Dewa hanya mengangguk tanpa mengalihkan fokusnya dari televisi. Baru seminggu hidup serumah dengannya, aku sudah hafal kebiasaan buruknya yang teledor. Pantas saja Mama Eka suka cerewet kalau menyangkut hidup keseharian suamiku.
Setelah beres-beres kamar, aku duduk di sebelah Dewa sambil memangku sepiring buah potong. Aku menusuk buah mangga dengan garpu kemudian menyodorkan ke depan mulut Dewa yang otomatis disambutnya dengan senang.
"Nanti malam gak lupa kan mau ke rumah Mama?" tanyaku.
Dewa mengangguk sambil menoleh ke arahku dengan mulut terbuka. Tanda meminta disuapin buah lagi. Kali ini aku menyodorkan buah pepaya.
"Kurang manis," komentarnya kembali menatap televisi.
"Makannya sambil lihatin aku, Mas. Pasti manis."
Dewa menoleh. Kemudian mengernyit, "terlalu manis. Diabetes kalo makannya sambil lihatin kamu."
Aku terkekeh geli sambil memukul lengannya, "apaan sih!"
***
Aku membantu Mama Eka menyiapkan makan malam. Entah ada angin apa tiba-tiba Mama Eka dan Bunda kompak merencanakan makan malam di sini.
"Telur ceplok buat siapa, Kak?"
Aku menoleh ke Bunda yang sudah berdiri di sampingku. Aku tersenyum, "buat Mas Dewa, Bun."
"Dewa itu seenggaknya sehari pasti makan telur, Tha. Udah kebiasaan dari kecil." Mama mertuaku menjelaskan sambil terkekeh. Aku baru mengetahuinya saat hari pertama menjadi istrinya. Pasti kalian ingat pagi di mana aku batal memasak marena Dewa 'udah gak tahan'.
Semua hidangan sudah siap. Aku memanggil Papa, Ayah dan Dewa di ruang keluarga. Sepertinya mereka sibuk membahas masalah kerjaan.
Aku mengambilkan nasi dan lauk untuk Dewa. Hal serupa dilakukan oleh Mama dan Bunda untuk suami mereka.
"Gimana rumah barunya, Nin? Suka?" Pertanyaan pertama dari Papa Jhon saat kami mulai menyantap makan malam.
"Suka, Pa. Suka banget malah. Interiornya sesuai selera Indi."
Papa tersenyum. "Rumah itu sudah dua tahun terbengkalai. Karena yang punya gak peduli," Papa Jhon menoleh ke arah Dewa yang makan dengan tenang. Sama sekali tidak terganggu dengan sindiran halus Papanya.
"Tapi untung Mamamu gesit beres-beres tiap minggu ke sana. Walaupun sudah ada pembantu juga."
Aku mengangguk mendengar penjelasan Papa Jhon.
"Tapi, Nin, semenjak kamu terima lamaran Dewa waktu itu. Dia langsung pontang-panting nyari desain interior sesuai selera kamu. Untung Cindy tahu. Jadi bisa bantu-bantu sedikit," tambah Mama Eka.
Aku melirik Dewa yang juga melirik ke arahku. Kami sama-sama tersenyum. Obrolan semakin mengalir membuat makan malam menjadi lebih hangat.
"Omong-omong, Nin, Mama sempat kesal sama Mas Dewa. Karena sia-siain kamar hotel sewaan Mama buat malam pertama kalian."
Aku menoleh kearah Cindy yang duduk di sebelah kananku, sedangkan Dewa di sebelah kiri.
"Benar. Mama kesel. Tapi Mama diamin aja. Dewa gitu, suka gak tahu terima kasih," omel Mama Eka.
"Ada rumah kenapa harus nginep di hotel, Ma? Enakan juga malam pertama di rumah. Jauh lebih berkesan. Iya kan, Sayang?"
Damn! Pipiku memanas. ini pertama kalinya Dewa memanggilku sayang di depan keluarga kami. Dia sering memanggil sayang. Tapi hanya saat kami sedang berdua ataupun saat sedang bercinta.
Bicara soal malam pertama. Yang ada pagi pertama, batinku.