Tangan Dewa berpindah memainkan payudaraku yang tergantung di depannya.
"Makin padat dan menggemaskan," ucapnya sambil meremas-remas dengan lembut. Aku blingsitan. Bergerak semakin liar di atasnya. Kadang naik-turun, kadang maju-mundur.
Dewa kembali menarikku ke pelukannya. Mengulum payudaraku dengan rakus. "Beberapa bulan lagi Mas harus rela berbagi ini dengan si kecil," katanya disela erangan tertahannya.
"Mas..."
Aku mendapatkan pelepasan lagi. Dewa mengeratkan lingkaran lengannya di pingggangku. Dia yang bergerak memompaku dari bawah.
"Ahh..." erangannya melepaskan cairan hangat masuk ke dalam rahimku kembali.
***
Aku kembali melirik jam dipergelangan tanganku. Pukul 10 pagi. Sudah lumayan banyak mahasiswa yang lalu-lalang di depan ruang dosen. Mencuri-curi pandang ke dalam ruangan dari kaca jendela. Mungkin mengintip dosen yang bersangkutan ada di dalam atau tidak.
Aku melirik ponselku yang bergetar. Pesan masuk dari Risa melalu WhatsApp. Menanyakan keberadaan ku. Setelah membalas pesan Risa, ponsel ku berdering. Panggilan dari Bunda.
"Ya, Bun?"
["Di mana, Kak?"]
"Di kampus, Bun. Mau bimbingan."
["Oohh, Bunda kira di rumah. Bunda selesai masak ayam lada hitam kesukaan Dewa. Nanti pulang mampir ke sini, ya."]
"Iya, Bun."
["Sukses bimbingannya, Kak."]
"Doain ya, Bun."
["Cucu Bunda gimana?"]
"Adem ayem sih, Bun. Tadi pagi cuma mual sekali. Mungkin tahu Bundanya mau bimbingan hari ini. Makanya gak rewel." Aku tersenyum sambil mengusap perutku.
["Baguslah kalau cucu Bunda pengertian. Hati-hati ya, Kak. Selesai bimbingan langsung balik. Jangan keluyuran."]
"Iya iya. Nanti Kakak langsung ke rumah Bunda."
Setelah Bunda mengakhiri panggilannya, ku masukkan ponselku ke dalam tas. Aku melihat sekeliling. Sudah ada beberapa mahasiswa yang duduk di seberang bangku ku depan dan samping kanan.
"Nindi?"
Aku menoleh saat namaku disebut. Tepat di sebelah kiri ku duduk lelaki yang dulu sempat membuat hatiku patah berkeping-keping. Dion.
"Hai," sapanya sambil tersenyum. Masih sama. Senyum yang tulus. Namun tidak lagi ku sukai. Aku hanya mengangguk sebagai balasan sapaannya.
"Bimbingan sama Pak Edo juga?"
Aku mengangguk. Karena memang kursi besi yang sedang ku duduki ini khusus mahasiswa dengan dosbing Pak Edo. Kisaran 9 kursi berderet disebelah kiri ku. Karena aku duduk di kursi paling ujung dekat pintu masuk ruang dosen.
"Sama dong," ujarnya. Aku tidak menanggapi. Hanya melirik sekilas kemudian hanya duduk diam sambil menyandar di sandaran kursi.
"Apa kabar?"
Aku malas berbasa-basi dengannya. Melihat wajahnya seolah kembali mengingatkanku akan lukaku.
"Kamu pendiam ya sekarang."
Bibirku sudah gatal ingin menyuruhnya untuk diam. Tapi terurungkan karena ponselku kembali berdering. Dewa.
"Halo, Mas?"
["Udah selesai bimbingan?"]
"Belum, Mas. Masih nunggu giliran. Kenapa?"
["Mas di rumah. Lagi siap-siap mau ke Bali jam 11 ini. Proyek di sana berantakan."]
"Kok mendadak?"
["Infonya baru dikabari jam 9 tadi, Sayang. Mau nyuruh Pak Bimo aja yang ke ke sana. Tapi beliau lagi sakit."]
"Kalau gitu aku pulang sekarang. Besok aja bimbingannya."
["Nggak usah, Sayang. Ini Mas udah siap-siap kok. Langsung ke bandara. Kamu bawa mobil?"]
"Iya bawa, Mas."
["Nanti pulangnya hati-hati. Selama Mas pergi kamu nginap di rumah Bunda dulu ya. Udah Mas telepon Bunda barusan."]
Aku mendadak tidak bersemangat untuk bimbingan. Aku ingin pulang. Memeluk Dewa sebelum dia dinas keluar kota. Aku pasti akan sangat merindukan suamiku. Apalagi perginya 3 hari. Sehari saja rasanya lama sekali.
Setelah membalas kata sayang dari Dewa, aku menghembuskan napas pelan. Kenapa harus mendadak begini sih?
"Suamimu?"