"Mas,"
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut kamar. Tidak ada Dewa. Bunda dan Mama Eka pun juga sudah pulang sehabis mengantar dokter Hana keluar tadi. Aku melirik jam di nakas yang menunjukkan dini hari. Kepalaku sudah mendingan. Sudah bisa berdiri dan berjalan walau masih pelan karena tubuhku masih sedikit lemas.
Maag benar-benar menyiksa. Dan untung aku tidak mendekam di rumah sakit seperti beberapa bulan lalu karena melupakan makan siang.
Aku berjalan keluar kamar. Mencari sosok Dewa ke ruang tengah dan ruang kerjanya. Tidak ada. Ke mana dia? Tidak mungkin, kan Dewa meninggalkan aku di rumah sendirian?
"Mas!"
Aku sedikit berteriak memanggil namanya. Tidak ada sahutan. Aku mulai gelisah. Antara rasa takut dan panik. Karena cahaya di dalam rumah hanya remang-remang.
"Mas Dewa..." Dan akhirnya aku terisak. Aku kalut. Aku berteriak histeris hingga sebuah pelukan membuat tangis ku teredam.
"Hei, Sayang. Mas di sini. Mas di sini. Jangan nangis."
Dewa mengelus punggungku dengan lembut. Bibirnya berucap sambil mengecup rambutku yang tergerai sepunggung.
"Jahat!" isakku. Aku kira dia pergi.
"Mas lagi berenang tadi. Gak kedengaran kamu manggil. Maaf."
Aku masih sesenggukan saat Dewa menggendongku kembali ke kamar. "Ngapain berenang jam segini?" tanyaku sambil terbata karena meredam isakan tangis ku.
"Kebangun tadi pas kamu ngigau. Habis itu gak bisa tidur lagi. Yaudah, Mas berenang."
Aku menarik Dewa sekaligus saat dia membaringkan ku di ranjang. Alhasil dia ada di atas tubuhku. Tidak sampai menindihku karena Dewa menahannya dengan kedua tangannya di kedua sisi tubuhku.
Kecupan lembut yang Dewa berikan membuatku tersenyum. Aku sensitif akhir-akhir ini. Entah karena masa mens ku yang akan datang karena memang mendekati tanggalnya.
Sesaat aku tersentak kaget. Mens? Aku buru-buru mencari ponselku. Melihat tanggal yang selalu aku tandai di kalender ponsel. Aku memang selalu mens tepat waktu. Dan mataku terbelalak saat melihat tanggal yang sama untuk kedua kalinya aku tidak mendapatkan mens.
Ada rasa ingin memiliki yang kuat tertanam di dalam hatiku. Rasanya deg-degan. Aku dan Dewa memang menikah sudah lima bulan terhitung minggu lalu. Bisa jadi aku...hamil?
Namun aku tersenyum kecut. Dokter Hana bilang hanya karena maag. Kalau memang hamil pasti dia tahu.
"Kenapa sih?"
Dewa ikut melirik layar ponselku yang menyala. Kemudian dia memandang ku dengan tatapan yang berbeda. Ada kebahagiaan yang nyata di sana.
Aku menunduk kala Dewa menurunkan wajahnya ke perutku. Mengangkat piyama tidur ku sebatas dada bawah kemudian menciumi perutku dengan sayang. Aku merasa haru yang tidak bisa diungkapkan.
"Mas, ada yang Mas sembunyiin dari aku?"
Dewa tersenyum disela kegiatannya menciumi perutku. "Baik-baik diperut Bunda ya, Sayang Ayah. Jangan bikin Bunda sakit lagi."
Aku menangis. Tanganku menarik Dewa kembali menghadap wajahku. "Mas jangan bercanda!"
Dewa tertawa kemudian melumat habis bibirku yang bergetar karena tangis. "Maaf gak bilang dari tadi. Dokter Hana itu teman Mama. Dia dokter kandungan. Yang dokter keluarga itu suaminya. Mama sengaja manggil dokter Hana buat periksa kamu. Soalnya Mama sama Bunda punya feeling kuat kalau kamu hamil. Apalagi pas Mas cerita kamu malam itu minta dibeliin mangga muda yang nyarinya susah banget. Dan itu gak Mas beli. Tapi mangga yang ada di belakang rumah Mama."
Aku semakin terisak. "Kenapa gak bilang tadi dokternya aku hamil kalau..."
Kata-kataku benar-benar kacau dan terbalik-balik karena rasa membuncah yang tinggi.
"Mama loh, Sayang. Katanya biar para calon Oma-oma yang tahu duluan."