Bunda mengangguk. Tangannya yang lembut mengusap pelan wajahku. "Kamu beruntung punya Dewa, Kak."
Saat ini kami sedang duduk di sofa ruang keluarga. Aku diapit Bunda dan Mama. "Besok-besok kalau Dewa gak di rumah, Mama dan Bunda yang bakal ke sini nemenin kamu." Suara Mama mertuaku membuatku menoleh ke arahnya yang berada di sisi kiri ku.
"Iya, Ma. Indi gak bakal berani lagi sendirian di rumah."
"Bun, Dewa minta maaf karena gak becus jagain anak Bunda. Dewa juga merasa menjadi suami yang buruk karena sudah mengabaikan istri Dewa tanpa mendengar penjelasannya. Dewa benar-benar minta maaf, Bun." Dewa menggenggam kedua tangan Bunda sambil berjongkok di depan Bunda. Aku terkesiap dan berkaca-kaca mendengar penuturan suamiku. Dia tidak salah sama sekali. Wajar kalau dia emosi saat itu.
"Bukan salah kamu, Nak. Ini semua di luar dugaan kita. Bunda malah bersyukur sekali saat tahu kamu pulang ke rumah di waktu yang tepat saat kejadian. Bunda bisa lihat betapa besar kamu mencintai anak Bunda."
Bunda mengelus rambut Dewa, sedangkan suamiku itu menciumi kedua telapak tangan digenggamnya.
"Awas kalau kejadian seperti itu terulang lagi, Wa. Mama yang akan turun tangan buat menghukum kamu kalau kamu berani-berani mengabaikan menantu Mama."
Aku tersenyum haru mendengar ucapan Mama Eka. Beliau memang menyayangiku dari dulu.
"Dewa akan berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik buat Nindi, Ma."
"Ya sudah, ayo ke dapur, Ka. Saatnya kita masak untuk makan malam."
Bunda dan Mama Eka menuju ke dapur. Dewa duduk di sebelahku. "Maaf udah lancang bilang perceraian. Mas kelepasan kontrol, Sayang."
Aku tersenyum mengusap lengannya yang kupeluk. "Iya, aku tahu Mas kelewat emosi semalam. Dan tadi gimana sama pengacaranya?"
"Dia nanya lagi tentang maksud Mas nelpon tadi malam. Mas bilang kalau Mas lagi emosi semalam jadi asal-asal telepon aja. Dan dia juga mengatakan jangan gegabah soal perceraian."
Dewa menggesekkan hidungnya di keningku. Dan kecupan-kecupan kecil dia berikan di sana. "Dan kata itu menjadi kata haram yang akan Mas ucapkan ke depannya."
***
Aku membantu kedua wanita yang aku sayangi di dapur. Sebisanya mengerjakan apa saja yang bisa aku bantu. Namun, mereka melarang ku mendekat. Aku hanya boleh melihat saja. Kata Mama, lebih baik aku duduk sambil ngemil atau apapun yang tidak menguras tenaga. Dikira ngunyah gak butuh tenaga? Ya kali, pegal juga mulut gerak-gerak.
Akhirnya aku hanya duduk sambil memakan buah melon segar yang tadi dibawakan oleh Bunda.
"Sayang, ke kamar bentar yuk."
Astaga! Aku terkaget saat napas Dewa berhembus di telingaku. Dia berbisik-bisik seperti tukang gosip.
"Kaget!" omelku.
Dewa terkekeh geli. Ia kemudian menarik lenganku untuk ikut bangkit mengekorinya menuju kamar kami.
"Ngapain sih?" tanyaku bingung.
Dewa tidak menjawab. Dia terus menggiringku melangkah meniti anak tangga hingga ke atas. "Mas ada sesuatu buat kamu."
Aku hanya pasrah saat Dewa membawaku masuk ke dalam kamar. "Tutup mata dulu dong," lanjutnya.
Dewa menutup mataku dengan tangannya. Dia membantuku melangkah semakin ke dalam mendekati meja riasku. Karena dapat ku rasakan aku hanya berjalan lurus dari tempat ku berdiri tadi. "Apasih, Mas? Jangan buat penasaran deh."
Dewa tersenyum. Ku rasakan bibirnya mengecup tengkukku sekilas. "Jangan dibuka matanya, ya. Mas lepas nih."