"Saya tidak yakin," ini kalimat kekhawatiran yang di ucapkan sang gadis.
"Abaikan musiknya dengarkan instruksi dan ketukanku," lelaki tersebut merundukkan kepalanya berbisik hangat di telinga anak ayam yang berubah jadi angsa.
Dia sengaja, semua gerakannya sangat di sengaja. Lelaki ini memiliki misi yang hanya diketahui dirinya sendiri. Menatap ramah sang perempuan muda yang memiliki sorot mata murni dan bibir setengah terbuka, lambang kepolosannya yang tak dapat di sangkal oleh lelaki yang detik ini berhitung dan bergerak bersama-sama.
Itulah mengapa gadis ini yang di pilih, "Satu, dua, Tiga, ulangi," sang lelaki memandu dengan sabar. Suaranya terdengar hangat alih-alih dingin dan mengintimidasi.
"Satu, dua, defend, baik kamu hebat," dia yang bicara menguarkan bau harum yang khas. Kuat namun tak menyengat. Bau coklat bercampur mint, adalah gambaran bau parfum lelaki ini.
Mimi lebih banyak mengarah pandangannya pada kaki sambil berusaha mengurangi ketegangan di dirinya. Untung saja wangi lelaki yang detik ini mengenakan setelan formal, dengan desain pakaian yang kaku, namun tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang solid dan seksi serta tungkainya yang panjang, Bagai black panter hitam yang berkilauan di atas marmer yang memantulkan cahaya lampu mampu menenangkannya.
Walaupun tak ada yang memungkiri bahwa seluruh tubuh lelaki yang warna rambutnya hingga bulu mata sampai alisnya hitam pekat tersebut telah mendorong sebuah atmosfer liar nan sensual.
Macan kumbang hitam itu tampak tengah mengelilingi mangsa berupa jelmaan angsa putih yang rapuh sekaligus ketakutan. Pemandangan yang mencolok sekali. Mengakibatkan beberapa pasangan dansa menyingkir guna memberi ruang lebih luas pada pewaris dalam urutan kedua penyelenggara pesta malam ini.
Bram tersenyum samar bukan karena mimi berhasil memahami ritme dansa Waltz dengan benar, melainkan tujuannya sudah tercapai. Dia menutup aibnya dengan amat sangat sempurna malam ini. bersama si pemilik bulu mata lentik yang sesekali mendongakkan pandangan memastikan gerakannya tepat.
"aku rasa perempuan yang di bawa Bram baru pertama kali berdansa, sangat kentara. Tidak profesional!" ada nada hinaan yang menguar dari seorang perempuan, perempuan ini pernah ditolak Bram satu tahun sebelumnya. Sebelum salah satu perempuan dari empat perempuan yang sedang duduk pada sofa merah maroon bercecah.
Para perempuan ini adalah kumpulan model, di mana salah satu dari mereka merangkap sebagai membawa acara gosip.
Tentu saja perempuan yang saat ini duduk seanggun mungkin dengan memamerkan kaki jenjang dan pinggulnya yang ramping serta belahan dada rendah yang di dukung dengan ukuran di atas rata-rata ialah Sarah Juwita. Si pencuri perhatian.
"dia boleh berdansa dengan gadis itu sekarang, hehe," meneguk zat cair pada wadah gelas bening yang tergenggam cantik di antara jemarinya, sarah melanjutkan ucapannya, "tapi lihat saja nanti malam, Bram akan takluk ke dalam pelukanku," sekali lagi dia meneguk sisa minumannya sampai gelas itu kosong.
Bangkit dari duduknya sarah berjalan dengan kemampuan modelingnya yang berhasil memalingkan fokus sebagian besar kaum adam untuk terang-terangan menatap atau minimal melirik.
Masih berjalan dan tidak memedulikan hal lain sarah memasuki altar dansa. Lama kelamaan dia kian dekat dengan lelaki dan perempuan yang sedang mempertontonkan kemesraan.
Dan benar kata teman seprofesinya, gadis itu sangat tidak profesional. Sarah baru saja mendapati dengan mata kepalanya sendiri bahwa Bram terinjak kaki pasangannya. Sialnya lelaki itu mempertontonkan senyum mahalnya pada perempuan yang dia bawa kemudian terang-terangan memeluk sebagai bukti bawa dia mengampuni tindakan gadis yang berasa dari entah berantah itu.
Sangat bertolak belakang dengan cara Bram yang dingin kepadanya bahkan mengusirnya secara tidak terhormat saat ia menyatakan cinta. Kurang empat langkah dan rasanya Sarah sudah siap mengonfrontasi pasangan di hadapannya.
"sayang, kamu di sini," seseorang menghalangi langkah Sarah Juwita.
"sial!" dia mengumpat, bibirnya yang ter olesi lipstik mahal tak seirama dengan ungkapan yang keluar dari bibirnya.
"papimu mencarimu, sayang," suara yang mengalun lembut.
Mata Sarah memicing mengintimidasi perempuan berbaju putih di hadapannya, giginya mengerat dan matanya di penuhi kemarahan. Terlebih ketika tangan perempuan itu menyentuh lengannya. Menarik ringan Sarah untuk keluar dari altar.
Mendengarkan kegaduhan yang tak jauh dari keberadaannya. Bram melepas depannya terhadap Mimi. Dia mencari sumber suara.
"lepaskan aku!" pekik Sarah.
Seorang perempuan berusia di atas empat puluh tahun atau lebih tepatnya 45 tahun dengan tinggi yang proporsional dan tubuh yang masih terlihat indah mendekap lengan perempuan yang sempat membuat pemberontak, Sarah ingin terlepas.
'Yang berteriak barusan?, Sarah?', Bram mengenalinya dengan baik sebab beberapa kali dia menoleh ke belakang menatap keberadaan Bram.
Namun perempuan satunya, Bram perlu menunggu beberapa saat sampai lelaki yang sumuran dengan perempuan berbaju putih– datang dan mengalungkan telapak tangannya di bahu perempuan tersebut– sang lelaki memberi dekapan. Menggeser sedikit arah wajah perempuan yang membuat Bram penasaran.
Bram akhirnya sadar lelaki yang baru datang tersebut adalah ayah dari Sarah Juwita secara otomatis itu artinya?
Bram menyangkal kenyataan ini. Dia tidak mau menerima keadaan yang berusaha ia terima satu tahu terakhir.
Nafas Bram tertahan sesaat sampai perempuan berbaju putih di ujung sana membuat gerakan menyingkirkan rambut panjangnya yang di ikat naik ke atas dan kemudian menoleh beberapa kali tatkala bercakap-cakap serius guna menurunkan kemarahan Sarah.
'dia datang juga,' gumam Bram lirih.
Melepas penuh tubuh Mimi, lelaki tiba-tiba saja berjalan menjauh. Beberapa langkah lagi Bram akan menghilang dari kerumunan, menyisakan mimi yang terbengong, bingung.
Menyadari gadis yang di bawa adalah makhluk yang baru saja mengenal dunia sosialita dan pesta semalam suntuk yang sering kali di bumbui drama.
Bram dengan terpaksa membalik tubuhnya, sekali lagi keterpaksaan lain yang harus ia lakukan adalah kembali ke tengah- tengah altar untuk meraup gadis linglung di bawah lampu utama ballroom.
Bram kembali mendatangi Mimi, menarik dan mendekap telapak tangan gadis tersebut, sejalan kemudian pria itu mengambil langkah bersama caranya membawa gadis muda tersebut menyingkirkan dari tatapan orang-orang.
Sialnya secara tidak sengaja perempuan berpakaian sama putihnya, bahkan memilik dasar desain yang hampir sama, antara perempuan di ujung sana dengan gaun pilihan Bram untuk, tengah menatap ke arah Bram. Mengakibatkan keduanya bertemu mata. Kaku, kikuk, mendorong desisan kesal dari bibir lelaki bermata abu-abu.
"duduk di sini! dan jangan ke mana-mana!" Bram memerintah, auranya gelap dan matanya menyorot tajam.
"apa saya berbuat salah?" ungkapan ini mimi lontarkan takut-takut. Macan hitam di hadapannya seolah sedang pada mode siap menerkam siapa saja yang berani mengusiknya.
"tidak," dia menggelengkan kepalanya, akan tetapi nadanya tak bisa di tutupi lagi, pria ini tengah kesal luar biasa. Entah ada masalah apa.
"saya minta maaf," mimi membaca ekspresi lawan bicaranya. Dia mengabaikan kata-kata yang keluar dari bibir Bram.
"apa kamu tuli? Aku bilang tidak!" dia menggertak. Spontanitas yang menakutkan. mimi tersekat beberapa saat, "ah' aku minta maaf. Sebaiknya aku pergi." Ini suara Bram berikutnya. Pria itu mengayunkan tangan kanannya. Menciptakan kibasan yang memberi tahu bawa mimi tak perlu memikirkan kemarahan konyol yang dia ciptakan, "nikmati pestanya, ambil makan kalau kamu lapar, dan berhati-hati dengan minuman berbau menyengat," selepas itu Bram benar-benar pergi meninggalkan Mimi sendirian di duduk pada sofa di tengah-tengah hingar bingar pesta asing termasuk sorot mata yang menatapnya diam-diam namun mendalam, penuh telisik.
"Hai kau! Kau tahu di mana Bram?!" suara perempuan ini kasar sekaligus mengusung bahasa tubuh siap adu kekuatan. Ia mengamati mimi dari ujung rambut sampai kaki. Lalu tersenyum miring penuh penghinaan.
Mimi menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Hah! Ha-ha," dia tertawa sinis. mimi merasa pernah melihatnya.
"oh' anda Sarah Juwita, -bukan?" dia berseliweran di acara pagi.
Sayangnya lagi-lagi perempuan muda itu memasang wajah tidak menyenangkan, "Bram ke arah sana," mimi mengangkat tangannya dan mengarahkan telunjuknya pada sudut Bram melangkah pergi kemudian menghilang.
"terima kasih, stupid," mimi mengerutkan keningnya dan gadis cupu tersebut berharap ingin menutup telinganya, tepat ketika perempuan bernama Sarah Juwita pergi menuju arah hilangnya Bram.
Mimi tak kuasa untuk tak menebah dada sambil berucap lirih: 'ada saja jenis manusia macam begitu' embusan lirih itu mendapatkan senyuman perempuan dengan mata besar dan bibir mengembang cantik.
"Oh' dia? Anda?" perempuan di hadapan Mimi adalah bintang film ternama, anggun, cantik dan berkarisma, yang juga idola ibunya.
"Boleh aku duduk?"