Mimi meninggalkan lantai lokasi pengambilan gambar program-program Best.TV. Sebuah tempat yang dia tuju untuk pertama kalinya adalah kamar mandi.
Gadis tersebut telah sampai di toilet perempuan dan lekas memasuki salah satu biliknya. Dengan gerakan gesit Mimi menyusup, duduk di atas kloset yang tertutup dengan ekspresi was-was. Bagaimana tidak? Di depan wastafel yang membentang, ada seniornya.
Sarah, si tukang bully ulung yang hobi mendelegasikan tugasnya pada Mimi. Delegasi sekedar bahasa keren yang dia gunakan, kenyataannya senior tersebut memanfaatkan gadis lugu itu. Begitu juga yang lain, hanya karena statusnya adalah karyawan magang.
"Apakah kamu tahu? Siapa tadi?" Suara Sarah terdengar dari dalam bilik, tempat Mimi berada.
"Kamu bawa bahan gibah baru?" Mimi pernah mendengar suara ini. Dia salah satu gang gosip Sarah. Sudah jadi semacam sekte dengan ritual duduk bersama pada meja kafetaria stasiun televisi swasta Best.TV, dimana para karyawan perempuannya menghabiskan hampir seluruh jam istirahat untuk bergosip ria sembari mencoba produk kecantikan yang baru mereka beli.
"Kamu? Masa kamu tidak lihat? CEO Bram datang bersama perempuan. Soft pink dan navy, perpaduan outfit yang menarik. Aku bakal mencobanya," suara Sarah menjadikan Mimi mengamati pakaian yang melekat di tubuh mungilnya. Gadis dibalik bilik toilet tersebut buru-buru melepas blazer yang membungkus tubuhnya. Sayangnya, mustahil untuk melepas rok pendek dan hand soft pink yang mereka bahas.
"Apakah perempuan yang kamu ceritakan, salah satu wanita beruntung yang menjadi kekasih CEO Bram?"
"Entahlah, kita perlu mencari tahu," dua perempuan tersebut terus bicara, walaupun langkah kaki mereka terdengar perlahan-lahan meninggalkan cermin yang membentang diatas wastafel.
Mimi baru keluar selepas dia merasa dirinya aman. Gadis itu berdiri di hadapan cermin, mencuci wajahnya dengan sesekali melirik awas pada pintu toilet. Selepas itu tangannya bergerak meluruskan rambut yang bergelombang, walaupun berakhir sia-sia.
Menatap dirinya yang ternyata sudah banyak berubah hanya dalam waktu semalam, Mimi usaha keras melepas kontak lensa yang terpasang di matanya. Mata gadis itu sampai merah, sebab dia tidak memiliki pengalaman memasang maupun melepas kontak lensa.
Bingung harus berbuat apa supaya dirinya terlihat mirip seperti hari-hari biasa—saat datang dan pergi dari perkantoran Best.TV—Mimi memutuskan berpura-pura sakit dan mohon izin untuk pulang ke indekosnya.
.
.
Di ruang bersuhu enam belas derajat celcius, telinga seseorang hanya bisa mendengarkan jarum detik jam dinding yang bergerak maju. Keheningan yang menyesakkan. Membuat nyaman seseorang, sekaligus menghantarkan rasa pusing pada tamu yang detik ini duduk pada salah satu sofa di tengah-tengah ruangan.
Sarah Juwita. Model papan atas yang mencoba banting setir menjadi host di acara gosip pagi tengah duduk cantik, selepas usai syuting live program TV yang kabarnya memiliki rating paling konsisten tersebut. Model yang diam-diam menatap lekat pria yang sedang memeriksa dokumen laporan keuangan dengan postur tegak seperti patung.
Menggigit bibirnya yang dipenuhi lipstik merah, gadis itu mengepalkan jemarinya menjadi satu kumpulan penuh. Dia sedang mendorong keberaniannya. Model cantik dengan nama Sarah Juwita memutuskan akan melakukan tindakan tergila."CEO,"
"Ya,"
"Saya suka—"
Alis pria di atas mata abu-abu mengernyit. Bolpoin yang bersandar di jemarinya berhenti bergerak. Sesaat kemudian, penutup pulpen terlempar ke udara. Dan ujung alat tulis itu menancap pada salah satu berkas, "Apa kamu kekurangan jadwal?"
Keringat dingin mulai membasahi dahi Sarah Juwita. Ini adalah tahun kedua, dan dia selalu gagal mengungkapkan isi hatinya. Membanting setir menjadi salah satu pengisi acara gosip pagi, bukanlah sesuatu istimewa dibandingkan berjalan di atas catwalk, "Saya, em' aku mencintaimu,"
Mendengarkan pengakuan penuh keberanian, netra abu-abu milik Bram langsung menatap mata model cantik yang duduk di sofa. Mungkin karena sifatnya yang dingin atau memang gosip tentang dia yang tidak menyukai gadis-gadis cantik, wajahnya terkesan datar tidak berubah. Ekspresinya menunjukkan tidak peduli seberapa banyak perempuan di hadapannya. Dan gerakan bulu mata lentiknya, mengharap bisa mencuri perhatian, "Sarah?!"
"Iya, Bram?" ada senyum tipis yang ditunjukkan gadis ini.
"Tulis pengunduran dirimu dan keluarlah!"
"Ap—apa??" mata yang berkedip-kedip berubah menjadi kedipan yang tak beraturan. Senyum yang awalnya melebar kini tinggal muka masam. "Apa maksudmu?!!"
Seolah tidak mendengar pekikan dan seolah-olah sudah terbiasa mendapat pernyataan cinta semacam ini, Bram bangkit dari tempat duduknya. Melintasi keberadaan Sarah Juwita, pria itu membuka pintu ruangannya lebar-lebar. Menggerakkan dagu, tanda mengusir.
"Kau harus ingat siapa papaku!" suara Sarah melengking, dia tak peduli apabila kini dirinya menjadi pusat perhatian.
'Ya! Mana mungkin aku lupa! Lelaki yang merebut kekasihku!' kalimat ini tidak ucap. Bram konsisten menunjukkan arah keluar dari ruangannya.
Mendesah rendah sembari membuat pukulan kasar pada lengan sofa yang dia duduki, Sarah bangkit mendekati keberadaan Bram, lalu berhenti tepat di depan lelaki bermata abu-abu tersebut.
Model yang memiliki tinggi sama dengan CEO itu—hanya beda sekian inci—melangkah satu langkah dan hampir menempelkan tubuhnya pada pria di hadapannya, "Lihat saja! Aku bakal mendapatkanmu, putra bungsu Dichter,"
Dahi CEO tampan itu menyajikan tiga buah garis lurus diantara alisnya, suaranya konsisten berat dan datar ketika dia sekali lagi berbicara mengusir Sarah, "Sudah cukup bicaranya?"
***
Dari kamar pribadi sebuah indekos sederhana, seorang gadis lugu melepas satu persatu baju mahal yang membalut tubuhnya. Merebahkan punggung di atas busa yang terlapisi sprei bunga-bunga warna pink, Mimi berhasil menemukan dirinya yang asli.
Saat matanya kembali terbuka dan melihat jam dinding, gadis tersebut sadar bahwa baru tertidur sekitar tiga puluh menit. Meyakini apa yang dialaminya dua puluh jam empat terakhir sekedar mimpi, Mimi menghembuskan nafas dengan gembira.
Sayang sekali, matanya pun harus mendapati sebuah tas dan beberapa baju yang dia pakai tiga puluh menit lalu. Tak jadi bahagia. Terlebih dia terbangun gara-gara telepon yang berdering meraung-raung di dalam tas tersebut.
[Mimi, apa kamu benar-benar sakit?] nomor yang tertera pada handphonenya ialah milik seseorang yang harus dia hindari. Ingin rasanya Mimi membanting benda pipih berwarna silver tersebut. Perempuan yang mengaku memiliki dua kepribadian, sedang meneleponnya [Aku akan datang ke kos mu, kos mu benar-benar yang kemarin bukan?. Aku perlu latihan berjalan menggunakan sepatu hak tinggi]
'Huhh' apalagi ini?' gerutunya dalam hati, [Maaf, sepertinya anda salah membuat sambungan telepon] dan buru-buru memutus panggilan telepon tersebut. Mimi bahkan mematikan handphonenya dan melempar benda layar sentuh tersebut diatas kolong tempat tidur. Gadis itu kembali meringkuk di ranjang nyamannya. Dia menarik selimut menutupi tubuhnya, sembari memeluk guling Hello kitty kesayangannya.
Gadis bernama Arumi Andriani menyelesaikan kebisingan, sebelum kehadiran orang lain yang hadir tanpa diundang. Pukulan-pukulan di pintu indekosnya bahkan berhasil mengganggu penghuni kamar sebelah.
Mimi menguap, membawa gelas berisi air putih penuh di tangannya, berniat meneguk isi benda itu.
Kenyataannya, teriakan tetangga sebelah tak bisa membuatnya mengabaikan tamu tak diundang, 'Siapa yang datang?' gerutunya, sembari menuju pintu kamar indekosnya.
Gadis yang mengenakan celana pendek dan kaos seadanya—lebih tepatnya sebuah jersey Milan, klub kesayangan ayah. Baju merah hitam tersebut ialah bekas ayahnya, selepas lelaki berkumis itu menyerah. Putus asa cinta pada klub bola yang belum juga mengangkat trofi selepas bertahun-tahun lamanya—itu memutar handle pintu, dan mendapati dua tamu tak di undang beradu mulut di depan kamarnya.
"Aku tidak pernah bermimpi harus bekerjasama dengan gadis sekacau itu," suara berat seorang pria yang masih belum menyadari keberadaan si gadis yang di maksud.
"Tidak ada pilihan," jawab sang perempuan, "Kamu masih mau berdebat atau menyelesaikan masalah??"