Aku kontan saja tertawa. "Eh, pesanan aku tadi mana, Mas?"
Dewa sudah melepaskan pelukannya padaku dan melangkah menuju kamar mandi terpaksa berhenti kembali dan berbalik. "Mas taruh di meja makan. Agak susah tadi nyarinya. Soalnya banyak yang tutup karena hujan."
Aku mendekat ke arahnya. Mengecup pipi dan bibirnya, "makasih."
Bukannya melepaskan ku, Dewa malah menarikku masuk bersamanya ke kamar mandi. "Mas, aku udah mandi loh."
"Mandi plus-plus."
Aku mencubit gemas lengannya di pinggang ku. "Dingin, Mas."
"Bentar lagi juga bakal panas."
Dan, ya. Panas. Bercinta di kamar mandi dengan posisi berdiri di bawah guyuran shower. Dewa benar-benar membuatku kelimpungan. Yang tadi wajahnya lelah berganti semangat 45 saat menggarapku. Dan sekarang aku yang kelelahan dibuatnya.
"Ngantuk?" tanyanya.
Aku mengangguk dalam dekapan Dewa di dalam bathtub. Menyandarkan punggungku di dada bidangnya. Memejamkan mata karena memang aku ngantuk luar biasa. Entahlah, akhir-akhir ini aku mudah sekali kelelahan dan suka sekali tidur.
***
Aku kembali melirik jam yang melingkar dipergelangan tanganku. Pukul 15.45 WIB. Sudah 15 menit aku menunggu Dewa di depan fakultas. Aku memang tidak membawa kendaraan karena tadi pagi aku sempat pusing. Dan Dewa melarangku untuk menyetir.
"Nindi?"
Aku menoleh ke sumber suara yang beberapa jam lalu sempat berbincang banyak denganku. Pak Edo.
"Kenapa belum pulang?" tanyanya.
Aku tersenyum sopan kepada dosen pembimbingku. Memang benar kata Fia. Pak Edo memang tampan. Tapi lebih tampan suamiku. Di usianya yang terbilang masih muda sudah menjadi kepala jurusan di jurusan ku. Padahal masih banyak dosen senior yang lebih berpengalaman. Tapi Pak Edo terpilih karena kecerdasaan otaknya yang kelewat pintar.
"Lagi nunggu yang jemput, Pak."
Pak Edo mengangguk kemudian melirik sekitar fakultas yang memang sudah lumayan sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk di bangku dekat parkiran motor.
"Rumah kamu di mana?"
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang mudah mengumbar identitas ke orang asing. Apalagi alamat rumah. Tapi ini dosenku. Rasanya tidak sopan kalau tidak menjawabnya.
"Di Sudirman, Pak."
"Rumah kita searah. Bareng saya saja, gimana?"
Aku tersenyum kikuk. Pasalnya ini pertemuan kedua kami dalam hari ini. Dan aku tidak mengenalnya selain sebagai dosbing dan Kajur di jurusanku.
Saat hendak menjawab, suara klakson mobil membuatku menoleh. Mobil Dewa.Dewa keluar dari mobil dan menghampiriku.
"Mas," panggilku.
Dewa tersenyum. Dari kode matanya dia bertanya siapa lelaki di samping ku. "Ini Pak Edo, Mas. Dosen pembimbing ku. Dan Pak Edo, ini Mas Dewa, suami saya."
Bisa kulihat ekspresi wajah Pak Edo antara kaget dan tidak percaya. Dewa mengulurkan tangan kepada Pak Edo yang disambut balik olehnya.
"Mohon kerja sama nya dalam bimbingan skripsi istri saya, Pak Edo. Jangan dipersulit," ucapnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum saat Dewa menoleh ke arahku. "Pak Edo baik kok, Mas."
"Syukurlah. Kalau begitu kami permisi dulu, Pak Edo. Mari."
Aku mengangguk sopan ke arah Pak Edo saat Dewa membawaku menuju mobilnya dengan lengan yang melingkar di pinggangku.