Aku mengangguk, "aman terkendali."
Risa menghela napas. "Enak ya bumil. Gue mah apa. Salah satu huruf aja yang dicoret malah sehalaman. Kok pilih kasih sih, Pak Ganteng?!"
Aku tersenyum jail ke arah Risa, "Itu tandanya Pak Edo pingin lebih sering ketemu sama lo. Jangan down dong aunty Risa. Semangat demi toga."
Risa mendengkus sebal. Dia mendekat ke arahku lalu mengusap lembut perutku yang masih rata. "Doain aunty ya, Debay. Biar lancar jalannya kayak Bunda kamu."
Aku tersenyum dan mencubit gemas lengannya. "Udah sana masuk. Keburu ditikung lo sama yang ngantri di belakang." Aku melirik beberapa mahasiswa yang juga sedang menunggu giliran untuk bimbingan dengan Pak Edo.
"Gue goda juga tuh si Pak Ganteng," lirih Risa sambil berlalu masuk. Aku tertawa pelan. Dasar Risa dan keganjenannya.
***
Aku masih terengah-engah di bawah kungkungan Dewa. Suamiku ini selalu membuatku melambung tinggi. Ciumannya selalu memabukkan.
"Mas, masukin..."
Dewa tersenyum mendengarku memohon agar segera dimasuki. Sekian detik aku menahan napas kala Dewa mulai memenuhi intiku. Miliknya bahkan sudah terbenam sepenuhnya di dalamku.
"Mashh. ."
"Selalu sempit, Sayang..."
Dewa mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan gerakan pelan yang teratur. "Kalau Mas menyakiti kalian bilang, ya."
Aku mengangguk disela desahan dan erangan Dewa. Bercinta dengannya selalu nikmat. Dan benar kata dokter Hana, saat kami melakukan cek kandungan waktu itu. Kalau perempuan hamil nafsunya meningkat dari sebelumnya. Apalagi aku yang sangat sensitif dengan sentuhan Dewa.
"Lebih cepat, Mashh..."
Dewa memainkan bibir dan lidahnya dipuncak payudaraku. Menambah kenikmatan yang aku rasakan.
"Oh, Mas. Aku..."
Dewa membungkam bibirku dengan ciuman panasnya. Lidah yang saling membelit. Aku menggigit bibir Dewa saat merasakan pelepasan menghantam ku.
"Astaga... aahh... mhmm...,"
Aku masih terengah-engah saat Dewa dengan sedikit cepat kemudian melambatkan gerakannya di dalam intiku.
"Berbalik, Sayang."
Dengan patuh aku berbalik. Menungging di depan Dewa. Kembali mendesah saat milik Dewa memasukiku. Suara erangan Dewa selalu aku sukai.
"Mas, aku mau... aahh...." Pelepasan keduaku kembali datang. Dan milik Dewa sudah berkedut di dalamku.
Tangan Dewa menuntunku untuk berpegangan pada kepala ranjang. Kemudian jemarinya meremas payudaraku. Jempol dan ibu jarinya menjepit puncak payudaraku yang menegang. Kurasakan bibir Dewa memberikan hisapan-hisapan di tengkuk dan pundakku.
Erangannya beserta rasa hangat di dalamku menjelaskan bahwa Dewa sudah mendapatkan pelepasannya. Dewa membawaku berbaring menyamping. Punggungku menyandar nyaman di dada bidangnya.
"Aman, Sayang?"
Aku mengangguk. Merasa baik-baik saja setelah bercinta. Tapi anehnya aku menginginkan lagi. Tidak kelelahan seperti biasanya. Aku melihat Dewa sudah memejamkan mata. Aku melepaskan diri dari pelukannya.
"Sayang...."
"Mau lagi..." rengekku. Aku sudah menduduki perut kotak-kotak suamiku.
"Astaga. Kamu gak capek?"
Aku menggeleng semangat. Dewa tertawa. "Mas capek?"
Dewa menarik pinggulku untuk dipeluknya. Otomatis tubuhku mendekat ke arahnya. Payudaraku yang menggantung di depan wajahnya tidak dia sia-siakan. Mulutnya mengulum habis buah kesukaannya itu.
"Gak pernah capek buat memuaskan kamu."
Aku tertawa disela desahanku. "Kamu di atas," ucapnya.
Aku memundurkan bokongku mendekati miliknya yang kembali tegak gagah. Membimbingnya memasukiku. Dewa mengerang. Aku perlahan menaik-turunkan bokongku. Tangan Dewa berada di sisi pinggulku. Membantuku bergerak.
"Ya, Tuhan...." erangnya memejamkan mata. Aku menunduk untuk mencium bibirnya.
"Gimana?"
"Kamu benar-benar semakin menggoda kalau berada di atas, Bunda."
Aku merona mendengarnya memanggilku Bunda. Semenjak aku hamil, kadang kami memang menggunakan panggilan Ayah-Bunda saat sedang bercinta. Dan itu membuatku semakin bergairah.