"Suamimu?"
Aku menoleh dan berdeham pelan sebagai jawaban. Aku berdiri, aku tidak bisa di sini. Aku ingin segera pulang melihat Dewa. Namun, saat ingin melangkah pergi, Dion menahan lenganku.
"Kita butuh bicara, Nin."
"Lepas!"
Dion semakin mengeratkan tangannya di lenganku. "Gue bilang lepas!" desisku tertahan. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian di sini karena membuat keributan.
Dan sialnya Dion malah menyeret ku secara paksa ke parkiran mobil. Aku meronta. Tenagaku jelas kalah oleh tenaganya. Apalagi aku sedang hamil dan aku tidak ingin mengambil resiko untuk melawannya dan mengakibatkan bahaya bagi kandunganku.
"Lo mau apa sih?!" teriakku saat kami sudah berada di samping mobilnya.
"Masuk dulu, Nin. Kita bicara di dalam."
"Gue gak punya waktu buat ngeladenin lo ya. Gue mau pulang!"
Dion seolah membaca gerakan ku. Dengan cepat dia mencengkram kembali lenganku. Memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Namun aku mendorongnya. Ku lihat rahangnya mengeras. Dengan sekali sentak di mendorongku ke badan mobilnya. Mengurung tubuhku.
"Lo gila?!" teriakku nyaring.
Mataku membulat saat dengan kurang ajarnya Dion memangut bibirku. Aku mendorongnya sekuat tenaga. Tapi tangan Dion lebih dulu mengunci tanganku di atas kepala. Aku meronta minta dilepaskan. Seolah tuli, Dion semakin menjadi. Bibirnya bergerak ke ceruk leherku. Aku menolak dengan menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Jangan..." mohonku lemah.
Aku terisak. Dion melecehkanku. Ke mana perginya Dion yang aku kenal lembut dulu? Dion yang tidak pernah memaksa. Dion lah yang dulu selalu membuatku merasa dihargai.
"Aku masih mencintaimu, Nin. Aku bisa gila jika terus menerus hanya melihatmu dari jauh saja. Aku ingin memilikimu. Dan aku tahu kamu masih mencintaiku."
Aku memejamkan mata. Aku kehabisan tenaga untuk melawan. Aku hanya memikirkan kandunganku dan Dewa.
"Ini salah, Yon."
Dion mengendurkan jeratan tangannya di tanganku. Dia memandangku dengan sorot mata sendu. Aku jelas melihat luka di sana. Ada kerinduan juga. Aku sempat terlena. Namun segera ku tepis. Aku membencinya. Ya, aku membenci lelaki di depanku ini.
"Kasih kesempatan buat aku menjelaskan semuanya." Dion kembali mengecup bibirku dengan lembut. "Aku merindukanmu, Nindi."
Air mataku kembali menetes. Walaupun di dalam hatiku namanya sudah lama ku kubur. Tapi jujur, aku juga sempat merindukannya. Kebersamaan kami bukan waktu yang sebentar. Sudah hitungan tahun, bukan bulan lagi. Dan selama itu, hanya sekali dia membuatku menangis. Saat memutuskan hubungan kami setahun yang lalu.
"Aku..."
Dion mendekap ku erat. Membelai rambutku yang sengaja ku ikat tinggi. Aku membalas pelukannya. Meresapi aroma tubuh yang dulu selalu aku sukai. Tubuh yang dulu selalu menjadi tempat pelarian ku saat sedang sedih kala Alm Oma menyakitiku.
Dion menuntunku memasuki mobilnya. Sepertinya kami memang butuh bicara. Menyelesaikan segala hal yang memang belum usai. Sesekali aku memang memikirkannya jika berada di kampus. Karena setiap sudut selalu ada kenangan dengannya. Dan aku tidak ingin terjebak dalam kenangan masa lalu itu. Aku harus mengakhirinya. Karena hatiku sudah dimiliki Dewa seutuhnya. Tidak ada tempat tersisa bagi lelaki manapun lagi.
Aku mencintai Dewa. Suamiku. Ayah dari janinku.