"kamu datang sendirian?" pertanyaan ini keluar dari bibir Nyonya keluarga Dicther. Sang presiden direktur bernama Laila. Duduk di sebuah kursi putih yang melingkari sebuah meja sama putihnya, meja tersebut menawarkan bunga lavender yang ia tanam dari kebunnya sendiri. Jemari Perempuan tersebut tengah menelusuri kaca kristal bening, vas bunga lavender kesayangannya.
"Maaf," Bramantyo menundukkan wajahnya, sebelum mengangkatnya dan memberikan senyuman terbaik. lelaki yang memberi sorotan dari mata abu-abunya tersebut menatap neneknya dengan rasa hormat. dia bahkan tidak berani duduk sebelum diberi kesempatan oleh sang nenek, "saya tidak sepandai kakak," nada suaranya rendah.
Mendengar suara Bramantyo perempuan ini tak kuasa untuk tidak menoleh pada cucunya. Bramantyo selalu berhasil menyuguhkan kenangan lamanya bersama sang suami. Almarhum Waller Dicther, Suara Bramantyo serupa dengan lelaki yang memberikan banyak warisan kepada seluruh keluarganya. Namun, pada surat yang di dokumentasikan oleh pengacara keluarga Dicther, Laila sang istri diperkenankan mengatur segalanya. Seratus persen lelaki itu memberikannya kepada Laila, tanpa terkecuali. sampai-sampai villa mewah yang ditinggali gundiknya, seluruhnya diberikan kepada Laila.
Laila tersenyum menatap cucunya, "kata maafmu membuat dadaku bergetar, duduklah sayang,"
Barulah Bramantyo berani mendekat memeluk sebagian tubuh Laila dan memberi kecupan di pelipis neneknya.
"Baik, jadi gadis yang kamu bawa di pesta dansa itu fake??" todong Laila to the point.
Bramantyo kecurian kata. Mata mengerjap beberapa kali, dan hal tersebut berhasil membuat Laila tersenyum. " jangan bilang kamu membohongi nenekmu kali ini?"
"Oh' tidak nek, saya tidak berani," Bramantyo bisa melihat bagaimana mata Laila melirik Arman yang ada di belakangnya sebelum kembali berpindah pada bunga lavender kesayangan perempuan itu.
"Kemampuan anda merangkai bunga semakin baik," Bramantyo membuat pujian demi menghilangkan sesuatu di dalam pikirannya.
"aku yang terbaik, masalah bunga, kamu tahu itu," Laila kembali melirik cucunya. Perempuan yang tak lagi muda ini memiliki rambut sebahu yang mengembang. Matanya teduh bercampur tajam. Dia tak banyak bicara. Dalam kata lain perempuan satu ini tipe penilai ulung. Dia yang akan memilih siapa yang berhak mendapatkan kesempatan bicara dengannya dan siapa-siapa yang tak perlu ia komentari. Walaupun jelas-jelas ada di hadapannya atau berupaya memberinya pertanyaan sekali pun.
"Ya, anda tak terkalahkan," balas Bram.
"sayangnya jagoanku sengaja mengalah, aku tak suka itu," mata Laila yang di bumbui eyeliner hitam menghunjam Bram.
"Kakak," Bram memalingkan pandangan, mengayukan tangannya pada Pramoedya yang berdiri tak jauh dari mereka. Bram tahu pria di ujung sana tengah menunggu di panggil.
Bram sengaja datang terlambat lima menit dari ketentuan, sayangnya dia melihat neneknya masih duduk di kursi putih sendirian, artinya perempuan ini menantinya dan memberi kesempatan dirinya untuk menemui perempuan penyuka bunga lavender ini lebih dulu di bandingkan yang lainnya.
"Kau ini!" gertak Laila.
"Maaf," Bram mengedipkan mata. Bahasa implisit mereka.
Laila menyadari Bram tidak suka menonjol di keluarga ini. Sekeras apa pun perempuan tua tersebut mendorongnya unjuk gigi.
Namun lagi-lagi akan kalah oleh kata maaf cucunya, Bram selalu mampu meluluhkan hatinya, ada sihir di sana. Sihir yang konyol, hanya karena suara Bram serupa dengan pria yang banyak meminta maaf di tahun terakhir hidupnya.
Tiga pasang mata mengamati kedatangan seorang pemuda lain, Pramoedy dengan pasangannya. Pram selalu mau jadi yang utama dan juara pertama. Lihat saja bagaimana dia memenuhi tantangan sang nenek. Duduk dan memamerkan tangan yang saling tergenggam dengan perempuan di sisinya.
Arman terlihat buru-buru mengambilkan satu kursi lagi untuk pasangan Pram.
Setelah dua orang ini benar-benar duduk, Bram pikir neneknya Laila bakal mengomentari keduanya, sayangnya yang Bramantyo dapati adalah kesibukan Laila memotong tangkai tangkai lavender.
"Sangat cantik," Bram memuji pasangan kakaknya. Mengamati perempuan yang spontan girang mendapati pujian pembuka percakapan.
"dia selalu membawa gadis cantik," sergah Laila. Bram senang neneknya ambil bagian, "sayangnya aku tak yakin gadis itu bertahan seminggu," Laila mengangkat sebuah lavender kemudian memutus bunga tersebut menjadi dua bagian, sebelum dia remas dan menyerahkannya pada Arman, "kenapa bunga yang tak layak di lihat ada di tamanku! Jauhkan ini dari pandanganku," suara Laila meninggi.
Mengubur niat Pramoedya yang hendak membuat pembelaan. Sang pewaris urutan pertama selepas ayah mereka yang hari ini entah di mana pria itu berdinas, dia tidak datang pada undangan minum teh ibunya sendiri.
Chaddrick Dicther putranya, menghilang begitu saja menghindari ibunya, pria itu malah mengirimkan istrinya, Yolanda Dicther dan anak sulungnya yang memang Laila undang Richard Pramoedya Dicther termasuk anak bungsunya yang perempuan Charol Paramita Dicther.
"Saya rasa yang lain sudah menunggu kita nek," Bram memecah kecanggungan.
"aku tidak berselera lagi," Laila bangkit dari duduknya.
Tindakan perempuan ini menghancurkan muka tiga orang yang duduk dalam satu meja dengannya. Pribadi Laila unik, kadang kala membingungkan sekaligus tak terkalahkan.
"Arman atur ulang makan malam bersama para cucuku," sekali lagi Laila membuat permintaan yang mencengangkan. "baiklah anak-anak, kalian boleh bersenang-senang, tapi jangan kotori tamanku, aku butuh tidur lebih awal," Laila melangkah pergi begitu saja.
Langkahnya kali Laila telah sampai pada teras rumah mereka yang bernuansa putih dan kayu, rumah yang tentu saja lebih banyak menawarkan unsur rumah klasik bergaya germany. Jendela yang mendominasi dan atap yang bersusun-susun. Ada kesan kokoh sekaligus eksentrik.
"dia marah pada siapa?" Pramoedya lekas menodong Arman.
Belum sempat Arman membuat dugaan untuk putra pertama Chaddrick, Rolland Bramantyo atau Bram menangkis kesempatan Arman. "padaku?"
"Why?" gaya bicara Pram cenderung tegas. Kaku dan tentu saja menuntut.
"Nenek pikir aku membohonginya," ujar Bramantyo selepas berupaya mencari alasan.
"Bohong?" lelaki bernama Pram mengerutkan alisnya. Tiga buah garis terbentuk di antara dua alis lelaki tersebut.
"aku malah ingin bertanya padamu?" Bram balik bertanya pada kakaknya, "apakah nenek Laila hadir di acara pesta dansa, kemarin?"
"Cih! Kau ini," Pram berdecih. Sebelum jemarinya menepuk bahu terbuka perempuan di sisi-nya. Gerakan tangannya memberi tahu bahwa perempuan itu sebaiknya lekas pergi dari meja putih melingkar ini.
Sejalan dengan perintah Pram, Bram bisa mengamati perempuan itu berdiri kemudian melangkah pergi membaur dengan ibu tirinya dan adik tirinya yang berada di pusat acara minum teh sore ini. Andai saja perempuan bernama Laila itu moodnya masih baik.
"sudah aku katakan, bukan hanya aku yang akan ada di sana. Apakah kau tidak mendengarkan pesanku? Kamu pikir buat apa aku harus datang ke penthouse mu pagi-pagi?" suara Pram bernada kesal. "Sekarang katakan padaku, kebohongan apa yang kamu perbuat?"
"Entahlah," sejujurnya Bram bingung sendiri sebab tadinya dia sekedar merangkai kalimat
"Gadis itu. Nyonya Laila ingin bertemu gadis yang anda bawa pada pesta dansa,"