Masih terngiang di benakku semua ucapan Dion. Pernikahannya dengan sepupuku tidak bahagia. Itu yang kutangkap dengan jelas dan itu bukan urusanku. Masalahnya Dion mengatakan akan menungguku. Setelah perceraiannya dengan sepupuku, Sissy selesai, dia ingin kembali mengejarku, memperjuangkan ku. Aku mendengkus membayangkannya. Yang benar saja. Dia gila.
"Kenapa Mas Dewa gak ngabarin aku sih?" Aku menggerutu sambil memainkan ponsel. Tidak ada satupun pesan atau telepon dari Dewa yang masuk ke ponselku. Padahal aku merindukan Dewa dan ini baru malam pertama aku tanpa Dewa. Tapi rasanya sudah lama sekali.
Karena bosan di kamar, akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar. Saat ini aku sedang di rumah Bunda. Sesuai perintah suamiku itu, selama dia di Bali aku akan menginap di sini.
"Kenapa belum tidur, Kak?" Suara Bunda saat aku ikut bergabung dengannya di ruang keluarga. Bunda sedang menonton televisi. Biasa, seri drama keluarga kesukaannya.
"Belum ngantuk, Bun. Ayah mana?"
"Ke depan lagi terima telepon dari Dewa."
Aku mengernyit bingung. Dewa menelpon Ayah? Kenapa tidak meneleponku? Aku melihat Ayah berjalan ke arah kami dengan ponsel di genggamannya.
"Dewa sudah sampai. Untuk 3 hari ke depan dia sibuk. Jadi tidak bisa menghubungimu," ucap Ayah sambil duduk di sebelah Bunda. Sedangkan aku duduk di sofa single di sebelahnya.
"Kenapa Mas Dewa nelepon Ayah? Kenapa gak ke ponsel Kakak aja?"
Ayah mengangkat bahu. "Katanya nomormu dari tadi sibuk. Makanya nelpon ke ponsel Ayah."
Aku menggigit bibirku bagian dalam. Sibuk? Oh, astaga. Iya. Tadi aku sempat bertelepon dengan Risa. Mungkin bersamaan dengan panggilan masuk dari Dewa.
Aku menghembuskan napas pelan. Aku memilih kembali ke kamarku. Mencoba menghubungi Dewa. Namun di luar jangkauan. Kenapa Dewa mematikan ponselnya? Entah kenapa dadaku sesak. Dewa seolah melupakanku. Seharusnya dia mencoba menghubungiku kembali. Aku merindukan suaranya yang menenangkan. Aku ingin tidur dengan belaian lembut suaranya yang penuh kasih sayang.
Air mataku turun perlahan. Beberapa detik kemudian berubah menjadi isakan. Aku duduk di atas kasur dengan menekuk kakiku. Menenggelamkan wajahku di antara lutut. Aku merindukan Dewa.
***
[Aku di cafe dekat kampus. Aku menunggumu.]
Pesan dari Dion.
Aku tidak membalasnya. Padahal nomor Dion di ponselku sudah diblokir oleh Dewa. Dan kini dia memakai nomor baru untuk menggangguku. Aku malas ke mana-mana pagi ini. Mood ku masih berantakan sejak semalam. Aku baru tidur pukul 2 dini hari. Itupun karena lelah menangis. Dan pagi ini mataku benar-benar memprihatinkan.
"Kak, ada Mbak Risa di bawah," ucap Alan dari balik pintu kamarku.
"Suruh masuk aja."
"Oke."
Tidak lama setelah Alan pergi, pintu kamarku terbuka. Risa masuk dengan sebuah kantong putih ditangannya. "Itu apa?" tanyaku.
"Buah," jawabnya.
Risa ikut naik ke atas ranjang dan duduk bersila di depanku. "Mata lo kenapa?"
"Habis mewek. Laki gue gak ngasih kabar ke gue, tapi ke Ayah."
Risa menatapku lama. "Lo ada masalah sama Dewa?"
Aku menggeleng. "Baik-baik aja. Kemarin sebelum berangkat dia nelepon gue pas di kampus. Masih sayang-sayangan kok."
"Tadi malam Ayah bilang Dewa sempat nelepon gue. Tapi nomor gue sibuk. Kan lagi teleponan sama lo. Dan habis itu dia gak ada lagi coba hubungi gue. Pas gue hubungi dia, nomornya udah gak aktif," lanjutku.
Risa mengotak-atik ponselnya kemudian menyodorkan ke arahku. Aku membaca deretan pesan dari Tika yang masuk ke ponsel Risa. Ada beberapa lampiran file foto. Aku terbelalak. Dion dan Sissy terlihat sangat mesra di dalam sana. Tidak ada tanda-tanda seperti pasangan yang akan berpisah.