"Mama loh, Sayang. Katanya biar para calon Oma-oma yang tahu duluan."
Aku mendengkus. "Dasar. Aku yang hamil malah aku yang terakhir tahu. Kesel!" gerutuku.
Dewa semakin tertawa. "Mama sama Bunda girang banget. Sampai langsung balik pulang buat ngasih tahu kabar bahagia ini ke Papa sama Ayah." ujar Dewa masih dengan senyuman lebar di bibirnya.
"Terima kasih," lanjutnya sambil menciumi keseluruhan wajahku dengan lembut.
Aku akhirnya tertawa karena geli dengan gesekan bulu-bulu halus di sekitar rahangnya di wajahku.
"Aku bahagia, Mas."
"Mas lebih bahagia."
***
Dewa memasuki kamar saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Ternyata mual membuatku harus menjadi langganan kamar mandi.
"Sayang, minum dulu teh mint nya. Kata Mama ini bagus buat meredakan mual."
Aku mengangguk kemudian menerima cangkir teh yang Dewa sodorkan. Mencicipi sedikit mencoba meresapi rasanya di mulutku. Segar.
"Mama bilang dulu juga sering mual kayak kamu pas lagi mengandung Mas. Katanya teh mint ini ampuh buat ngurangin mualnya Mama."
Dewa mengusap pipiku dengan lembut. "Pucat banget," ucapnya.
Aku menaruh cangkir teh yang isinya sudah kuminum setengah ke atas nakas lalu mulai berbaring. Menarik Dewa untuk ikut mendekat ke arahku. Bunda bilang, istri hamil wajar kalau tambah manja ke suami. Itu salah satu faktor yang aku alami. Semenjak hamil membuatku tidak ingin jauh dari Dewa.
Ini sudah seminggu sejak aku tahu perihal kehamilanku. Kami juga sudah ke rumah sakit, kembali bertemu dengan dokter Hana. Kandunganku kuat. Sudah berusia lima minggu. Dan fase mual seperti ini sangat melelahkan. Tapi aku tidak pernah menyesal harus bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku. Aku menyayangi janinku. Anak kami.
***
"Selamat siang, Pak Edo."
Aku memasuki ruang dosbingku sambil tersenyum sopan. Sejak tahu hamil, aku lebih giat mengerjakan tugas akhirku sebagai mahasiswa. Aku ingin menyelesaikan studiku sebelum melahirkan. Dan aku bersyukur Dewa dan orang terdekatku selalu memberikan semangat.
"Silakan duduk, Nindi. Bagaimana revisi kemarin?"
Aku menyodorkan skripsiku ke depan Pak Edo. Dengan cekatan dan teliti dia melihat halaman demi halaman sambil sesekali melirikku. "Banyak kemajuan. Ini kamu sendiri yang membuatnya, kan?"
Aku mengangguk mantap. Memang semua isi skripsi aku yang mengolah. Tidak ada yang aku upahkan kepada orang pembuat skripsi di luaran sana. Aku tidak terlalu bodoh sampai harus menyuruh orang untuk membuat skripsi ku.
Tapi jujur, peran Dewa lebih banyak di dalamnya. Aku yang mudah kelelahan selalu saja menjadi pihak yang mendiktekan dan Dewa yang mengetik. Jadi aku bisa sambil selonjoran di kasur dengan Dewa duduk memangku laptop. Suamiku itu benar-benar bisa diandalkan untuk apapun. Aku terkekeh di dalam hati.
"Baiklah, lanjutkan ke bab 5 dan 6. Setelah itu kita bimbingan sekali lagi untuk mengecek ulang apakah masih ada yang kurang atau perlu diperbaiki. Setelahnya akan saya ACC sidang."
Aku mengangguk semangat. Benar kata seniorku terdahulu, mahasiswa hamil akan dipermudah jalan menuju wisuda. Tanpa sadar aku mengusap perutku.
"Kalau begitu saya permisi, Pak. Terima kasih waktu Bapak." Aku mulai beranjak dari dudukku.
"Hm, Nin. Jangan terlalu dipaksakan. Kalau ada yang tidak kamu mengerti bisa kamu hubungi saya. Jangan sungkan. Ibu hamil tidak boleh banyak pikiran dan terlalu stress."
Aku tersenyum. Pak Edo dan petuahnya setelah tahu kalau aku sedang mengandung. "Baik, Pak. Permisi," ucapku dan keluar dari ruangannya.
Di luar aku melihat Risa yang langsung berdiri saat mata kami bersitatap. "Gimana? Aman?"
Aku mengangguk, "aman terkendali."