"Aku kesel sama perempuan itu, Mas. Bikin aku malu tahu, gak!"
Aku berbaring di atas sofa beralaskan paha Dewa. Tangannya sibuk mengusap rambutku yang tergerai. "Dia karyawan baru. Maklum aja dia gak ngenalin kamu sebagai nyonya Anggara. Dia mulai kerja baru hari ini."
Aku mendengkus. Masih jengkel. "Waktu aku terbuang sia-sia karena dia."
Dewa melirik jam dipergelangan tangannya. "Masih ada tiga puluh menit sebelum Mas rapat, kamu mau ngapain? Main?"
Aku memicingkan mata curiga ke arah Dewa. Main? Hah! Aku tahu persis main versi Dewa.
"Enggak, ah. Mana cukup waktu segitu kalo mainnya sama Mas. Mas, kan suka minta tambah. Lagi dan lagi," ujarku keki.
Dewa terbahak mendengar dumelanku. Dengan gemas dia menggigit hidungku. "Sakit," keluhku sambil mengelus ujung hidungku.
***
"Eh, ada Kakak ipar. Ada angin apa mampir ke Cindy's Cake?" Sapaan pertama saat aku memasuki ruangan kerja Cindy di toko kuenya.
Ruangan yang tertata rapi. Berada di lantai dua. Di sudut ruangan terdapat rak buku. Lebih tepatnya kumpulan novel. Karena Cindy penggila novel romansa, sepertiku.
"Lagi gak ke kampus. Di rumah juga bosen nungguin Mas Dewa balik kerja. Di rumah Bunda juga bosen kerjanya cuma gangguin si Alan. Di rumah Mama apalagi. Gak ada orang. Papa, kan ngajak Mama ke Jogja."
Cindy mengangguk-anggukan kepala sambil terkekeh. "Bosen banget ya, Buk. Bitch Squad ke mana?"
Aku tertawa. "Mereka lagi sibuk kalo free kampus begini. Ada yang kencan. Tidur seharian. Menjadi penguntitnya para cogan dan sebagainya."
Kami tertawa. "Mau minum apa? Sekalian gue bawain sama kue kesukaan Kakak ipar."
Aku mendengkus geli. "Lengket banget ya panggilan buat gue."
Cindy terkekeh sambil berlalu. Setelah pintu ruangannya tertutup, ponselku berdering dari dalam tas. Aku merogohnya, melihat panggilan masuk dari Dewa.
"Halo, Mas?"
["Udah di toko Cindy?"]
"Udah. Kenapa?"
["Mas pulang cepat. Palingan dua jam lagi. Mau Mas jemput sekalian?"]
Aku melirik jam dipergelangan tanganku. Pukul dua siang. "Boleh deh. Aku tunggu, ya."
["Iya, Sayang. Mas tutup dulu. Mau rapat di luar kantor. Nanti langsung ke sana."]
"Iya. Hati-hati."
Aku mendengar pintu terbuka dan tertutup kembali setelah sambungan telepon terputus. Cindy masuk dan duduk di sofa di depanku sambil meletakkan nampan berisi kue coklat dan Taro Latte kesukaanku. Serta Vanilla Latte dan kue stoberi kesukaannya.
"Mas Dewa?" tanya Cindy.
"Iya. Katanya pulang cepat. Jadi sekalian jemput ke sini."
Cindy mengangguk sambil menyodorkan Taro Latte ke hadapanku.
"Mm, Cin. Mas Dewa pernah cerita apa gitu sama lo tentang perempuan?"
Kening Cindy berkerut tanda berpikir. Walaupun sudah satu bulan kami menikah. Yang berarti sudah terhitung tiga bulan sejak pertemuanku dengan perempuan di parkiran Mall bersama Dewa. Aku masih kepikiran dengan sosok perempuan bernama Pet itu. Dari pandangan matanya kepada Dewa. Sepertinya mereka cukup akrab. Bahkan dia hadir di pernikahanku. Tanpa pasangan.
"Pet?"
Aku tersentak kala Cindy menyebut namanya. "Lo kenal?"
Cindy mengangguk sambil mulai menyuap kue stroberi ke mulutnya. "Dia teman kuliahnya Mas Dewa di Jepang. Dari semester awal selalu ambil kelas yang sama. Kan waktu itu juga hadir di nikahan kalian. Yang sempat ngobrol sama Mama."
Aku mengernyit mendengar kalimat terakhirnya. Ngobrol sama Mama?
"Oh, ya? Berarti teman akrab dong. Sampai kenal sama Mama."
"Enggak juga sih. Mas Dewa cuma bilang gitu aja tentang Pet. Lo tahu sendiri, kan Mas Dewa dinginnya gimana. Cuma Pet yang tahan banting sama sikapnya yang kaku itu. Mas Dewa mana pernah punya teman perempuan. Paling juga perempuannya yang mepet-mepet. Kayak kita sekolah dulu."