Mimi bahkan tak bisa mengingat kejadian beberapa menit lalu ketika tubuhnya di dorong-dorong Sofia melintasi pintu rumah.
Tunggu! ini bukan rumah biasa. Tempat ini berada di sebuah gedung yang menjulang tinggi, dimana lantai pertama yang di pijaki gadis tersebut bersinar seolah ada serbuk berlian perak yang ditabur di seputar lantainya. Sangat amat mewah, di mana-mana cemerlang.
Wajah-wajah para petugas berseragam yang sibuk menyajikan muka ramah luar biasa. Tentu saja kecuali pria itu, CEO Best.TV. Jangan harapkan dia tersenyum. Mata abu-abunya seolah siap menerkam dirinya dan kadang kala memberi sorotan cibiran yang sedikit menjengkelkan ketika Mimi terbengong sekian detik karena menatap lukisan atau lift yang menawarkan lekukan ukiran di beberapa bagian.
Mimi masih belum bisa mengumpulkan kesadarannya, karena dia pikir sebenarnya dia sudah tertidur di dalam kamar indekosnya dan detik ini dirinya tengah bermimpi mendatangi sebuah tempat di nirwana. Di mana dia bakal dipertemukan dewa dewi cantik yang tinggal di hunian-hunian mewah.
Sampai dengan kalimat yang dihantarkan dengan nada kesal menyadarkan gadis tersebut, bahwa ini adalah alam nyata bukan mimpi semata, "Jangan sampai wajahmu tampak di hadapanku! Pergi ke kamar itu dan jangan pernah keluar semalaman!" pria itu menggertak dengan suara serak yang menakutkan, hingga Mimi buru-buru berlari lalu menutup pintu kamar dimana telunjuk yang mengarah pada pintu tersebut bahkan belum diturunkan pemiliknya.
Gadis dengan gaun tali spaghetti yang dilapisi jaket berdiri di balik pintu, bibirnya bawahnya hampir terlepas dari rahang ketika melihat pemandangan di depannya. Kamar ini terlalu mewah, dua kali lebih luas dari pada indekosnya. Lampu gantung menjulur dari atas langit-langit. Televisi menempel di dinding, dan paling spesial ketika dia membuka kelambu yang membentang. Panorama di luar jendela kaca yang membentang kembali menjadikannya menangkap mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangan.
_Wow!_ gumamnya selepas membuka perlahan-lahan dan mendapati cahaya bergerak seperti siluet di bawah sana. Ini pemandangan yang sama, yang dia dapatkan ketika mendaki bukit dengan peluh keringat membanjiri keningnya. Lampu yang berkedip-kedip serta kerlap-kerlip kota metropolitan layaknya berlian berhamburan tumpah ruah sepanjang mata dengan bulu lentiknya memandang.
Puas memanjakan matanya, Mimi membalik tubuh dan kembali menatap bingung. Perlukah dia pergi ke kamar mandi untuk memastikan tubuhnya bersih sebelum menginjak ranjang nyaman itu? Sekilas dia ingat cara CEO Best.tv menatapnya. Tentu saja dia harus membersihkan diri, atau kalau tidak, sudah dapat dibayangkan pria itu akan menendangnya dari ranjang tersebut.
Pria yang hanya diizinkan melirik sekilas ketika melintasi lobi oleh seniornya, sekarang dirinya tidur di hunian mewah tempat makhluk itu tinggal.
_Ini sangat gila!_ gadis tersebut menggosok gigi buru-buru selepas memasuki kamar mandi. Menatap dirinya yang benar-benar berbeda —sekian detik, sebelum akhirnya menyadari bahwa dia perlu membuka jaket di tubuhnya.
"Jaket siapa ini?" dia hanya ingat satu nama, Anton —yang sudah dikenal sebelumnya.
_Siapa yang duduk di sebelahku tadi? Sultan? Daniel? Arga?_ gadis ini menggeleng di depan cermin yang membentang. Membuang busa di mulutnya cepat-cepat. Kemudian melepas jaket denim di tubuhnya. Mengamati dirinya sendiri —terbengong beberapa detik, memutar dua putaran dan bergeming sesaat.
Gaun dengan pengait dua utas tali pada kanan dan kiri di dukung dengan penyangga yang pengaitnya tak berwarna —alias bening, menjadikan nampak sempurna sebagai gadis muda.
"Apa kamu menyukai ini?" gadis ini bertanya pada dirinya sendiri. Sesaat berikutnya betapa sesaknya rasa dadanya. Ada rasa nyeri yang lama tak tergugah. Spontan wajahnya berubah cemberut, dan pada akhirnya dia memilih mencuci wajah yang terpoles sempurna dengan make up hingga berulang-ulang. Bunyi rintik air dari wastafel telah memenuhi walking closet, membuatnya tak menyadari seseorang mengetuk pintu kamarnya.
"Apa kamu di dalam?!" Pria yang baru saja melepas jasnya dan menyisakan kemeja yang terbuka satu kancing, berjalan memasuki ruangan. Telapak tangannya menggenggam piyama tidur berbahan sutra pada sisi kirinya. Melihat sekeliling dan mendapati ruangan utama kamar tamu kosong, dia mengetuk pintu sebelah beberapa kali. Namun sekali lagi tak ada sambutan.
Bram membuka sedikit dan mendapati bunyi kran wastafel menyala pada debit tertinggi. Ketika dia mendorong handel pintu berbentuk bulat tersebut lebih lebar, gadis di dalamnya mendongak dengan busa menutupi wajah.
"Konyol!" Bram mendesis, melempar piyama dan lekas ditangkap Mimi. Ada bibir menekuk selepas menerima gaun tidur tersebut, "Pakai itu dan jangan sampai ranjang ku basah!" pria dengan mata abu-abu tersebut menutup pintu dengan gerakan menghentak, membuat gadis di dalamnya terjingkat.
Mimi menghela nafas kemudian membersihkan busa di wajahnya. Lalu meraih handuk untuk mengeringkan bekas seluruh tetesan air di tubuhnya dengan hati-hati, takut kalau-kalau satu tetesan saja masih tertinggal.
Giliran dia bercermin untuk kesekian kali, guratan pada raut muka tersebut mengeras. Bulu matanya masih lentik hasil treatment beberapa jam lalu dan dia amat sangat membenci keadaan ini.
Meninggalkan cermin. Gadis ini mengupayakan secepat kilat menutup matanya. Berguling kesana kemari. Merasa tempat ini terlalu asing untuk dunianya, jadi dia butuh waktu lama untuk sekedar menutup mata.
***
"Anda sudah makan?" Bram menghempaskan tangannya mendengar kalimat tersebut. Seorang laki-laki dengan seragam pelayan yang bertugas menyiapkan segala sesuatu untuk para penghuni tiap-tiap lantai pada gedung bertingkat ini menundukkan punggungnya. Merapikan meja di seputar pria yang terduduk dengan buku di tangannya.
Pelayan itu, dan sebagian orang yang mengenal kehidupan pribadi Bram akan tahu kebiasaan aneh pria tersebut. Membaca buku yang sama berulang-ulang sampai bentuknya tak layak lagi. Padahal pada rak bukunya dia telah memiliki buku dengan judul yang sama, Cerita Nusantara: Legenda Cindelaras.
Akan tetapi Bramantyo tetap memilih buku usang tersebut. Sekali dia membaca kisah yang diceritakan secara turun temurun dan menjadi dongeng pengantar tidur sejak ratusan tahun lalu, itu pertanda pria dengan mata abu-abunya yang tajam tengah mengalami insomnia.
Buku ini menemani perjalanannya dan begitu membekas di hatinya. Terutama legenda Cindelaras yang dibacakan sebulan penuh oleh ibunya. Perempuan asli pribumi yang menitipkan buku dongeng ini pada putranya dan menanamkannya di benaknya, sebelum laki-laki kecil berumur tujuh tahun tersebut ditinggalkan di depan pintu gerbang keluarga Dicther. Dan setelah itu Bramantyo tak pernah melihat lagi ibunya. kemana dia pergi? Itu pertanyaan yang selalu menghantuinya. Yang membuat Bram dewasa menyewa banyak orang untuk mencari tahu keberadaan sang ibu.
Al kisah pada zaman dahulu, di sebuah kerajaan Jenggala. Hiduplah seorang raja yang bernama raden Putra. Ia mempunyai seorang permaisuri yang sangat baik hati, dan seorang selir yang cantik. Namun, kecantikan selir tidak sama seperti hatinya. Selir mempunyai sifat yang iri dengki pada permaisuri.
Kedua istri raja tinggal di istana yang sangat megah. Selir mulai merencanakan kejahatan untuk menggantikan posisi permaisuri, dan ia bekerja sama dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencananya.
Suatu hari, sang selir pura-pura sakit sehingga raja segera memanggil tabib. Setelah memeriksa keadaan selir tersebut, raja pun menanyakan apa yang terjadi.
"Paduka, ada seseorang yang sudah menaruh racun pada minuman selir.'' jawab tabib. Nyatanya apa yang dikatakan tabib tersebut hanya tipuan semata sebab ia bekerja sama untuk menyingkirkan permaisuri.
Raja sangat marah mendengar permaisuri lah yang memberi racun dan menginginkan kematian selir. Lantas ia memerintahkan patih untuk mengusir permaisuri dan membunuhnya di hutan.
Patih pun membawa permaisuri pergi ke hutan belantara. Namun, ia tidak membunuh permaisuri yang ternyata sedang mengandung. Lalu patih pun menangkap seekor kelinci untuk mengelabuhi sang raja.
Setelah beberapa bulan permaisuri tinggal di dalam hutan, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Cindelaras. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia … …
"Bruk," buku kusam itu jatuh ke lantai dari tangan seorang pria —sang pembaca tertidur. Tubuhnya disangga oleh kursi yang biasa dia gunakan untuk menemani malam-malamnya menghabiskan buku bacaan.
Dan buku kusam tersebut terlepas dari ujung tangannya yang menggantung di udara -mengarah pada lantai- dalam posisi terbuka lebar.
***
[Mimi, karena kamu sudah tidur gratis malam ini, besok harus bangun pagi!] pesan ini menggugah lamunan gadis yang masih terjaga di atas ranjang empuk dan nyaman.
[Iya bu Sofia]
[Masak makanan yang paling enak. Jangan bilang kamu tak bisa masak!] Sofia mengirim pesan dengan senyum mengembang di wajahnya. Sepertinya ada sesuatu yang dia pikirkan. Sesuatu yang mampu menggelitik hatinya.
[Baik, saya usahakan] dan si gadis sepertinya termakan oleh pesan yang lebih mirip ancaman tersebut.
[Benar kamu bisa masak?] Sofia memastikan sekali lagi.
[Bisa kok bu, saya bisa masak] mata yang belum terbuai kantuk tersebut, mengerjap beberapa kali.
[Apa kamu bisa membuat soto?]
[Soto?] Gadis ini tertangkap menautkan alisnya [Asal ada bahannya, saya bisa]
[Ok! Malam ini juga akan kuminta seseorang mengirimkan bahan-bahannya] senyum di wajah Sofia semakin lebar, binar di matanya pun semakin terang.
[Bisa seperti itu?] Mimi menelengkan kepalanya. Mencoba mengamati jam di dinding.
[Apa yang tidak bisa??] Pesan balasan yang dikirimkan Sofia membuat gadis muda ini menghela nafasnya.
"Begitu orang kaya bekerja," gumamnya sebelum menutup mata.
***
Pagi itu, bahkan bisa dikatakan terlalu pagi, Mimi bangun pukul empat. Seperti kebiasaannya di indekos yang mengharuskan dirinya membuka mata paling awal sebelum keduluan yang lain untuk mengantri kamar mandi, dan gadis inferior ini cenderung tidak bisa menolak permintaan penghuni kost lainnya ketika dia harus mengalah menggunakan fasilitas bersama yang disediakan untuk semua penghuni tersebut.
Jadi, satu-satunya pilihan adalah bangun paling awal dan mengambil antrian pertama untuk dirinya atau dia akan terlambat bekerja.
Selepas gadis ini memasuki kamar mandi utama, dia baru sadar dirinya berada di mana. Di dalam ruangan tersebut ada sebuah bathtub besar, dan tanpa sadar gadis itu merendam dirinya di sana berlama-lama. Sampai air hangat yang merendam tubuh mampu mengerutkan kulit di permukaan jari-jarinya, menjadi dingin.
Karena tidak ada baju ganti, Mimi masih menggunakan piyama yang sama. Mengendap-endap keluar dari kamar menuju pantry yang bentuknya belum pernah dia lihat sebelumnya.
Berawal dari kata "Woow!" gadis ini membuka kulkas dua pintu yang hampir sama dengan tinggi badannya, lalu mengamati semua bahan makanan yang tersaji di dalam. "Wah! Aku bisa masak untuk satu RT," gumam Mimi, mengeluarkan bahan rempah-rempah yang akan digunakan untuk menciptakan kuah soto.
Ketika gadis ini mulai memotong daging ayam pada talenan, dia ingat sesuatu, "Beras, nasi," komat-kamit sendiri. Jari telunjuknya terangkat mengetuk-ngetuk bibirnya, mencoba menerka di mana letak butiran putih itu berada. Satu per satu laci di bawah meja dia buka.
"Klontang!!"
"Ah' aduuh.. mati aku!"