Aku mengurai pelukan Tika. Mengusap pipiku yang basah dengan jariku. Tika melakukan hal yang sama. Sedangkan 3 orang lainnya sudah berkaca-kaca.
"Makasih. Kalian terbaik," ucapku serak.
"Itu gunanya sahabat, Nin," ujar Fia.
Aku tersenyum. Lalu aku mendengar dengan tenang setiap kata yang Tika ucapkan. Mulai dari dia yang tidak sengaja melihat Sissy dan Dion di salah satu restoran di Mall. Hingga adanya rekaman percakapan itu.
"Lo memang cocok jadi Mak Lambe, Tik."
Kami tertawa mendengar komentar Amel. "Gilang juga bilang gitu. Katanya gini, ini kita kencan atau jadi agen mata-mata sih, Yang?"
Aku terkekeh geli. "Dan Gilang tetap ngikutin kegilaan lo misuh-misuh di dinding restoran?" tanyaku.
"Iya. Bahkan dia yang ngarahin angle yang bagus buat dapet rekaman yang jelas. Keren pacar gue."
"Gak salah pacar lo anak perfilman." Pujian Fia dibalas tepukan bangga oleh Tika di dadanya.
"Ya, dong!"
"Habis itu lo tahu gue bayar pake apa untuk ucapan makasih gue karena videonya cucok begitu?"
"Apaan?" Serentak Fia dan Risa bertanya.
"Ah uh ah uh paling," seloroh Amel menaik-turunkan alisnya.
Tika melempar Amel dengan bantal sofa. Setelah selesai menonton, kami memang memilih berkumpul di karpet bulu tebal di kamarku. Aku berbaring di paha Fia. Risa telungkup dengan sanggahan bantal di dadanya. Amel berbaring dengan kepala di pantat Risa. Sedangkan Tika memilih duduk menyandar dengan toples keripik di pelukannya.
"Ih, kok lo tahu sih?" Tika melempar keripik ke wajah Amel dengan kesal. Amel tertawa kemudian memasukkan keripik yang dilemparkan Tika ke mulutnya.
"Gue gitu loh."
Kami tertawa. Setidaknya aku terhibur dengan kehadiran mereka. Sejenak melupakan kesedihanku tentang Dewa yang belum juga memberi kabar padaku.
***
Terhitung sudah 3 hari dan aku masih sering menangis sebelum tidur malam. Aku benar-benar merindukan suamiku. Hari ini kepulangannya. Aku sudah kembali ke rumahku dan Dewa. Memasak makan malam kesukaannya.
Kulirik jam di dinding dapur. Pukul 9 malam. Seharusnya Dewa sudah pulang. Aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel untuk mencoba menghubungi Dewa. Namun urung kala aku mendengar bel rumah berbunyi. Aku bergegas ingin membuka pintu rumah dengan senyum merekah. Itu pasti Dewa.
"Hai,"
Senyumku langsung hilang. Dion. Kenapa pria gila ini ada di sini malam-malam begini? Darimana dia tahu alamatku?
"Boleh aku masuk?"
Aku menggeleng kuat. "Ada perlu apa lo ke sini?"
Dion tertawa. "Kenapa ketus lagi sih? Kita, kan sudah baikan, Sayang. Aku merindukanmu."
Dion dengan lancang mendorongku masuk. Menutup pintu rumahku dengan kakinya. Aku menyesal menyuruh Bi Arsih pulang tadi sore karena ingin berduaan saja dengan Dewa.
"Kamu cantik sekali malam ini. Sengaja berdandan untukku?"
Aku memandangnya dengan jijik. Dia benar-benar gila. "Jangan macam-macam!" desisku saat tangannya mulai menyentuh lenganku yang terbuka. Dion kembali mendorongku hingga aku terbaring di atas sofa ruang tamu. "Dion!"
"Iya, Sayang?"
"Menyingkir dari tubuhku! Kau bajingan sialan!" teriakku mulai gelisah.
Aku meronta sekuat tenaga dari kungkungannya. Tapi Dion semakin menekanku di bawahnya. Aku takut dia akan menyakiti janinku dengan tindihannya.
"Ayo kita bersenang-senang. Aku ingin merasakan milikmu menjepit batang ku."
Aku berusaha menahan air mataku. Tubuhku sudah bergetar. Semakin bergetar kala bibir Dion menyusuri leherku. Kedua tanganku ia tahan di atas kepalaku dengan satu tangannya. Tangannya yang satu lagi berusaha melepaskan kancing piyama tidurku. Untung aku memakai bra. Jadi payudaraku tidak bersentuhan langsung dengan tangan menjijikkan Dion. Aku memejamkan mata karena takut. Aku meronta. Kakiku menendang tak tentu arah.