Bangkit dari tidurnya mimi mengamati satu persatu pemuda yang menatapnya. Ia merentangkan tangannya hendak meraih kaca matanya. Namun, salah satu pemuda di antara ke empatnya memegangi kaca mata itu dan menjauhkannya dari jangkauan tangan Mimi. Menciptakan kejahilan kecil yang membuat Mimi kian resah.
Mimi menatap bingung sekaligus ragu-perempuan yang ketika mengerjap mengakibatkan pengamatnya enggan melewatkan bertemunya bulu mata panjangnya-memilih lekas berdiri dari sofa.
Dia enggan bertanya mengapa sekelompok pemuda di rumah ini duduk berselasar di lantai tepat di hadapan sofa tempatnya terlelap. Bagi mimi mereka memang sudah aneh semenjak pertemuan pertama dan kian parah pada perjumpaan-perjumpaan berikutnya.
"lain kali jangan tidur di luar!" satu di antara mereka yang tertangkap sudah mandi, harum dan rapi berujar dengan nada kasar.
"kalau mimi tidur di sini?" Arga menimang-nimang pemahaman. "berarti kamu yang bertanggung jawab?!" kesimpulan yang keluar dari pikiran Arga.
"kamu mengusirnya dari kamarmu?" pemuda-pemuda ini mulai bangun, Berdiri sembari menodongkan pandangan menelisik pada Daniel.
"Aku tidak ingat," Daniel, membela diri.
"yang benar saja?" Anton serta mereta di liputi emosi.
"aku yang meminta Daniel tidur di kamarnya," suaranya lirih, dan lekas menunduk. bibir kumpulan pemuda ini sempat ternganga tak menduga apa yang mereka dengar.
"bagaimana kamu melakukannya?" tanya Anton.
"aku menariknya dan mendorongnya masuk ke kamar," polos jawaban Mimi.
"bagaimana rasanya?" otak sultan sedang mode tidak beres. Entah bagaimana pertanyaan salah dari mereka menuju ke arah yang tidak terduga. Mengakibatkan wajah mimi merah padam.
"rasa apa? Kendalikan otak loe!" gertak Daniel pada Sultan.
Melarikan diri dari kalimat-kalimat aneh yang diam-diam mereka bisikkan, akan tetapi masih bisa menyusup di gendang telinga mimi. Mimi melangkah ke samping, keluar dari celah meja dan sofa, gadis ini memutuskan menuju kamar mandi.
Membukan pintu kamar mandi, "Aaaaarggh," dalam hitungan sekejap dia yang baru akan melangkahkan kakinya ke dalam lantai kamar mandi berteriak hebat.
Kelompok pemuda penghuni rumah yang sama, yang mendengarkan suara mimi lekas berlarian mendekat, "ada apa?" suara bernada pertanyaan menghampiri mimi.
"kecoaknya lari-lari," rasanya ingin menangis saja melihat kamar mandi anak laki-laki.
Mimi duduk pasrah di dekat ruang makan yang jadi satu dengan dapur. Dapurnya tidak buruk hanya saja lagi-lagi di seputar wastafel mimi bisa mengamati piring kotor dan wadah yang di biarkan tergeletak. Tidak di cuci, sepertinya benda-benda tersebut di biarkan begitu saja bahkan lebih dari dua hari.
Kepala mimi rasanya mau pecah selepas semalam ketika dirinya tak bisa tidur, ia memilih merapikan ruang tengah yang super berantakan sekarang ruangan lain tak ada bedannya. Tentunya saat ini Mimi merasakan matanya mengantuk dan tubuhnya kelelahan.
Mimi meletakkan kepalanya di atas meja makan, mengamati kumpulan anak muda yang bekerja sama membersihkan kamar mandi dan ruangan di sekitarnya. Sepetinya mereka sedikit sadar diri, entahlah, Matanya lelah, ia secara sadar menutup matanya dan gadis ini terseret dalam kenyamanannya sendiri.
***
"aku berharap mendapatkan sambutan lebih hangat," perempuan meletakkan tas mewahnya di atas meja resto VIP. Sebuah Meja di dalam ruang privat.
Perempuan yang tengah bicara dengan sengaja meletakan tas tersebut pada posisi menonjol, hampir di tengah-tengah meja bulat yang memisahkan dirinya dengan tamu yang ia undang. Dia butuh tampil dominan pada seseorang yang saat ini ia temui.
Sebenarnya kemampuannya berlagak dominan tak perlu lagi di ragukan, perempuan yang usianya tak lagi muda tersebut masih aktif memimpin seluruh warisan suaminya. Sampai detik ini ia enggan mendelegasikan kepemimpinannya pada putranya. Membidik para cucu yang saat ini mulai tumbuh menjadi pria dewasa.
Laila menginginkan kesempurnaan, dan menutup celah yang berpotensi memberi pengaruh buruk kepada cucu-cucu kesayangannya. pengatur dan pemantau ulung ialah dirinya.
Laila tidak mau ada kesalahan yang mengakibatkan impian-impian terkait kehormatan keluarga Dicther terusik.
"anda menginginkan sambutan dari orang yang bakal anda todong dengan konfrontasi," beda sepuluh tahun dari perempuan yang detik ini duduk di hadapannya, Laila tersenyum menakutkan untuk pada tamunya, "itu permintaan yang mustahil, Nyonya," Renata membalas senyuman itu dengan ekspresi santai, tetap anggun dan tenang.
"Siapa yang murka?" Laila melempar pertanyaan sarkasme, "aku bukan perempuan pemarah, kalau aku pemarah mungkin saat ini aku sudah tidur di atas ranjang bersama selang infus," menjentikkan tangannya, dari arah pintu ruangan privat tersebut, ia mendorong langkah seorang asisten untuk mendekat, Arman asistennya menyambut permintaan tersebut sesigap mungkin.
Sejalan kemudian Arman berbisik di telinga nyonyanya, dan sang asisten meletakkan tab di atas meja di depan Laila.
"daftar kenakalan cucuku tidak sedikit," pencinta lavender geleng-geleng kepala sembari menggeser-geser laman pada benda layar sentuh yang tergeletak di hadapannya.
"menurutmu, aku sendiri yang membuka percakapan." Memberi jeda sejenak, "tentu saja isinya tuduhan," dia mengangkat kepalanya menodongkan tatapan menantang, "atau kau yang memulainya? aku orang baik, aku memberimu kesempatan membela diri," Laila memberi penawaran yang unik.
"ya. saya mengaku, mengaku bahwa saya pernah punya hubungan dengan Bramantyo, selama 4 tahun. Sejujurnya hubungan itu sudah kandas satu tahun yang lalu," Dari gaya bicaranya, Renata teridentifikasi tak goyah dan begitu yakin dengan kalimat-kalimat yang ia ucapkan.
Laila mengangguk-angguk ringan. Jelas, perempuan tersebut sedang Menyinkronkan kalimat yang diucapkan Renata dengan informasi yang tertera di layar benda pipih yang ia amati.
"Aku dengar kau akan menikah?" perempuan penyuka lavender itu bertanya sembari mengamati pelayan yang datang.
" ya, Anda benar," senang mendengarkan jawaban Renata. Laila lekas menyambut kedatangan minuman segar yang dia pesan. es lemon tea, di raih dari nampan waitres, disesap dan dinikmati.
"kau pasti punya alasan mengapa dirimu meninggalkan cucuku?" pertanyaan ini tersampaikan seiring Laila menanggalkan gelasnya. meletakkan gelas yang masih menyisakan separuh lemon tea, mata perempuan itu terbuka lebih lebar menatap lawan bicaranya.
"Anda pasti heran." senyum Renata berubah ramah, perempuan tersebut membenarkan duduknya, "saya bukan perempuan munafik, atau gadis-gadis naif yang mendamba para pria kaya, jadi boleh saya membenarkan sebuah rumor terkait menjadi simpanan para lelaki Dicther artinya bersiap di limpahi fasilitas kelas wahid," kini Renata yang menyerang menggunakan kata-katanya.
Renata tidak sadar, nafas Laila sempat tertahan selepas mendengar ucapannya. Aktris film ini sama dominannya.
" tapi lama kelamaan, fasilitas kelas satu tersebut tidak ada gunanya, kalau ternyata di antara kita tidak ada cinta sejati," tiga buah garis hadir di tengah-tengah alis Laila. Renata berhasil mengguncang jiwa perempuan yang pura-pura baik-baik saja.
"tidakkah anda ingin bertanya, Mengapa saya membawa-bawa ungkapan cinta sejati?" kali ini Renata yang balik bertanya.
"Para pria hobi jatuh cinta, Mana mungkin mereka peduli sejati atau semalam," gerutu samar tersebut menjadikan suasana di meja makan kelas VIP lebih mencair daripada sebelumnya.
"bukan karena Bramantyo," desahan Rena menandakan perempuan ini gelisah. Lalu meralat kata-katanya, "Kisah cinta fenomenal anda berbeda dengan cucu anda, nyonya," Renata yang mulai bisa mengimbangi nenek pria yang pernah dia cintai, memberanikan diri ikut menikmati minuman yang di hidangkan, "selama empat tahun saya menikmati semua perlakuan cucu anda dengan baik, aku yakin anda pun tahu," menegak dan langsung mengosongkan minumannya, Renata meletakkan gelas itu dengan bumbu hantaman kecil di meja, "Bram sampai saat ini, masih berharap bisa mencari cara menggagalkan pernikahan saya,"
"dia masih menginginkanmu dan kamu menemukan kewarasanmu, begitu?" ini pertanyaan yang di rangkai Laila, ia penasaran mengapa perempuan di hadapannya bisa lepas dari cucunya. Para lelaki Dicther yang pandai memanjakan perempuan melalui limpahan harta yang mereka miliki.
"tidak juga, saya bukan perempuan yang bersih, saya tidak mempermasalahkan jarak usia kami. Bukan itu yang membuat saya mundur, kalau hanya masalah usia, jangan salah, saya bisa mengimbangi anak muda," pernyataan tak sopan menghasilkan desisan di bibir lawan bicara Renata.
"lalu?" tapi Laila menekan amarahnya, dia butuh rasa penasarannya terobati.
"Bram, memperlakukan saya terlalu baik," jawab Renata.
"Cih! Apa-apaan ini? Kamu sengaja memainkan kata-kata mu?" mata Laila membesar, "kamu sedang mempermainkanku?" nada suara perempuan pencinta lavender meninggi.
"Tidak, mana berani saya. Saya bicara apa adanya. Cucu anda memperlakukan saya terlalu baik, saya pikir itu cinta, saya pikir dia yang menuruti setiap ucapan saya adalah cinta, dan manjanya juga bagian dari hubungan percintaan kami yang indah,"
Komunikasi ini menjadi kian serius tatkala, Renata mengatakan kebenaran, "Namun Bram punya aturannya sendiri, dia tak mengizinkanku melanggarnya. Salah satunya, bahkan, tak memberiku kesempatan menyentuhnya, aku pikir karena kami belum menikah. Aku bertanya-tanya, berusaha mencari jawaban layaknya orang kurang waras."
"Setelah satu tahu terakhir aku memberikan diri pergi dari Bram. Sangat tidak mudah melarikan diri dari Bram, bersembunyi dari pengaruhnya yang kuat itu. akhirnya kutemukan jawabannya. Aku bukan di posisikan sebagai kekasihnya, dia menganalogikan diriku sebagai ibunya,"
Telapak tangan kanan Laila spontan menangkap bibirnya sendiri, perempuan berumur ini bergetar.
"saya minta maaf harus mengungkapkan ini pada anda, saya harap anda," kalimat Renata terputus, berubah menjadi jeritan. Laila yang hendak berdiri menyudahi pertemuan ini, ambruk di hadapan Renata.
.
.
'nenek kenapa aku di buang ibu ku?'
'apa aku anak nakal?'
'nenek kalau nilai ku bagus ibu akan datang, kan?'
'nenek aku tak mau sekolah! Mereka memanggilku anak haram?'
'apa itu anak haram?'
***
[tuan Bram, nyonya masuk ICU]