Aku membuka mata perlahan. Mencoba menyesuaikan cahaya silau yang masuk dari celah gorden kamar. Aku tidak tahu kapan aku pindah ke kamar dan berbaring di kasur. Terakhir yang aku ingat aku tertidur di meja makan karena terisak.
Mengingat kejadian semalam aku kembali terisak. Dewa akan menceraikan ku. Suami mana yang rela tubuh istrinya di gerayangi pria lain? Aku menempatkan posisiku di posisi Dewa. Aku pasti akan berteriak atau menamparnya. Tapi Dewa tidak. Dia tidak menyentuhku sama sekali. Dia melampiaskan marahnya pada vas bunga dan gelas yang tidak bersalah. Bahkan dia masih peduli padaku. Dia memindahkan ku ke kamar kami.
Aku mengedarkan pandanganku yang memburam ke setiap sudut kamar. Banyak kenangan kami di sini. Dan membayangkan akan berpisah dengannya aku tidak sanggup.
"Mas, aku cinta sama kamu." Aku semakin terisak. Kembali berbaring dengan menggigit bantal. "Aku takut, Mas."
Seolah ada yang menyentak ku. Aku segera bangun. Mencari sosok suamiku. Tidak ada Dewa di rumah. Aku kembali menangis sesenggukan. Mengelilingi setiap sudut rumah dengan kaki telanjang. Aku menggigit bibirku dengan kuat.
"Aku gak kuat, Mas," isakku berpegangan pada dinding. Aku mendengar bantingan di dalam ruang kerja di sebelahku. Dengan pelan aku membuka pintu. Di dalam sana aku melihat sosok Dewa yang kacau. Aku semakin terisak.
"Mas," lirihku perlahan masuk ke ruang kerjanya. Dewa mendongak saat melihatku. Mata kami saling mengunci. Dewa benar-benar seperti mayat hidup. Kantong matanya menghitam. Apa dia tidak tidur semalaman?
Dewa duduk di sofa ruang kerjanya. Tangannya terkulai lemah di sisi tubuhnya. Aku melihat pecahan kaca di lantai dekat meja kerja. Gelas menjadi sasaran lagi bagi suamiku.
Aku berjalan mendekat. Bibirku bergetar. Laptop di atas meja di hadapannya menyala. Hal tersebut tidak menarik bagiku. Aku hanya terfokus kepada suamiku. Matanya masih menatapku dengan sorot luka yang kentara. Aku bersimpuh di antara kakinya. Menenggelamkan wajahku di salah satu lututnya. Menangis sejadi-jadinya sambil memeluk betisnya yang masih terbalut celana kerja tadi malam.
"Ampun, Mas. Jangan hukum aku begini. Mas boleh marah. Tapi jangan diam begini, Mas. Aku salah. Aku. .kotor."
Aku rasakan tangan Dewa menyentuh rambutku. Mengelusnya perlahan. "Berdiri." Suaranya lembut dan bergetar.
Aku menggeleng dan semakin mengeratkan pelukanku pada betisnya. Aku takut saat aku melepaskan betisnya Dewa akan pergi meninggalkanku.
"Sayang, berdiri. Kasian perutnya kegencet."
Dewa menyentuh lenganku lalu menarikku berdiri. Dengan pelan dia membawaku duduk di pangkuannya dengan membelakangi wajah Dewa.
"Maafin Mas." Lengannya melingkar di pinggangku.
Aku merasakan punggungku dikecup berkali-kali oleh Dewa. Kemudian wajahnya dia benamkan di sana. Basah. Punggungku terasa basah. Dewa menangis? Suamiku menangis?
Aku membalikkan badan duduk menyamping di atas paha Dewa.
"Mas," bisikku sambil menghapus bekas air mata di wajahnya. Penglihatan ku rasanya mengecil. Efek menangis tidak hentinya membuat mataku bengkak.
"Aku cinta sama Mas."
Dewa mengambil tanganku yang mengelus wajahnya ke bibirnya. Menciumi dengan sayang buku-buku jariku. "Mas tahu. Kamu ngigau sepanjang malam bilang 'aku cinta Mas'. Dan Mas lebih mencintai kamu. Sampai ingin membunuh bajingan sialan itu saat dia menyentuhmu. Mas semalam benar-benar dipenuhi rasa marah sampai mengabaikan kamu. Maaf."
Aku menggeleng. Aku masih sesenggukan. Aku membenamkan wajah diceruk leher Dewa. "Mas udah cek cctv di rumah kita. Bajingan itu akan membusuk di penjara."