"Dek!" Teguran Mama saat mendengar jeritan Cindy. Adik ipar sekaligus sahabatku itu berjalan tergesa ke arahku.
"Kok bisa?" tanyanya menatap kalungku dengan binar yang kentara.
"Hadiah dari Mas Dewa," ucapku.
"Jadi Mas yang jadi saingan aku, huh?!" Cindy melotot garang ke arah Dewa. Bukannya menakutkan malah ekspresinya seperti itu sangat lucu. Cindy tidak pernah bisa marah.
"Itu Mas beli pas di Bali. Perusahaannya, kan di Bali."
"Boleh pegang nggak, Kakpar?"
"Pinjem juga boleh," ujarku.
"Enggak, ah. Entar lecet disuruh ganti rugi lagi. Nangis saldo ATm aku yang ada."
Aku tertawa. Dia tidak tahu saja kalau sebentar lagi dia bakal punya kalung ini juga.
Surprise ya, Cindy.
***
Usai makan malam, keluargaku dan Dewa tidak langsung pulang. Aku mengajak para perempuan untuk bersantai di ruang keluarga. Dan Mama langsung menyalakan televisi. Mencari siaran yang menayangkan drama ala dalam negeri yang membosankan. Sedangkan para pria terkecuali Alan memilih duduk di gazebo belakang rumahku. Biasalah bapak-bapak pengusaha. Dan Alan yang memilih tidur dikamar tamu karena kelelahan katanya habis pulang kampus langsung ke sini dan dia butuh istirahat sebelum begadang nanti malam. Untuk membuat tugas kuliah yang menumpuk.
"Cucu Mama gimana kabarnya?"
Aku mengelus perutku. "Baik, Ma. Udah jarang mual sejak minum teh mint sesuai saran Mama."
Saat sedang asik mengobrol, Dewa menghampiriku. "Kenapa masuk, Wa?" tanya Mama.
Dewa menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Ada perlu sama Nindy, Ma."
Aku segera beranjak menghampiri Dewa. "Kenapa, Mas?"
Dewa menarikku menjauh. Kami berada di di samping lemari kaca yang berisi kaset film. "Lihat, Sayang."
Dewa menunduk dan aku ikut menunduk. Mataku terbelalak, "kok berdiri?"
Dewa meringis, "habisnya Papa sama Ayah bahas begituan. Katanya bercinta lebih nikmat saat istri tengah hamil."
"Selama aku hamil kita udah sering bercinta, Mas." Aku melotot dan memukul pelan lengannya yang melingkari pinggangku. Dewa semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya.
"Iya, Sayang. Tapi ini posisi berdiri katanya. Dan Mas langsung bayangin kamu bugil sambil menghadap dinding kamar dengan Mas di belakang sambil memasuki kamu," ucapnya sambil memelankan suara saat menyebut kata bugil.
Astaga, suamiku ini kenapa menjadi mesum begini?
"Ayo ke kamar. Mas nggak tahan. Udah ngilu banget, Sayang."
***
Dewa benar-benar tak tertolong. Dengan tergesa dia membuka celana pendek rumahan yang dikenakannya.
"Sayang, buruan!" serunya sembari naik keatas ranjang dan berbaring di sana.
Dewa sengaja menumpuk beberapa bantal agak tinggi untuk menyanggah punggungnya. Jadi dia setengah berbaring. Tangannya sibuk mengusap kejantanannya yang berdiri gagah di atas sana.
"Kenapa nggak jadi berdiri hadap dinding?" tanyaku menaikkan alis sebelah.
Aku sengaja berlama-lama membuka pakaian yang ku kenakan. Aku berdiri di depan ranjang. Masih sambil menatap apa yang sedang dilakukan suamiku itu di atas kasur. Dewa begitu menggoda dan menggairahkan. Membuatku yang melihat tangannya naik-turun di alat tempurnya itu terangsang seketika.
"Mas sih oke aja. Tapi kamu nya nanti kelelahan lama berdiri."
Aku mencibir mendengar alasannya. Padahal aku juga penasaran bagaimana sensasi bercinta sambil berdiri. Perlahan aku merangkak naik dengan pelan dari kaki Dewa. Tanganku sengaja menelusuri betis hingga pahanya. Dewa mengeram saat tanganku menggantikan kerja tangannya di atas batang tegak di depan wajahku saat ini. Aku mengurut dengan gerakan sensual. Sengaja menyiksa suamiku yang semakin mesum ini.
"Oh God! Lebih cepat, sayang...." erangnya.
Aku menjulurkan lidah menggoda ujung miliknya. Dewa menatapku dengan kabut gairah yang pekat. Aku terhanyut di dalamnya. Perlahan ku turunkan bibirku menyentuh miliknya. Mengecup pelan ujungnya.
"Shit!" Dewa memejamkan mata. Kepalanya terhuyung ke belakang.