"Gadis itu. Nyonya Laila ingin bertemu gadis yang anda bawa pada pesta dansa," jelas Arman.
Bram bergeming mendengar dugaan Arman.
"seperti apa gadis itu?" Pramoedya malah penasaran karenanya.
"Oh' hanya gadis pendiam," 'dia mengamati Mimi ternyata,' batin Bram.
"Nyonya ingin bertemu, beliau-" kalimat ini terputus oleh tatapan menghunjam Bramantyo pada Arman-secara implisit pria ini keberatan.
"aku jadi penasaran," ada senyum di bibir Pramoedya. Tapi Bram tak menanggapi kalimat kakaknya. Dan dia pun menekan Arman untuk terdiam. Arman membuat gerakan dengan ujung telunjuknya dan ujung ibu jarinya, gerakan perlahan layaknya sedang menutup resleting yang mana letak resleting tersebut ada pada permukaan bibirnya.
Bram belum beranjak dari meja putih yang di lingkari kursi dengan warna senada sampai kakaknya bangkit pergi dari tempatnya.
"Apa nenekku tahu apa yang terjadi padaku di pesta itu?" ini pertanyaan Bram untuk Arman selepas mereka hanya berdua saja. Garis wajah Arman menunjukkan ekspresi bingung, dengan begitu Bram yakin tindakannya mabuk di malam itu tidak ketahuan neneknya.
Pria ini bangkit, menepuk bahu Arman, sayangnya sebelum dia bena-benar melangkah pergi lelaki bermata abu-abu ini mendapatkan berita terburuk dari yang terburuk, "namun, nenek anda mulai curiga dengan orientasi anda,"
"maksudmu?" berbalik dan lekas memicingkan mata, Bram sempat melangkah satu langkah lebih dekat ke arah keberadaan Arman.
"Anda pikir empat tahun bersama seseorang yang 17 tahun lebih tua dari anda mustahil terendus nyonya Laila,"
"Hais! Sial!" desah Bramantyo.
"lebih baik bawa gadis muda itu pada nenek anda dan buat diri anda bersih, sebelum dia kian marah dan mengganggu kesehatannya," Bram teramati mengacak rambutnya.
"Nenek anda sejujurnya sering mendatangkan dokter pribadinya, anda tahu satu-satunya yang bisa membuat pencinta lavender itu sakit siapa?" Bram tahu jawaban pertanyaan ini. Dan itu adalah dirinya sendiri.
"Ya, aku usahakan," Bram mengangguk dua kali sebelum meninggalkan taman milik keluarga Dicther.
.
.
"Kau berhasil membujuknya?" ini suara Laila di balik jendela kaca berukuran besar, gorden-gorden besar menyelimuti samar, mobil yang meninggalkan halaman rumah teramati di antara warna putih kain yang menyelimuti kaca jendela.
"dia akan membawa gadis itu pada anda, sebaiknya anda benar-benar pandai berakting," saran Arman pada nyonyanya.
"Sofia harus mendapatkan barang favoritnya, bawa kan dia salah satu koleksiku, limited edition," perintah Laila. Arman sempat memundurkan langkahnya, "jangan lupa atur jadwal pertemuanku dengan Rena.. ah siapa namanya artis itu?"
"Renata Yuniar Nyonya," Arman menghentikan langkah guna menjawab pertanyaan perempuan yang memainkan bolpoin di tangannya.
"Ya, dia, aku menginginkan dia membantuku," mata perempuan dengan rambut sebahu yang mengembang itu sempat melirik tajam pada sebuah sudut sebelum kembali mengamati semburat putih gorden yang menawarkan halaman rumahnya.
Sesuatu di sudut ruangan adalah foto dirinya sepuluh tahun yang lalu bersama kedua cucunya dan suaminya.
'anak-anak ini! Aku akan membuat mereka berhenti mewarisi kelakuanmu,' sesuatu yang ada di dalam benak perempuan ini, bagian dari luka hatinya.
***
Malam hari di Kandang ayam.
Hunian dengan tampilan rumah klasik bergaya belanda-hanya di sisi luarnya saja. Bagian dalamnya jangan di tanya. Mimi belum bisa menutup matanya, bukan sekedar di karena kan rumah tersebut berantakan, dia juga mulai memikirkan bagaimana dia akan menjalani kehidupannya bersama empat pemuda yang kian lama kian kelihatan tidak normal.
Kamar yang dia huni adalah bagian yang paling normal yang bisa di tempati. Sayangnya dia masih belum yakin pemiliknya ikhlas mengingat apa yang dia lihat di kamar lain. Pemilik kamar ini terdefinisi sebagai lelaki rapi dan bersih, sedangkan ruangan lain? Ah sudahlah.
'dia pasti tersiksa,' merasa bersalah, gadis ini bangkit dari tidurnya. Mengenakan sandal rumah berbentuk kelinci. Gadis yang memakai celana dan baju senada berupa piama bermotif buah jeruk segar, detik ini memberanikan diri berjalan menuju pintu dan perlahan-lahan membukanya.
Mimi sempat menarik nafas dalam-dalam sebelum menapakkan kakinya di sisi luar kamar. Gadis ini menuju ruang tengah, dia mulai menyalakan lampu, membuat pengamatan ke segala arah.
Kegelisahannya terjawab sudah. Benar sekali duganya, pemilik kamar yang ia tempati memilih tidur di sofa yang ukurannya tak sesuai dengan panjang tubuhnya.
Mimi menarik bibirnya lurus. Dia benar-benar menemukan makna rasa bersalah detik ini.
Mendekati pemuda yang tertidur di atas sofa dengan benda-benda berserakan di seputarnya. Mimi memberanikan diri meletakkan ujung jarinya di bahu pemuda itu.
Dia mengingat dengan baik nama pemuda yang pembawaannya ketus ini, "Daniel.." panggil mimi, menggoyang ringan lengan pemuda ini dengan ujung-ujung jarinya.
Tak berhasil.
"Daniel.. daniel!!" tak juga bangun, Mimi sempat menekuk bibirnya tanda jengkel.
"Daniel!!" dia menarik lengan sang pemuda.
"huuh, Akhirnya.." dia terduduk, akan tetapi matanya masih terpejam, detik berikutnya sepertinya pemuda ini bakat terbaring lagi pada sofa.
"jangan.. jangan!" Mimi menahan tubuh pemuda tersebut supaya tidak kembali terkapar pada sofa.
"berat sekali tubuhnya," Daniel paling jenjang di banding yang lain, selain ketus dia punya bentuk alis yang panjang dan memiliki potongan tajam pada ujungnya.
Tatkala pria ini mengerutkan alisnya moodnya dengan mudah terbaca. Dan detik ini dalam tidurnya dia mengerutkan alisnya kuat-kuat. Mimi yang merasa bersalah memutuskan mendorong tubuh itu akar bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Kenyataannya sangat tak mudah. Mendorong pria yang tingginya jauh di atas tubuhnya sendiri sangat menguras tenaga.
Untuk itu mimi memberanikan diri memegangi kedua telapak tangan pemuda mengantuk ini. Gadis polos tersebut dengan terpaksa menarik Daniel, dan menggiringnya ke dalam kamar pemuda tersebut.
"huuuh! Akhirnya. tidurlah yang nyenyak bro!," Mimi berhasil melempar pemuda yang beberapa saat sempat memprotesnya, "apa sih..!" dia mengigau saat mimi membimbingnya dan berhasil melempar pemuda setengah sadar ke atas ranjangnya sendiri.
Mengamati sejenak, mimi diam-diam mencuri bantalnya, untungnya Daniel benar-benar tersita oleh rasa kantuk yang mempengaruhi dirinya.
.
.
"Hooaam..." rambut berantakan ala Leonardo Dicaprio baru saja muncul dari balik pintu. Pemilik rambut itu tengah berjalan santai sambil menggaruk seputar perutnya dan mengucek matanya.
Berjalan gontai dia mengetok kamar sebelah, "tan! Bangun!"
"Huuss! Diam!"
"Ah'," terjungkat sesaat sebelum menoleh ke arah sumber suara. "kalian ngapain?" nada suaranya merendah. Mendekati dua temannya yang duduk tak jelas di depan sofa ruang tengah.
Ruang tengah berubah total, tempat yang belum pernah terlepas dari sepatu dan kaos kaki berserakan termasuk baju dan sekumpulan benda tak berguna yang lupa di buang, lebih tepatnya malas membersihkan. Benda-benda itu hilang dari padangan. Bentuk asli dari ruangan akhirnya bisa ter nikmati.
"Huuss..!" Anton meletakkan telunjuknya di atas bibir, sedangkan sultan membuat gerakan tangan meminta Arga mendekat.
Giliran kian dekat, Arga jadi tahu apa yang mereka amati, pengamatan yang serupa dengan serunya menunggu selesainya Lufi melawan kaido di serial anime one piece. Yah, sebuah adegan perang yang butuh waktu berminggu-minggu dan berlembar-lembar halaman.
Arga ikut duduk di selasar lantai, "Aaah.. dia sangat cantik,"
"kita harus menyembunyikan kaca mata dan memotong poninya,"
"yah.. dia seperti boneka tanpa benda-benda aneh itu,"
"Apakah kita tinggal bersama bidadari?"
"aku akan pulang tepat waktu hari ini,"
"bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan rumah ini, aku akan membolos kerja saja,"
"Aaargh!" seorang pemuda yang mengatakan kata 'bolos kerja' mendapat tarikan di telinganya. Lupa bahwa salah satu dari penghuni rumah ini adalah Daniel, seorang PA, Produser Asisten mereka.
"kalian??" seorang gadis membuka matanya dan bangkit dari sofa tempatnya terbaring.