Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 16 - BWW #16

Chapter 16 - BWW #16

Author mengucapkan banyak terima kasih atas dukungannya untuk semua karya-karya author. Tanpa pembaca apalah artinya seorang penulis.

Domo arigatou gozaimasu 🙏😘

***

Jika pandemi Coronavirus bisa mengguncang dunia, maka endemi virus cintamu hanya bisa mengguncang hatiku 😆

***

Seminggu berlalu sejak kebersamaan mereka pulang dari ibukota kabupaten. Sekali lagi hubungan Ayushita dan Arjuna kembali tidak menampakkan kemajuan berarti. Masing-masing sibuk dengan aktifitas masing-masing.

Arjuna kembali menenggelamkan diri dengan kesibukan mengurus pasien-pasien Puskesmas yang kian hari kian banyak. Apalagi seminggu ini dunia sedang diguncang dengan wabah salah satu virus berbahaya dari daratan Cina.

Entah apa penyebab awalnya tiba-tiba saja virus berbahaya ini langsung menjadi pandemi dan menyebar hampir di seluruh negara dalam waktu singkat.

Selain Cina yang menjadi kampung asal si Covid 19, istilah ilmiah untuk virus baru ini, semua negara langsung menerapkan sistim karantina kepada seluruh warganya. Semua warga harus tinggal dalam rumah, tidak diizinkan bepergian atau melakukan aktifitas di luar, dan tidak diizinkan mendekati kerumunan atau berkumpul-kumpul. Tujuannya adalah untuk memutus mata rantai penyebaran virus tersebut melalui kontak fisik langsung, atau kontak melalui hembusan udara, lendir dan bersin.

Imbasnya adalah semua sekolah-sekolah dan universitas diliburkan. Bukan libur seperti liburan semester biasa tetapi siswa tetap belajar di rumah dengan bekal tugas yang telah diberikan oleh guru mata pelajaran.

Sehari sebelum penetapan libur dilaksanakan, Ayushita ditugaskan oleh Kepala Sekolah untuk mendampingi Arjuna yang akan memberikan sosialisasi kepada seluruh siswa tentang bahaya virus Corona ini dan langkah apa saja yang akan mereka lakukan selama libur belajar di rumah.

Semua siswa berkumpul di halaman depan sekolah, menyimak dengan seksama penjelasan sang dokter idola mereka. Setelah memberikan penjelasan lengkap, Arjuna dan Dian melakukan tes suhu tubuh pada setiap siswa. Kemudian setiap siswa diberikan sepasang masker hidung oleh Ayushita.

Semua siswa tampak gembira. Mungkin mereka begitu senang karena mendapat libur yang cukup panjang. Mereka pun dipulangkan lebih awal dengan tas penuh tugas sekolah.

Setelah selesai mengemas semua perlengkapannya, Arjuna menghampiri Ayushita yang juga sibuk mengemas box tempat masker tadi. Sudah lebih seminggu mereka tidak saling sapa. Ada setitik kerinduan menusuk di rongga hati Arjuna.

"Ayu!" panggil Arjuna pelan.

"Hmm?" Ayushita menoleh.

"Gimana kabarmu?" tanya Arjuna menatap wajah Ayushita yang pura-pura sibuk membenahi meja di depannya.

"Baik," jawab Ayushita singkat. Dia berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan dokter itu. Dia masih merasa jengah dengan pertemuan mereka seminggu yang lalu. Semua itu karena ulah Firda. Dan Firda si pengacau itu juga tidak tampak batang hidungnya selama beberapa hari ini.

Klik. Tiba-tiba Arjuna mengarahkan termometer digital ke telinga kiri Ayushita yang tertutup kerudung. Mata Ayushita membola karena terkejut. Sedangkan Arjuna hanya tersenyum tampan.

"Apa yang kamu lakukan?" pekik Ayushita tertahan.

"Mengecek suhu tubuhmu. Normal," jawab Arjuna seraya memperlihatkan angka pada termometer. Ayushita hanya mendengus kesal membuat Arjuna semakin gemas.

"Apa saja rencanamu selama Harlicor?" tanya Arjuna.

"Harlicor?" Ayushita membeo.

"Hari libur Corona," Arjuna terkekeh. Ayushita terkesiap. Mengapa pria ini semakin hari semakin banyak bicara saja, dengus Ayushita.

"Tinggal di rumah. Bukankah tadi Pak Dokter menganjurkan supaya semuanya tinggal di rumah?" sarkas Ayushita.

"Saya cuma berpikir mungkin saja ..." Arjuna tidak melanjutkan ucapannya. Ayushita heran melihat tingkah laku pria itu seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi pria itu tidak mengatakan apapun. Hanya sebelah tangannya merogoh dalam saku lalu mengeluarkan sebuah masker.

Tanpa mengucap sepatah kata pun Arjuna memasangkan masker hidung tersebut ke wajah Ayushita. Ayushita hanya berdiri tertegun tidak siap menerima aksi impulsif Arjuna.

Dian yang berdiri tidak jauh dari keduanya pun ikut tertegun. Dalam hati Dian merasa iri melihat perlakuan romantis Arjuna pada Ayushita meskipun hal itu terlihat hanya sebuah tindakan sederhana..

'Gadis itu selalu beruntung mendapat perhatian Dokter Arjuna. Huhhh sok-sok tidak butuh, padahal aslinya keganjenan,' rutuk Dian dalam hati.

"Stay at home and keep healthy. Kalau kamu merasa tidak enak badan telepon aku segera. Jangan buat aku khawatir, oke?" ucap Arjuna dengan suara yang dalam.

'Ya Allah, bolehkah aku berdebar-debar dengan perhatian pria ini. Mengapa dia begitu mempesona dan bikin aku sesak napas. Apakah senyumnya juga membawa virus?' Ayushita masih terpaku menahan napas menatap wajah Arjuna. Ini kedua kalinya mereka saling tatap intens seperti ini.

Arjuna menyunggingkan senyum tampannya lagi kemudian berbalik meninggalkan Ayushita yang masih terpaku. Dian mengikuti langkah Arjuna seraya melempar pandangan tak suka pada Ayushita.

Setelah punggung pria itu menjauh, Ayushita langsung menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya yang sempat kosong selama beberapa detik.

'Pria itu benar-benar berbahaya. Aku harus menguatkan hati agar tidak tergoda. Aku tidak akan jatuh lagi oleh pesona kebaikan dan perhatian seorang pria. Aku bisa terluka lagi,'

Ayushita kembali menghela napas. Bayang-bayang patah hati belum mau beranjak dari benaknya. Dia belum berani membuka hati karena takut akan terluka. Cukup sekali dia memberikan hatinya pada seseorang namun jika harus berakhir dengan pengkhianatan maka dia takkan sanggup lagi.

***

Malam mulai beranjak larut. Bulan semakin meninggi menebarkan cahaya emasnya di hamparan langit malam nan pekat. Tak ada tanda-tanda bintang menemani si kuning bundar itu.

Seperti halnya Joe yang asik duduk sendiri memandang langit malam. Hanya bias cahaya bulan yang sedikit menerangi teras rumah tempatnya merenung saat ini.

Sesekali keningnya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Terkadang segaris senyum samar tergambar di sudut bibirnya. Entah apa yang sedang bergelayut di benaknya.

"Kok belum tidur, Nak," Suara Nenek Joe yang berdiri di ambang pintu memasuki alam lamunan Joe. Pemuda itu manarik napas perlahan dan membetulkan posisi duduknya.

"Belum ngantuk," jawab Joe sekenanya.

"Terus mikirin apa?" Nenek Joe mengelus surai pendek cucunya itu.

"Kangen sama Bapak dan Mak," jawab Joe samar.

Tangan Nenek Joe berhenti sesaat lalu kembali mengelus kepala cucunya. Ada gurat sendu menghias wajah keriputnya.

Selama Joe tumbuh dewasa, tak sekali pun pemuda itu menyebut nama bapak dan ibunya.

"Nenek ... juga kangen, Nak. Seandainya Bapak dan Mak-mu masih ada mungkin ... kamu tidak akan semenderita ini, Joe." Suara nenek tercekat menahan rasa pedih yang mengentak di dadanya.

Joe memejamkan matanya, meresapi sentuhan lembut penuh kasih dari tangan renta neneknya. Ada rasa sesal menelusup dalam sanubarinya atas semua perbuatannya yang menyakiti hati neneknya dan orang-orang disekitarnya. Kelakuannya yang selalu membuat onar dan menyakiti orang lain telah membuat neneknya kecewa. Untung saja kakek dan neneknya masih mau memaafkannya.

Dan gadis kota itu telah menyadarkan kekeliruannya. Guru berhati bidadari itu telah menariknya dari lembah hitam yang selama ini dia jalani.

Mengingat Ayushita, bibir Joe tersenyum. Yeah, guru bidadari itu adalah pahlawannya. Sebagaimana dulu sewaktu kecil dalam imajinasinya dia mengidolakan Superman sebagai seorang pahlawan yang mampu menyelamatkan dunia.

Kini, dia mempunyai seorang pahlawan yang bukan hanya dalam imajinasi namun dalam kehidupan nyata, yang menyegarkan pagi harinya, menenangkan malam-malamnya hanya dengan mengingat namanya.

"Nek, menurut Nenek ibu Ayushita itu orangnya seperti apa?" tanya Joe tiba-tiba. Nenek Joe mengernyit heran mendengar pertanyaan cucunya. Namun kemudian dia tersenyum.

"Ibu guru itu baik banget Joe. Dia sopan, ramah dan baik hati. Tadi siang dia datang antar sembako, sabun cuci tangan dan apa tuh yang pake tutup hidung katanya ..." Nenek Joe memperagakan tangannya menutup hidungnya dengan tangannya.

"Masker?" sambung Joe.

"Iya. Masker hehehee ..." Nenek terkekeh. "Saban ketemu Nenek ibu guru pasti tanyain keadaan Kakek dan kamu. Orangnya perhatian ya!"

Joe kembali tersenyum mendengar penuturan neneknya. Dan wajah Ayushita serta senyum manisnya menari-nari dalam pikirannya.."Kamu suka ya sama ibu guru?" celutuk Nenek Joe. Pemuda itu terkejut dan salah tingkah.

"Ah, Nenek ngomong apa sih? Aku sama ibu Sita itu ibarat pungguk merindukan bulan. Mana mungkin dia suka sama pemuda kampung, miskin, dan mantan preman kaya aku ini." cetus Joe sinis. Nenek Joe tersenyum mendengar jawaban cucunya.

"Iya, Nak. Kita ini orang kampung yang miskin. Kita tidak sebanding dengan ibu guru. Kita harus tahu diri, Nak. Ibu guru itu baik hati kita harus menghargai dan menghormatinya. Jangan membuat ibu guru kecewa, Nak."

Joe terdiam mendengar ucapan neneknya. Matanya sayu menatap kejauhan. Seakan-akan ada cahaya asa yang susah digapai olehnya. Benar. Ayushita adalah asa yang susah digapai itu. Dia adalah seekor pungguk dan Ayushita adalah rembulan yang bercahaya di langit yang hanya bisa ditatapnya dengan penuh damba.

Siapalah dirinya itu. Dibandingkan dengan Dokter Arjuna yang tampan dan mapan. Dia hanyalah seperti butiran debu di sepatu sang dokter. Saat dia melihat tatapan penuh perhatian dokter itu pada Ayushita, maka dengan segala kesadarannya dia mengingatkan dirinya bahwa dia tidak ada apa-apanya untuk bersaing dengan Dokter Arjuna. Dia sudah kalah sebelum berperang.

Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah berdiri di samping Ayushita sebagai temannya yang akan selalu melindunginya dan membantunya. Biarlah kuncup perasaan yang baru tumbuh ini dia kubur kembali.

Bersambung ...

💝💝💝

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan Vote, Like dan Komen yang membangun ya 😘