?" tanya Ayub heran.

"Sudah tapi hanya sedikit. Sekarang lapar lagi. Ayo Kak. Temani aku." Ayushita langsung menyeret tubuh besar kakaknya keluar kamar Arjuna diiringi tatapan Firda dan Arjuna yang hanya bisa menganga. Setelah kedua kakak beradik itu pergi Firda langsung menatap tajam pada Arjuna.

"Apa? Mengapa menatapku seperti itu?" tanya Arjuna berlagak polos.

"Hmm ... apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kalian berdua ada di kamar yang sama dan saling suap-suapan." Kini Firda yang balik menginterogasi Arjuna.

"Ap- apa maksudmu? Tidak terjadi apa-apa kok. Ayushita hanya- hanya membantuku sedikit. Tanganku sakit. Aakkhh ... iya tanganku sakit," kilah Arjuna tergagap sambil pura-pura mengurut tangan kirinya.

Firda memicingkan matanya menatap tajam dengan ekor mata pada Arjuna.

"Yang sakit kan tangan kiri dan Dokter bukan orang kidal. Artinya masih bisa menggunakan tangan kanan untuk makan," sergap Firda.

Arjuna berhenti memijat tangan kirinya. "Sebenarnya tangan kananku juga sakit kok," kilah Arjuna memelas. Dia tahu tidak ada gunanya berkilah di depan gadis mungil itu. Dia akan selalu kalah.

"Makanya ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi?" tegas Firda sambil duduk di kursi yang ditempati Ayub sebelumnya.

"Aku sudah mengutarakan perasaanku pada Ayushita," kata Arjuna dengan pipi merona. Dia lalu menutup wajahnya dengan selimut persis remaja pria yang baru saja menembak orang yang disukainya. Untung saja dia tidak berguling-guling di atas kasur.

"Eleh eleh eleeeh ... kaya ABG labil saja," ejek Firda. Arjuna langsung menyingkirkan selimut di wajahnya. Dia lalu memasang wajah datar seraya melipat kedua tangan di depan dadanya.

"Jadi ceritanya nih Dokter sudah katakan 'I love you' pada Sita?" tanya Firda mengedipkan matanya jenaka.

"Bukan seperti itu sih," jawab Arjuna.

"Lalu?"

"Aku hanya bilang 'aku suka, sangat suka' pada Ayushita," ujar Arjuna.

"What?"

"Memang beda ya antara kata suka dan cinta?" tanya Arjuna heran melihat wajah gusar Firda.

"Ya jelas beda lah. Kalian para cowok akan menganggap suka dan cinta itu sama. Tapi cewek akan menganggap pernyataanmu itu kurang serius. Belum tahap cinta. Belum terlalu meyakinkan, men!" pungkas Firda dengan sorot mata serius kepada Arjuna.

"Memangnya pernyataan suka di saat-saat genting, saat nyawa di ujung tanduk itu tidak serius juga?" tanya Arjuna lagi. Kali ini dia yang kesal. Firda belum tahu saja bagaimana perjuangannya untuk bisa menyatakan perasaannya. Bahkan dia harus memohon-mohon pada Dokter Hendry untuk mendramatisir situasi yang dialaminya agar Ayushita benar-benar tersentuh.

"Whatever!" ketus Firda. "Intinya kalau memang Dokter serius mau mengejar Sita, Dokter harus bisa meyakinkan Sita bahwa Dokter benar-benar punya perasaan cinta yang tulus padanya bukan hanya sekedar rasa suka."

"Aku serius kok Fir!" ujar Arjuna sambil mengangkat dua jarinya seperti bersumpah.

"Oke. Aku pegang kata-katamu. Sekarang apa yang akan Dokter lakukan untuk menghadapi kakaknya? Kakanya itu posesif banget sama Sita. Paling juga awal-awal pasti akan dapat penolakan dari kakaknya. Apalagi dia polisi. Salah sedikit saja bikin adiknya menangis atau kecewa Dokter bisa di dorrr sama kakaknya," ujar Firda serius.

"Masa sih?" Arjuna cemas. Firda menganggukkan kepala.

"Terus aku harus gimana menghadapi kakaknya?" tanya Arjuna.

"Hmm ... gimana ya? Intinya Dokter harus bisa meyakinkan kakaknya lebih dulu. Adakan pendekatan. Dan kalau perlu berteman dengan kakaknya," usul Firda. Arjuna manggut-manggut. Masuk akal, pikirnya.

"Terus, siapa dulu yang harus aku yakinkan, Ayushita atau kakaknya?" tanya Arjuna.

"Pastinya dua-duanya. Sita kan pernah patah hati. Jadi Dokter harus bisa membuat Sita jatuh cinta sama Dokter sambil berusaha dekat sama kakaknya. Ini untuk menunjukkan keseriusan Dokter lho!" celoteh Firda panjang lebar bagai konsultan cinta profesional.

Arjuna mengangguk lagi.

"Tenang. Aku akan membantu Dokter memenangkan hati kedua kakak beradik itu," Firda menaik turunkan alisnya dengan senyum penuh keyakinan.

"Bagaimana caranya?" tanya Arjuna. Pria ini benar-benar buta tentang cara mengejar seorang gadis.

"Masalah itu akan kita bicarakan selanjutnya setelah Dokter sembuh. Kita perlu menyusun beberapa strategi. Dan kurasa dua paket martabak telor dan sepaket kue sus cokelat akan membuat otakku lancar berpikir," ujar Firda sambil menepuk-nepuk dagu dengan jari telunjuknya.

Arjuna menghela napas panjang.

***

Di kantin rumah sakit.

Ayub memesan dua porsi soto ayam plus ketupat dan dua gelas jus jeruk. Dia dan Ayushita menikmati makanan mereka dalam suasana diam.

Suasana kantin agak sepi. Hanya beberapa keluarga pasien yang menikmati makanan seperti mereka. Efek lockdown sangat terasa. Jalan raya di depan rumah sakit pun tampak lengang dari lalu lalang kendaraan.

Ayub membersihkan mulutnya dengan tisu yang tersedia di atas meja setelah menghabiskan soto dan es jeruknya. Ayushita pun melakukan hal yang sama.

"Dek, bagaimana keadaanmu selama kerja di kampung itu?" tanya Ayub membuka percakapan mereka.

"Everything's fine and I can handle my life. Don't worry," jawab Ayushita meyakinkan kakaknya. Dia tahu betapa kakaknya mencemaskannya setiap saat. Di mata kakaknya dia masih anak SMA yang belum bisa mandiri.

(Terj: Semuanya baik-baik saja dan aku bisa mengatasi masalah hidupku. Jangan khawatir?)

"I am relieved then," ujar Ayub tersenyum. "Adik kecilku benar-benar sudah dewasa." Dia lalu mencubit pipi adiknya. (Terj: Maka aku merasa lega).

"Kak!" pekik Ayushita kesal dan melotot ke arah kakaknya. Ayub hanya terkekeh senang.

"Lalu, siapa pria di dalam tadi?" tanya Ayub. Kali ini wajahnya tampak serius.

"Hmm ... dia salah satu dokter anak yang ditempatkan di daerah yang sama denganku. Dia juga dokter kontrak," jawab Ayushita lugas.

"Hubungannya denganmu?" Rasa ingin tahu yang besar.

"Dia ... aku ... hmm maksudnya gini kak, aku kenal saja sama dia karena Firda yang mengenalkan kami. Seperti teman biasa," jawab gadis itu sedikit ragu.

"Jujur saja. Kamu punya perasaan sama dokter itu?" Akh, inilah sifat peka sang kakak. Ayushita gelagapan. Tapi mau bagaimana lagi, kakaknya adalah orang yang sangat sulit dibohongi. Ayushita bisa menyembunyikan sesuatu dari kedua orang tuanya. Tapi tidak dengan kakak satu-satunya tersebut.

"Sebenarnya ... Dokter Arjuna sudah mengungkapkan perasaannya padaku beberapa hari yang lalu," jawab Ayushita takut-takut. Dia menundukkan kepala menyembunyikan rasa tidak nyamannya.

"Apa jawabanmu?"

Ayushita terdiam. Dia kembali mengingat momen drama di depan pintu ruang isolasi Dokter Arjuna. Saat itu dia hanya bilang akan menunggu sang dokter. Menunggu apa? Pastinya menunggu dia sembuh kan? Apakah itu bisa diartikan sebagai jawaban 'Ya'? Bahkan dirinya yang guru bahasa jadi bingung dengan perkataannya sendiri.

"Saat itu Dokter Arjuna sakit parah. Dia mengatakan perasaannya padaku. Untuk menyemangati dia agar sembuh, aku mengatakan akan menunggunya. Apakah itu bisa dikatakan jawaban Ya?" ujar Ayushita.

Ayub terperangah. Dia pun kelihatan bingung. Hal ini mengungkapkan fakta bahwa kedua kakak beradik ini juga minim pengalaman masalah hati. Apa iya?

"Sekarang, setelah dia baik-baik saja apakah kamu masih berharap padanya?" tanya Ayub.

"Entahlah, Kak. Hingga kini aku belum yakin bagaimana perasaan Dokter Arjuna padaku. Mungkin hanya sebatas suka saja. Bukan perasaan cinta sebenarnya. Aku takut dia tidak serius. Di sekitarnya ada begitu banyak wanita cantik. Aku takut hanya aku yang berharap, sedangkan dia menganggap perasaannya tidak lebih dari rasa suka seorang teman," curhat Ayushita.

"Semuanya tergantung pada hatimu. Keputusan ada pada hatimu. Kakak hanya bisa melindungimu. Jika kamu ragu maka sebaiknya jauhi agar kamu tidak tersakiti lagi," nasehat Ayub. Ayushita mengangguk. Dia pun tersenyum.

"Oke. Kakak mau balik dulu nanti Mama bakal khawatir kalau aku pulang terlalu larut. Tadi juga Kakak tidak pamit mau ke sini," ucap Ayub sembari melirik jam tangannya.

"Kak jangan kasi tahu Mama dan Papa ya kalau aku sakit," iba Ayushita. Ayub mengangguk.

"Jaga kesehatan ya. Kalau ada apa-apa cepat telepon Kakak," pinta Ayub.

Ayushita mengantar Ayub hingga depan pintu depan lalu kembali ke kamarnya. Dia belum menunaikan shalat Dzuhur.

Saat Ayushita selesai shalat, Firda masuk ke kamarnya.

"Mana kakakmu?" tanya Firda.

"Sudah pulang," jawab Ayushita.

"Hmm ... jadi kapan kamu pulang ke kampung?"

"Kata Dokter Hendry sih besok sudah bisa," jawab Ayushita.

"Kalau gitu aku nginap sini saja supaya besok kita bisa sama-sama pulang," usul Firda antusias.

"Boleh. Lagian aku bosan tidak ada teman. Tapi, sudah kabari ibumu?"

"Sebentar aku telepon ke rumah," jawab Firda.

Mereka lalu terlibat obrolan seru seputar keluarga Ayushita, terutama tentang kakaknya. Hal ini menjadi tujuan Firda untuk mencari informasi seputar Ayushita untuk menjadi referensi pendekatan bagi Arjuna. Benar-benar konsultan yang berdedikasi pada kliennya.

***

Di sebuah restoran mewah di kota P.

Elena sedang duduk menikmati makan malam bersama beberapa teman-teman sosialitanya. Mereka membicarakan berbagai hal menyangkut trend fashion terbaru, gosip artis hingga kebiasaan sex pasangan-pasangan mereka. Elena mendengarkan dengan seksama agar dia tidak ketinggalan informasi ter up-to-date. Dia tidak ingin dicap kurang update tentang hal-hal yang menjadi topik pembicaraan teman-temannya.

"Eh, gosipnya nih artis X itu pernah aborsi lho," pungkas wanita berbaju merah.

"Masa sih? Dia kan kelihatan alim gitu," timpal wanita berambut sebahu dengan poni Dora.

"Ya namanya pencitraan. Kan biar menciptakan opini positif di publik." Si baju merah kembali menimpali.

"Namanya gosip kan belum tentu juga kebenarannya." Kali ini perempuan berbaju biru dengan rambut sanggul yang bicara.

"Ish amit-amit deh. Semoga saja aku gak sampai gituan. Aborsi. Bisa dihajar papi aku nantinya," ujar si poni Dora sambil mengetuk kepalanya sendiri.

Elena hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Terkadang dia meremas kedua tangannya dengan gugup. Mulut teman-temannya kadang tanpa filter membahas berbagai hal-hal yang saat ini tidak lagi mereka anggap tabu.

"El, kok kamu sekarang jarang bareng suami kamu?" tanya si rambut sanggul.

"Ehm ... suami aku lagi sibuk di perusahaan ada proyek baru katanya," jawab Elena sedikit jumawa. Sejak menikah dengan Danuar dia bisa sedikit menyombongkan diri.

"Proyek apa?" tanya si baju merah.

"Katanya sih proyek dengan Hotel Santika yah kaya gitu deh aku juga tidak paham soalnya aku tidak terlalu ikut campur masalah perusahaan dia," pungkas Elena.

"Hotel Santika. Wah proyek besar tuh. Pemilik hotel itu termasuk jajaran orang kaya di negara ini. Dengar-dengar sih pemiliknya itu punya anak sulung yang tampan banget dan dipastikan akan mewarisi semua aset perhotelan keluarga itu," pekik si poni Dora dengan mata berbinar.

"Emang kamu kenal orangnya?" tanya si rambut sanggul.

"Tidak juga sih. Tapi kalau ada kesempatan aku pengen dekati tuh pewaris Hotel Santika hehehehe," kekeh si poni Dora. Mereka langsung bersorak meledeknya. Suara riuh keempat wanita itu langsung menarik perhatian pengunjung restoran lainnya.

"Elena?" Tiba-tiba sebuah suara pria menginterupsi kehebohan mereka. Elena menoleh ke sumber suara. Matanya langsung membulat dengan mulut menganga.

Bersambung ...

💝💝💝

Nb : Maaf slow update untuk semua novelku termasuk Sekretarisku Pengawalku karena masih banyak kerjaan di dunia nyata. Saya selalu kehilangan fokus kalau menulis. Terutama untuk SekPeng.

Semoga teman-teman bisa bersabar ya

Happy reading 😘 I love You all