"Sayang, masih pusing?"
Aku mengangguk lemah. Sewaktu perjalan pulang dari kampus tadi sore aku sempat tertidur di mobil. Dan Dewa membangunkanku saat sudah sampai. Namun, melihatku meringis sambil kembali menutup mata, Dewa akhirnya menggendongku ke dalam rumah.
"Mau ke mana, Mas?"
Aku melihat Dewa sudah rapih dengan kaus berkerahnya dan celana panjang. Tidak mungkin Dewa di rumah berpenampilan seperti itu. Biasanya dia hanya memakai kaos oblong tipis kesukaannya dan bokser. Karena di rumah memang hanya kami berdua. Aku yang meminta Dewa supaya tidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Karena aku masih bisa mengerjakan sendiri. Kecuali semisalnya aku hamil. Mungkin lebih baik ada pembantu.
"Kita ke dokter."
Dewa duduk di tepi ranjang di sebelahku berbaring. Aku menggeleng. "Gak mau."
Dewa mengusap lembut keningku. "Muka kamu pucat, badannya panas gini. Kita ke dokter ya."
Aku kembali menggeleng. Dengan pelan aku beringsut mendekati Dewa. Membaringkan kepalaku di pahanya. Mencari tempat ternyamanku.
Aku kembali menutup mata. Namun tidak tertidur. Aku bisa mendengar ketukan di pintu kamar dan pintu kamar yang terbuka serta langkah kaki seseorang.
"Gak jadi pergi, Wa?"
"Indi gak mau, Ma."
Ah, ternyata Mama mertuaku. Kenapa dia bisa di sini? Apa Dewa yang menelponnya? Aku kan hanya pusing. Dewa selalu berlebihan.
"Mas," panggilku.
"Hm?"
Tangan Dewa setia mengelus kepala dan rambut ku yang ada di pahanya.
"Laper."
"Sayang, kamu laper? Mama udah masak bubur. Sebentar Mama ambil ya."
Aku mendengar Mama Eka meninggalkan kamar kami. "Sejak kapan Mama di sini?"
"Sejak sore kamu tidur. Mas telepon sama Bunda juga."
Aku bergumam tidak jelas. Semakin merapatkan kepalaku ke perut Dewa. Tanganku sudah melingkar di sekitar pinggangnya.
"Ke dokter aja ya?"
Aku kembali menggeleng. Sesaat ku rasakan perutku serasa di aduk-aduk. Secepat kilat aku bangun kemudian berlari ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutku. Yang keluar hanya cairan bening. Bukan sisa makanan.
Aku baru ingat, dari siang aku belum makan apapun. Karena sibuk bimbingan di ruang Pak Edo dan baru keluar saat jam makan siang sudah lewat. Dan kebetulan aku tidak lapar saat itu. Pasti maag ku kambuh.
Aku merasa Dewa memegangi rambutku sambil tangannya memijit pelan tangkukku.
"Masuk angin?"
Aku mengangguk. "Lupa belum makan dari siang," jawabku.
Kakiku lemas berdiri. Dewa menggendongku kembali ke ranjang. Aku melihat rahangnya yang mengeras. Tanda dia sedang menahan marah. Tanganku terulur untuk mengusap lembut rahang tegasnya.
"Loh, Kak. Kenapa digendong?"
Aku melihat Bunda dan Mama Eka sudah berdiri di ambang pintu. Mereka kelihatan khawatir sekali. Aku merasa bersalah karena sudah membuat semua orang khawatir.
"Habis muntah, Bun," suara Dewa.
"Wa, panggil dokter Hana aja ke sini. Mama khawatir lihat mantu Mama pucat lemas begini."
Setelah Dewa membaringkanku di kasur, dia melangkah ke meja riasku untuk mengambil ponselnya di sana.
"Ma, Indi gak apa-apa. Maag aja kambuh ini. Karena belum makan dari siang."
Bunda mendekat dan duduk di tepi kasur. "Kamu ya, Kak. Udah tahu punya maag masih berani gak makan. Mau dirawat lagi?"
Aku tersenyum lemah. Mengusap tangan Bunda yang mencubit gemas pipiku.
"Maaf, Bun. Bukannya sengaja. Kakak lupa."
Aku mendengar suara bel berbunyi. Mama bergegas keluar untuk membuka pintu. Sedangkan Dewa naik ke atas tempat tidur di sampingku. Mengecup pelan keningku.
"Jangan ulangi lagi," tegasnya. Aku mengangguk.
Bunda tersenyum melihat interaksiku dengan Dewa. Mungkin Bunda bersyukur, karena anak perempuannya jatuh ke pelukan orang yang tepat seperti Dewa.