Dewa tersenyum. Ku rasakan bibirnya mengecup tengkukku sekilas. "Jangan dibuka matanya, ya. Mas lepas ni."
Tangan Dewa sudah tidak menutupi mataku lagi. Tapi aku tetap terpejam mengikuti kemauannya. Aku menahan napas saat merasakan sesuatu yang dingin melingkar di leherku.
"Udah. Buka matanya."
Dan, astaga!
"Mas!" Aku terpekik melihat bayanganku di cermin dengan kalung yang melingkar indah di leherku. Kalung ini tadi pagi sempat ku searching. Kata Cindy, kalung ini hanya ada 2 di negaraku. Dan harganya benar-benar fantastis. Aku sampai melotot saat mengetahui harganya. Cukup untuk membiayai ku lanjut S2 dan S3.
Tapi jujur, aku sempat memimpikan ini tadi pagi. Dan, astaga! Pasti ini ulah Cindy! Karena aku sempat mengatakan kalau menyukai benda mati ini.
"Kamu suka?" tanyanya.
Aku berbalik. Memeluk erat suamiku. "Suka banget!" seruku semangat sambil menghadiahi wajahnya dengan kecupan-kecupan sayang.
"Tapi ini mahal banget, Mas."
"Selagi kamu suka dan senang dengan apapun itu, harga tidak menjadi masalah," ucapnya sambil mencium keningku lama.
Aku terharu. "Cindy bilang ini keluaran terbaru, Mas. Brand nya bahkan baru menggelar acara launching kalungnya. Di internet dijelaskan kalau ini hanya ada 2 dan aku jadi salah satu pemiliknya. Astaga, Mas!"
"Mas bayangin deh kalo teman-teman aku pada tahu. Mereka pasti bakal heboh dan muji-muji Mas sebagai suami idaman. Terus Cindy bilang dia juga pingin kalung ini, Mas," aku berceloteh sambil memandang Dewa dengan perasaan aneh yang entahlah. Karena sejak kecil, aku dan Cindy selalu menyukai barang yang sama dan kami akan berusaha untuk membelinya agar couple. Bahkan tas dan sepatuku kebanyakan samaan dengannya. Hanya berbeda warna.
Dewa tersenyum. "Cindy juga punya kok."
"Mas beliin juga?"
Dewa menggeleng. "Perusahaan brand nya punya teman Mas sewaktu SMA. Dan dia sudah sejak lama menyukai Cindy. Hanya saja dulu dia segan mendekati Cindy karena dia berteman baik dengan Mas. Kebetulan pas di Bali lalu kami ketemu. Dia cerita banyak hal sama Mas. Termasuk tentang pekerjaannya. Dia berniat untuk ke rumah dengan orangtuanya melamar Cindy."
"Dan dia bakal ngelamar Cindy dengan kalung satu lagi?" tanyaku memotong kalimat Dewa. Suamiku itu mengangguk dan mengecup bibirku dengan gemas.
"Beruntung banget aku sama Cindy dapet pria-pria peka seperti kalian."
Dewa tertawa sambil menarik pinggangku semakin merapat kearahnya.
"Kamu tahu, kan gimana gilanya Cindy sama koleksi aksesoris mahal. Bahkan dia tadi sempat menelpon Mas minta tambah uang untuk beli kalung ini. Karena tabungannya kurang. Dan dia juga bilang kalau kamu suka. Jadi Mas langsung semangat."
"Terus, terus?"
"Udah Mas iyain buat transfer uangnya. Tapi beberapa menit kemudian dia nelpon lagi. Bilang kalau kalungnya udah sold out. Mas antara kasian sama pingin ketawa membayangkan ekspresi kesal Cindy."
Aku tertawa. "Kapan lamarannya?"
"Besok siang. Dan Mas nggak sabar buat lihat ekspresi Cindy besok." Dewa menyeringai jahil.
***
"Kapan sampai, Yah, Pa?"
Aku dan Dewa memasuki ruang makan dan di sana sudah ada Ayah dan Papa mertuaku yang sedang bercengkrama di meja makan. Sedangkan Bunda dan Mama bolak-balik menyiapkan makan malam. Memang waktu sudah menunjukkan pukul 19.15 WIB saat kami keluar kamar.
"Sudah lumayan lama juga ya, Jhon?" Suara Ayahku. Papa mengangguk sebagai jawaban mengiyakan, "sudah habis kopi segelas," sahut Papa membuatku dan Dewa tertawa.
"Malam semuanya." Sapaan dari Alan saat memasuki dapur. Adikku itu sepertinya baru saja tiba. Dan Cindy mengekor di belakangnya.
"Astaga astaga. Itu?!" Tuh kan. Cindy menjerit melihat benda yang melingkar di leherku. Kalung ini berbandul mahkota ratu dengan berlian di sekelilingnya. Akan berkilau saat terkena cahaya.