Senin sore, rumah keluarga Ditcher.
"Nyonya apakah anda melihat artikel itu?" Arman karyawan tertua mendekati nyonya yang juga presiden direktur seluruh aset keluarga Dichter. Karyawan tersebut mengulurkan tablet dengan ekspresi gelap.
"Ini adalah wawancara CEO Bramantyo yang baru saja muncul, sayangnya pembahasan di dalam wawancara itu tidak biasa,"
Bramantyo dimata nyonya Dichter, adalah penerus yang strategis terutama disebabkan oleh kemampuannya, mengembangkan setiap aspek perusahaan yang dibebankan pada pewaris kedua–lebih tepatnya putra kedua yang berasal dari istri berbeda ketua grup Dichter atau putra tunggalnya–belum pernah mengecewakannya. Bramantyo lebih pandai dari ayahnya sendiri.
"terutama di bagian ini. Tahun ini untuk meningkatkan reting televisinya, Bramantyo mengembangkan program-program yang disukai masyarakat umum, salah satunya program infotainment, bola dan, yah! sejujurnya cenderung seperti tontonan kurang bernilai,"
Telunjuk Arman menyunting salah satu poin dalam smartphone.
Mata Laila menyipit ke samping saat mengamati wawancara. Ini karena pertanyaan-pertanyaan wartawan yang memojokkan Bramantyo. Cenderung membahayakan dan kurang menyenangkan ketika didengar.
Program infotainment di televisi nya begitu segar. Bahkan setiap tahun, ulang tahun program infotainment Bramantyo dirayakan begitu meriah. awards yang didedikasikan kepada beberapa artis berprestasi di tahun itu. Mendatangkan berbagai bintang ternama dan red carpet tahunan program infotainment tersebut menjadi ajang para public figure memperagakan busana mereka.
"Dia butuh istri," kalimat ringan dan santai menguar dari bibir Laila. Sejenak matanya terlihat naik ke atas seolah tengah merangkai sesuatu di dalam kepalanya. "Istri untuk menutupi kejanggalan kehidupan pribadinya, anak itu terlalu bebas,"
Meletakkan tablet di atas meja. Laila meraih jus warna orange tak jauh dari jangkauan nya.
"suruh dia datang padaku, buat jamuan makan," nyonya, sang pimpinan utama selepas suaminya meninggal adalah seorang asli pribumi.
Pembawaannya tegas, ulet, dan tentu saja sedikit kaku terhadap putra dan cucu-cucunya.
"Sebarkan pesanku pada kedua cucuku,"
Arman yang berdiri tidak jauh dari perempuan itu mulai membuat catatan. Komputer tablet yang ia pegang siap menuliskan setiap kata yang keluar dari bibir perempuan tersebut.
"Siapa pun dari Bramantyo atau Pramoedya, yang bisa membawa calon istrinya di hadapanku. Yang paling cepat dan yang paling sesuai dengan seleraku. Akan mendapatkan saham paling banyak," ada senyum kecil di sudut bibir Laila.
"Apakah menurutmu ideku bagus, Arman?"
"Aku rasa anda lebih dari bijak untuk menghentikan kenakalan cucu-cucu anda,"
"Haaah.." perempuan bernama Laila mendesah, "mereka berdua mewarisi tabiat sampah para lelaki Dichter,"
Arman menarik lurus bibirnya, "Selasa, 20.00,"
"tidak itu terlalu malam, aku mau pukul 5 sore,"
"Aku rasa di jam itu artinya bukan undangan makan malam nyonya,"
"memang bukan, aku ingin itu jadi undangan minum jus, dan menikmati kebunku yang indah,"
Laila berdiri dan berjalan mendekati salah satu tanaman favoritnya, bunga lavender. Arman undur diri lalu menghilang dari taman tersebut.
***
"jangan bilang kamu resign karena kita kita?" Daniel menjadi serius, dia menendang salah satu kaki temannya sebab mereka mulai berisik. Konten kreatif. Talk show segar dengan beberapa tema goyonan menjadikan kehidupan anak muda ini penuh dengan ide komunikasi out of the books.
"Tidak, sama sekali tidak," Mimi menggeleng.
"aku tidak yakin," pria itu menanggalkan sendok di tangannya dengan suara benturan yang keras.
Yang lain menjadi terdiam oleh tindakan Daniel. "apa rencanamu setelah ini?"
"Belum berpikir," Mimi jujur.
"Hemm... Kau akan jadi gelandangan kalau kau tidak memiliki pekerjaan di kota metropolitan seperti ini," kalimat ini mendorong keseriusan ekspresi tiga pemuda yang lain.
"apa kau ingin pulang ke rumahmu, Mimi?" Anton tahu gadis ini punya keluarga di kota sebelah. Di kota ini, dia tinggal sendirian, indekos yang dulu juga ia tinggali kalau masih kuliah.
Anton tahu lebih banyak tentang Mimi bukan karena mereka kenal dekat sebelumnya, hanya saja pemuda ini suka sekali mengobrol. Menghabiskan waktu untuk nongkrong di meja administrasi keuangan, meja Mimi. Sembari gadis itu membenarkan laporan keuangannya yang berantakan. Dan sesekali Mimi terpaksa dan dipaksa menceritakan kehidupannya.
"Aku belum mau pulang, mungkin aku akan buka sebuah jasa?" wajah mimi memerah. dia terlihat sedikit malu-malu.
"Membuka usaha, jasa, semacamnya, butuh modal yang tidak sedikit," kalimat Daniel. Mengubur kesan malu-malu yang sempat menguar dari wajah Mimi.
Ekspresi itu menjadi sedikit kaku, "aku punya tabungan," mata dibalik kacamata bulat melirik satu-persatu pemuda yang ada di hadapannya.
Ekspresinya cerah, kemudian ia terdiam. Mengais minuman lalu meneguknya. "tapi ada sedikit masalah,"
"apa itu?" ini suara Arga. Penasaran.
"Aku harus mencari indekos baru," ujar mimi murung.
"mencari tempat baru, di awal tahun pelajaran seperti ini. Akan sangat menyusahkan, kau harus punya uang muka 50 persen untuk tinggal satu tahun," sekali lagi Daniel mengemukakan pendapatnya. Mimi mengangguk ringan.
Sejak awal ekspresi pemuda itu memang lebih kaku dan kadang kala cenderung terdefinisi ketus.
Akan tetapi kalimat-kalimatnya selalu tepat, tidak ada yang melesat.
"Kenapa harus pindah? Apakah tempat lamamu bermasalah?" Sultan mengajukan pertanyaan.
"aku harus menghindari seseorang, kali ini benar-benar gara-gara kalian,"
Keempat pemuda di sekitar Mimi saling memandang, "apakah yang kamu maksud CEO?"
Mimi mengangguk dalam-dalam.
"Ah, dia masih mencoba untuk mengganggumu," ekspresi Anton tegang.
"Ini Aneh," Arga lah yang tengah berbicara. "Mengapa gadis sepertimu masih saja dia pedulikan," mulut Arga mengerucut, saat sadar yang lain memandangnya. Ia buru-buru meralat kalimatnya, "maksudnya. Pria itu bisa mencari yang lebih dari Mimi, itu makna kata 'sepertimu' hehe," mengakhiri kata-katanya dengan menggaruk sudut leher.
"Kamu benar Arga," Mimi mengambil alih komunikasi, "aku rasa dia sedikit bermasalah," gadis ini mengangkat tangannya kemudian membuat sebuah sudut kecil dari ujung ibu jari dan ujung telunjuk.
"Brak!" tiba-tiba Anton menggebrak meja, "kalau dia sampai berbuat macam-macam lagi padamu akan aku hajar dia,"
"mustahil!" tukas Daniel, "masih butuh uangnya dan pekerjaan dari nya," realistis.
"sekarang yang bisa kita lakukan. Membantu memikirkan di mana sebaiknya Mimi tinggal," sultan agaknya mulai bangun dari kemalasannya berpikir. "Kamu pindah indekos karena takut dia mencari-carimu, kan?"
Mimi mengangguk dua kali.
"Ya, sudah tinggal saja dia kontrakan kami, beres bukan," idenya simpel, "kamu hanya perlu menyiapkan makan tiap pagi dan petang saat kami berangkat dan pulang kerja, selebihnya kontrakan itu sebenarnya rumah pamanku, aku menagih uang dari mereka tapi jadi gratis untukmu,"
"jangan gila dia perempuan," Daniel tidak setuju.
"Siapa yang peduli kalau aku bilang dia putri paman?" sultan mengangkat bahunya.
"apakah lingkungannya Ramai?" tanya Mimi.
"lumayan sih," Anton menjawab.
"Tunggu, aku belum setuju dia perempuan," Daniel konsisten dengan pendapatnya.
"Memangnya di mana lagi tempat yang aman buat Mimi? Dia perlu menghindari orang yang punya banyak uang? Orang dengan uang banyak bisa mencarinya dengan mudah," Arga ada benarnya, "kecuali kita ada di sekitar Mimi,"
"Aku setuju," Anton mengangkat tangan, "kita yang menciptakan kekacauan ini, kita harus bertanggungjawab menjaga Mimi,"
"ah' Jangan seperti itu, aku.." Mimi belum usai bicara.
"Ini tidak gratis, kamu harus membersihkan rumah dan memberi kami makan," sultan meminta imbalan.
"asal aku di izinkan buka jasa jahit busana di rumah itu," Mimi malu-malu mengatakannya.
"jahit busana? Kamu mau jadi penjahit?"
"Ah' itu jasa yang ada di kepalamu?"