๐๐๐
Ayushita tiba di rumah dengan lesu. Bukan fisiknya yang lesu. Tapi hatinya. Seharusnya dia sudah kebal dengan rasa kecewa tapi ternyata dia tetap tak bisa menahannya.
'Ayolah Ayu. Berpikir positif-lah. Mungkin Dian memang kesakitan dan Dokter Arjuna murni hanya menolongnya,' gumam Ayushita menghibur dirinya sendiri.
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya.
๐ฅ
From : Dokter Arjuna
Ayu, kamu ke puskesmas tadi? Bu Narti yang
bilang.
Sebenarnya Ayushita malas membalas pesan itu tapi dia mencoba untuk tidak bersikap kekanak-kanakan.
๐ค
To : Dokter Arjuna
Iya
Ponsel kembali berbunyi.
๐ฅ
From : Dokter Arjuna
Kenapa tidak temui aku? ๐
๐ค
To : Dokter Arjuna
Tadi sepertinya Dokter sibuk
๐ฅ
From : Dokter Arjuna
Tidak terlalu sibuk kok. Aku tetap akan menyempatkan diri ketemu kamu.
Ayushita menghela napas.
'Sibuk urusin Dian tuh,' rutuk Ayushita membanting ponselnya di atas tempat tidur.
'Eh, kenapa aku marah ya? Tadi kan mau positive thinking. Kok jadi kesal juga baca pesannya. Huh dasar playboy cap kapak!'
Ayushita beranjak ke kamar mandi di dapur hendak berwudhu untuk shalat Ashar. Biar emosi jadi tenang.
Sedangkan di kamar, ponselnya berdering tanda telepon masuk. Dari Dokter Arjuna. Setelah deringan mati disusul panggilan berikutnya hingga tiga panggilan.
Ayushita yang baru masuk dari dapur melihat panggilan tak terjawab dari Dokter Arjuna. Tanpa niat melakukan panggilan ulang, Ayushita langsung menon-aktifkan ponselnya.
Ayushita hanya ingin menenangkan hatinya sekaligus memikirkan kembali langkah selanjutnya terkait hubungannya dengan Arjuna.
***
Di puskesmas kampung Petak Hijau.
Arjuna memapah Dian yang kakinya terkilir ke salah satu kursi rotan yang tersedia di ruang kerjanya. Arjuna lalu membuka sebuah lemari gantung kecil yang berfungsi sebagai lemari P3K. Dia mengambil sebuah botol salep dan menyerahkan pada Dian.
"Ini. Oles sendiri pada bagian yang terkilir. Setelah itu cepat keluar dari ruangan saya," pinta Arjuna.
"Tapi Dok ..."
Arjuna keluar dari ruangannya meninggalkan Dian yang tampak kecewa karena diabaikan oleh Arjuna. Sebelumnya dia sudah merasa senang karena dokter itu peduli padanya.
Bu Narti yang melihat Arjuna keluar dari ruang kerjanya langsung menyapanya.
"Dokter Arjuna, ada yang mencari Anda tadi," kata Bu Narti.
"Siapa?" tanya Arjuna.
"Bu Ayushita," jawab Bu Narti. Arjuna terkejut dan mengedarkan pandangannya sekeliling mencari Ayushita.
"Dimana dia?" Kening Arjuna berkerut karena tidak mendapati sosok yang dicarinya.
"Bu Ayushita sudah pulang kira-kira lima atau sepuluh menit yang lalu," jawab Bu Narti.
Arjuna termenung. Berarti gadis itu ada di sini ketika dia membantu Dian terkilir tadi. Arjuna mengusap wajahnya frustasi seraya membuang napas panjang.
"Kenapa Dok?" Bu Narti heran melihat dokter itu menghela napas berat.
"Tidak apa-apa," jawab Arjuna. Matanya menangkap sebuah plastik hitam di atas meja kerja Bu Narti.
"Apa itu, Bu?" tanya Arjuna menunjuk kantong plastik tersebut.
"Eh, itu kue brownish yang dikasi sama Bu Ayushita tadi," jawab Bu Narti tersenyum.
Arjuna tersenyum pahit. Dia tahu untuk siapa sebenarnya kue itu. Tentu untuk dirinya. Entah apa yang dipikirkan Ayushita tentang dirinya sekarang.
Arjuna segera mengeluarkan ponsel dari saku baju snelinya.
Dia segera mengetik sebuah pesan pada Ayushita. Beberapa kali dia mengetik di layar ponselnya. Hingga beberapa saat kemudian wajahnya berubah kelam karena gadisnya tidak membalas pesannya lagi.
Jemariya langsung menekan ikon panggilan. Terdengar nada panggilan tersambung tapi tak dijawab. Begitu terus sampai tiga kali. Arjuna bertekad akan mencoba terus hingga Ayushita menjawab panggilan teleponnya.
Saat dia mencoba keempat kalinya yang terdengar malah suara mesin penjawab. Arjuna langsung mengumpat. Bu Narti menjadi sedikit takut melihat wajah kesal dokter Arjuna.
Dian yang berdiri di depan pintu ruang kerja Arjuna memandang sang dokter pujaan dengan ekspresi berbeda. Entah mungkin dia senang melihat Arjuna sedang kesal. Dia menduga bahwa Dokter Arjuna tadi berusaha menelepon guru itu.
Ponsel Arjuna berdering. Arjuna tampak serius berbicara.
Sebelum Arjuna memergokinya menguping di sana Dian segera berlalu dari tempat itu menuju ruang obat-obatan tempat dia biasanya berdiam diri.
***
Malam harinya Ayushita sibuk memeriksa tugas siswa yang melakukan kegiatan Learning From Home (LFM) atau belajar dari rumah yang dikirim via akun media sosial masing-masing siswa. Kondisi pedalaman yang masih awam dengan teknologi menyebabkan sebagian siswa yang tidak punya ponsel malah mengantarkan tugasnya langsung ke rumah Ayushita. Siswa-siswa tersebut kebanyakan dari keluarga ekonomi lemah yang tidak mampu membeli perangkat ponsel apalagi pulsa data. Jangan berkhayal di sini ada wifi gratis ya. Mereka bisa membeli perlengkapan sekolah saja sudah bersyukur.
Ayushita memaklumi keterbatasan mereka dan tidak ingin memaksakan sesuatu yang tidak bisa dipenuhi oleh anak didiknya. Asalkan mereka mau belajar dengan sungguh-sungguh itu sudah cukup baginya.
Ayushita melirik ponselnya yang baru beberapa menit lalu diaktifkan. Selain panggilan tak terjawab tadi siang, tak ada lagi panggilan lain atau pesan dari Arjuna. Ayushita kembali menghela napas.
"Aku kasi waktu sampai besok pagi. Kalau dia tidak kasi penjelasan apa pun, ya sudah," guman Ayushita geram. Dia kembali berusaha fokus pada pekerjaannya.
Malam musim kemarau di kampung Petak Hijau. Suara jangkrik dan kodok dari pinggir sungai dan juga kolam di halaman sekolah menjadi nyanyian alam yang terdengar begitu syahdu. Tak ada deru bising mesin dan nyaring bunyi klakson kendaraan yang tak pernah istirahat seperti di kota. Tak ada ramai suara manusia di mall, swalayan, kafe dan restoran atau tempat-tempat umum lainya yang biasa dikunjungi orang kota hingga waktu malam.
Yang ada hanya keheningan yang ditingkahi suara alam yang begitu tenang. Sehening hati Ayushita yang sedang memandangi langit-langit yang temaram. Lampu listrik desa telah dipadamkan jam sepuluh malam tadi. Hanya ada cahaya dari lampu charger yang menggantung di dinding kamar.
Beberapa kali Ayushita membolak-balikkan tubuhnya di atas peraduan sempit. Namun matanya masih sulit terpejam. Mulutnya berkomat-kamit melafalkan beberapa surat pendek dalam Alquran.
Lalu imajinasinya dialihkan pada sebuah kandang dengan sekumpulan domba berbulu putih lebat di dalamnya. Secara tak sadar mulutnya mulai menghitung domba yang berbaris dalam imajinasinya. Baru sampai domba kesepuluh yang dihitung mata Ayushita sudah terpejam. Akhirnya sisa domba yang tak sempat dihitung protes dalam mimpi.
***
Dua hari berlalu tanpa ada pesan apalagi telepon dari Arjuna. Ayushita sempat berpikir apakah dirinya yang bersikap kekanak-kanakan dan mengabaikan pria itu. Jangan-jangan Arjuna kecewa dengan sikapnya yang diam dan tidak mau menjawab panggilan teleponnya.
Ayushita bimbang harus bersikap bagaimana. Di satu sisi dia ingin mencoba memulai hubungan serius dengan sang dokter. Namun sisi lain hatinya masih diliputi keraguan, ketakutan dan ketidak yakinan. Poin utamanya adalah dia takut berharap.
Sekilas memori masa lalu mampir mengetuk ingatannya. Dulu dia yang mengejar Danuar. Mereka kenal sejak kecil. Usia yang hanya terpaut tiga tahun membuat Ayushita dekat dengan Danuar. Sikap Danuar yang begitu perhatian dan melindungi membuat Ayushita mengagumi Danuar dan menganggapnya sebagai satu-satunya pria yang layak menjadi bagian dari hidupnya selain ayah dan kakaknya.
Kekaguman dan perasaan cinta yang tumbuh di hati Ayushita ternyata tidak bersambut di hati Danuar. Pria masa kecilnya itu hanya menganggapnya sebagai adik kecil karena Danuar adalah anak tunggal. Mereka sekolah di sekolah yang sama hingga masuk ke universitas yang sama pula. Semua hanya karena Danuar telah berjanji pada keluarga Ayushita untuk menjaga gadis itu mengingat kedekatan kedua keluarga mereka.
Ayushita tumbuh menjadi gadis cantik yang dikagumi oleh banyak teman prianya di kampus. Pribadinya yang lembut tapi tidak manja membuat beberapa teman-teman arisan ibunya ingin meminang untuk anak lelaki mereka. Tapi hal itu tidak membuat Ayushita membuka hatinya orang lain karena hatinya telah dimiliki oleh Danuar.
Ayushita menunjukkan perasaannya yang tulus pada Danuar dengan berusaha menjadi calon istri yang layak untuk pria itu. Segala hal yang berhubungan dengan menjadi istri ideal dia lakukan. Bahkan dia memilih menjadi seorang guru yang berhubungan dengan anak-anak dan juga memiliki waktu kerja lebih pendek daripada pekerja kantoran yang waktu kerjanya hingga sore hari.
Harapan setinggi puncak Himalaya, seindah kelopak sakura di musim semi, akhirnya pupus terhempas bagai perahu kecil yang digempur badai di tengah lautan. Hancur bercerai berai menjadi serpihan kecewa.
Belajar dari pengalaman tersebut kini Ayushita mencoba untuk tidak memupuk harapan yang terlalu besar pada sebuah hubungan asmara. Seandainya saat ini ada pria bujang dengan latar belakang baik dan sholeh yang datang melamarnya mungkin akan langsung diterima saja. Tidak peduli dia anak orang berada atau hanya seorang OB asalkan hatinya tulus.
Segitu putus asakah dirinya? Entahlah.
Hanya saja rasanya dia lelah dengan sebuah hubungan yang tidak pasti.
Sore harinya Firda berkunjung ke rumah sahabatnya. Dia hanya ingin mengetahui bagaimana kabar sahabatnya setelah insiden di puskesmas. Arjuna menceritakan apa yang telah terjadi. Pria itu ingin menemui Ayushita secara langsung tetapi dia harus berangkat ke kota mengambil stok obat-obatan dan mengurus beberapa urusan. Arjuna meminta Firda mengecek keadaan Ayushita karena dia khawatir dan gadis itu tidak mau menjawab teleponnya. Intinya Arjuna menitipkan Ayushita pada Firda.
"Assalamu'alaikum. Hai Neng cantik!" sapa Firda ketika tiba di teras rumah Ayushita. Sang tuan rumah sedang serius menyiram tanaman yang berjajar di teras tersebut.
"Wa'alaikumussalam. Masuk Fir! Apa tuh?" jawab Ayushita lalu menunjuk rantang di tangan Firda.
"Sayur kari nangka dari ibuku," sahut Firda meletakkan rantang di atas meja kecil yang di apit oleh dua buah kursi kayu.
Kedua gadis itu duduk di masing-masing kursi. Ayushita tersenyum senang dan langsung membuka tutup rantang lalu menghirup aroma sayur.
"Hmm ... Ntar air liurmu jatuh di dalam sayur tuh," ujar Firda mengomentari kelakuan Ayushita. Yang dikomentari hanya terkekeh senang.
"Melihat kamu tertawa segitunya sepertinya keadaanmu baik-baik saja. Sia-sia saja mengkhawatirkanmu," cibir Firda.
"Maksudmu?" Ayushita heran.
"Dokter Arjuna tuh khawatir sama kamu karena tidak mengangkat telepon sama sekali," ungkap Firda. Matanya memandang kembang-kembang kecil yang meliuk-liuk ditiup angin.
"Hmm ... khawatir ya!," jawab Ayushita dengan nada malas.
"Hei, Neng. Dokter Arjuna sudah cerita tentang kamu pergi ke puskesmas dua hari lalu. Dia bilang kamu salah paham tuh. Dia mau jelaskan tapi kamu tidak jawab teleponnya, Neng," ujar Firda.
"Terus, kenapa dia tidak datang jelaskan langsung?" ketus Ayushita lagi.
"Hari itu dia mau ke sini ketemu kamu tapi tiba-tiba saja ada telepon dari kota. Stok obat yang dia pesan sudah datang dan harus segera diambil sebelum habis. Lalu ada beberapa urusan penting lainnya. Jadi dia buru-buru berangkat. Katanya sih hari ini bakal balik," ungkap Firda. Dia harus bisa membuat sahabatnya ini tidak salah paham lagi. Firda paling tahu kalau masalah yang menyangkut perasaan Ayushita akan sulit menerima.
Ayushita termenung. Mungkin benar dia yang kekanakan tanpa mau memberi kesempatan pada Arjuna. Ada rasa bersalah bercokol di hatinya. Dia lalu meraih ponselnya. Mengetik beberapa kalimat di kolom pesan. Tapi kemudian dihapus lagi. Dia memutuskan menelepon Arjuna.
Terdengar bunyi nada tanda panggilan tersambung. Ayushita harus menunggu beberapa saat hingga telepon dijawab.
"Halo!" Suara perempuan terdengar di ujung sambungan telepon. Ayushita terkesiap.
"Benar ini nomor kontak Dokter Arjuna?" tanya Ayushita pada perempuan itu. Suaranya sangat familiar. Seperti ....
"Benar. Ini Bu Ayushita, kan? Ini saya Dian. Dokter Arjuna lagi ke toko belanja sesuatu dan ponselnya ditinggal," jawab perempuan bernama Dian itu. Lidah Ayushita terasa kelu. Dia sangat tahu Dian yang dimaksud.
"Halo? Ada pesan? Nanti saya sampaikan ke Dokter Juna," ujar Dian.
"Tidak. Tidak ada. Assalamu'alaikum," tutup Ayushita. Wajahnya berubah datar seketika. Firda terkejut melihat perubahan ekspresi sahabatnya.
Ada apa lagi?
Bersambung ...
๐๐๐
Jangan bully Dian donk ๐ฅ dan jangan bilang dia pelakor. Kan selagi janur kuning belum melengkung maka Dian masih punya hak untuk mengejar Dokter Arjuna kan?
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan batun kuasa dan Komen membangun.
See you next chapter ๐