"Dia sudah tidak tinggal di sini," seorang mengabarkan kepergian gadis lugu yang di cari-cari lelaki dan perempuan dengan perawakan tinggi, cantik, tampan dan sepertinya tidak memiliki status sosial yang sama dengan Mimi.
Lelaki dan perempuan ini berjalan menuju jalan lenggang setapak kecil yang menghubungkan jalan raya dengan indekos di ujung gang.
"dia melarikan diri," duga Sofia.
"aku juga merasa apa yang kamu pikirkan," Bram membuka pintu mobilnya.
"aku rasa Sarah menyadari hubunganmu dan Renata, dan kau bahagia dia bisa menceritakan hal tersebut pada ayahnya,"
"kamu sedang bicara di luar konteks kita," Bram mulai menyalakan mesin mobil. Pria ini memutar kunci kecil dan perlahan menginjak pedal gas.
"aku mengatakan apa yang ada di dalam pikiranku,"
"pikiranmu selalu random," tukas Bram.
"apa kamu tidak lelah?"
"maksudmu Sofia?"
"seperti aku yang selalu berubah-rubah sebab mereka bilang diriku yang asli terlalu berantakan, ibu dan ayahku tak suka aku yang cerewet dan ceria, dia menginginkan anak gadis yang anggun dan menghardikku saat aku tak bisa mengekspresikan diri sesuai keinginannya," mata Sofia mengembara. Jalanan di luar yang bising hilang dari pandangan berganti dengan kumpulan orang-orang yang membawa poster wajah ayahnya.
Teriakan-teriakan dengan lambang angka dua dan seruan supaya memilih sang calon pemimpin daerah beradu dengan lagu yang musiknya mengalun bagai rasa sampanye. Sofia memegangi telinganya dan dia menutup matanya kuat-kuat.
"berdirilah yang tegap!!" suara lelaki di masa lalu datang menyapa dirinya di masa sekarang.
"pasang senyummu! Senyum yang ramah. Lebarkan matamu!!" suara itu datang lagi menghampiri. Gelombang besar yang membuat kepalanya dan jiwanya hilang kendali.
detik ini Bram membanting mobilnya ke sisi jalan. Berharap ia bisa menghentikan mobil ini lebih cepat, secepat ia bisa.
"Sofia sadar! Sadar Sofia! Sadarkan dirimu!" perempuan ini meraung-raung kemudian menangis, ya dia menangis tanpa alasan yang jelas.
"tidak apa-apa. Tak masalah, siapa pun kamu tak ada yang mempermasalahkannya, jangan takut. Tidak semua orang membenci Sofia yang asli. Mengerti!" Bram memeluk erat perempuan itu memeluk kuat-kuat. Mengusap-usap rambutnya.
Bram datang dari dunia berbeda, dia hadir secara mengejutkan. Membuat keluarga Dicther di terpa gelombang hebat percekcokan. Dia lambang pengihanatan seorang lelaki yang menjadi pewaris Dicther pada istrinya, perempuan yang terlahir dari keluarga pebisnis, sama pentingnya untuk perkembangan bisnis masing-masing.
Tidak ada yang menerimanya, di kucilkan dan hidup asing di rumah yang terlalu mewah, Neneknya Laila yang menjadi tumpuannya. Tiap kali anak kecil kelas dua sekolah dasar itu di acungi telunjuk untuk di jadikan kambing hitam pertengkaran rumah tangga. Nenek Laila datang untuknya dan menjadi perisainya. Selebihnya dia akan di titipkan di rumah sebelah. Rumah seorang yang di kenal sebagai anggota dewan pemerintah waktu itu.
Bram bertemu Sofia karena mereka tetangga, Bram dia bawa neneknya ke rumah itu supaya dia bisa bermain dengan anak seusianya dan itu Sofia. Gadis yang tertekan sejak belia dan kian parah semenjak ayahnya meniti karier politik hingga berkedudukan sebagai pimpinan daerah saat ini.
Bram melepas pelukannya. Mengamati wajah Sofia yang berangsur-angsur membaik. Nafasnya menjadi lebih tenang. Matanya berangsur-angsur terbuka.
"Bagaimana bisa serangan panikmu datang di tempat seperti ini?" Bram mengamati keliling. "kita di jalanan, sedikit ramai memang." Mata Bram berpindah selepas mengamati jalan dari balik kaca mobil menuju air mineral. Pria ini meraih air mineral di samping tempatnya duduk. Membukanya dan memberikannya pada Sofia.
Dua orang yang memiliki keluarga berlatar belakang luar biasa terpandang, rumah dan kehidupan tercukupi serta karier yang lebih dari cukup untuk di katakan sukses.
"Aku juga tidak mengerti, kenapa ingatan itu datang,"
"jangan memikirkan kerumunan, jangan membayangkan kerumunan, sudah berapa kali aku katakan ini!" suara Bram di penuhi kekhawatiran, lelaki ini menerima botol yang baru di teguk Sofia dan membantunya menutup botol tersebut sebelum meletakkannya kembali pada tempatnya.
"aku tahu itu, Bram," dia yang berbicara menyajikan suara keputusasaan.
Sofia melempar pandangan matanya ke sisi jalan, trotoar yang di atasnya di penuhi pedagang di bandingkan pejalan kaki, "kenapa mereka terlihat lebih bahagia dari pada kita? kenapa ya?" ujar sofia belum menghentikan tatapannya.
Bram kembali memacu laju mobilnya, "karena anak itu memiliki ibu,"
"aku bukan sekedar melihat anak itu Bram," di luar mobil mewah mereka mata perempuan yang memandangi trotoar berkata dengan nada rendah. "aku melihat seluruhnya dan menyimpulkannya," di luar sana sekelompok pedagang mulai sibuk menggelar barang dagangan, mereka tampaknya saling melempar komunikasi satu sama lain.
Mobil terus melaju menuju jalanan yang lebih lenggang. Sengaja, Bram tak ingin sobatnya satu ini memikirkan kerumunan, dia di blacklist dari beberapa jenis pesta selain jiwanya sulit terkendali dalam kerumunan. Sofia sering kali terdapati mendapatkan serangan panik saat berada di lingkungan yang terlalu ramai.
"aku hanya lelah Bram, bukan karena keramaian," ungkap Sofia menyadari Bram sengaja memilih jalanan yang lebih lenggang.
"Sudahlah, biar aku bawa kamu pulang," tukas Bram.
"apa kamu tak lelah Bram?" perempuan ini kembali bertanya.
"tidak," kilah Bram.
"Kamu bohong,"
"aku benci mendengar kata lelah, jika kamu mengatakan itu lagi. aku bakal bawa kamu ke dokter," Suara Bram meninggi sesaat. Lelah berati mengurung diri berhari-hari itulah yang tertangkap dalam kamus Sofia, ia akan menutup diri dan menjalankan hibernasi ala tupai.
"bukan aku saja yang lelah, benarkan? Kamu juga kan? Apa kamu tak lelah mencari ibumu?"
Spontan mobil kehilangan kestabilan, "perhatikan mobilmu!"
"jangan bicara sembarangan!!" takis Bram memelototi Sofia.
"aku sedang berbicara kenyataannya, terimalah kenyataan bahwa ibumu mungkin tidak akan kembali,"
"SOFIA!!" Bram berteriak sembari memencet klakson mobilnya kuat-kuat.
"aku tahu kamu akan marah jika aku bicara seperti ini. tapi apa kamu tak berpikir, dengan kamu terus menerus mencari ibumu, kamu terus-terusan mencari pacar di atas usiamu dan memperlakukan mereka seperti ibumu. Aku bersyukur Renata bisa sadar dan lari darimu," Sofia sama meningginya.
"Sofia! Keluar dari mobilku!!" Bram menatap tepian jalan dan mulai memutar mobilnya dengan laju lebih cepat dari biasanya.
Giliran mobil itu telah berhenti. Bram membuka pintu kemudian dia menuruni mobilnya dengan langkah gusar. Lelaki ini membuka pintu samping, pintu di sisi duduk Sofia.
"Keluar! Keluar sekarang!" tangan Bram bergerak menarik siku Sofia.
"okey-okey... tak perlu menarik ku!" mata Sofia menatap Bram sama gusarnya. Ketika perempuan ini di tinggal di tepian jalan. dia masih sempat meneriakkan kalimat terakhirnya untuk Bram, "kalau kamu tak menghentikan kegilaan mu, aku yakin tak lama lagi bangkai di dalam dirimu terbang ke mana-mana, jadi hidangan nyinyir orang-orang," kesal Sofia.
Bram menekan pedal gas mobilnya lebih kuat dan kian kuat sampai dia tak menyadari ke mana arah mobilnya pergi.
'ibu.. apa kamu masih hidup?'