Kami memasuki perkarangan rumah orangtua Tika. Acaranya di halaman belakang yang ada taman bunga luas. Kebetulan sekali Tika penggila bunga. Melihat bunga liar di jalan saja dia ambil untuk menambah koleksi bunganya di rumah. Itu yang selalu membuatnya berdebat dengan Amel yang mengatakan kelakuannya itu bukan seperti anak pengusaha kaya.
Tak jarang Amel mengatakan Tika anak pungut. Sampai akhirnya keduanya main cubit dan jambak rambut dengan gemas dan Fia akan bersemangat untuk mengompori mereka. Risa yang merekam kelakuan mereka dan akulah akhirnya menjadi penengah. Kadang mereka semerepotkan itu. Tapi aku sayang.
"Eh, Nindi. Masuk, Sayang." Sapaan pertama dari Mama Tika yang menyadari kedatanganku.
Aku menyalaminya kemudian bercipika-cipiki ala anak muda. Diikuti oleh Dewa yang juga bersalaman.
"Ayo. Tika dari tadi loh mondar mandir nungguin kalian yang belum lengkap."
"Yang lain belum datang juga, Tan?"
"Baru kamu sama Risa. Fia sama Amel belum datang. Ditelponin Tika gak diangkat. Makanya dia sibuk sendiri dari tadi."
"Yaudah, Nindi langsung ke belakang aja ya, Tan."
Mama Tika mengangguk sambil berbisik, "Suami kamu makin ganteng loh. Cocok banget. Cantik dan ganteng."
Aku tertawa mendengarnya. Mama Tika memang akrab dengan teman-teman anaknya. Dia selalu saja menggoda kami. Waktu pernikahanku dulu dia juga memuji ketampanan Dewa.
"Gantengan mana sama Om waktu muda?" godaku balik.
"Oh, tentu saja Om kamu. Dia yang paling tampan menurut Tante. Suami Tante soalnya. Takut durhaka kalau dikatain jelek." Kami tertawa kemudian aku berlalu bersama Dewa.
***
"Capek, ya?"
Aku melihat muka kusut Dewa. Pasti dia lelah sekali. Seharian bekerja dan malamnya menemaniku sampai jam sebelas. Karena asyik mengobrol dengan teman-teman kuliahku yang hadir di acara tunangan Tika, aku jadi lupa waktu. Untung saja perut suamiku ini sudah ku isi dengan makanan. Jadi dia tidak kelaparan menungguku.
"Cuma ngantuk aja, Sayang."
Ini sifat Dewa yang aku sukai. Dia tidak pernah mengeluh lelah setelah seharian bekerja. Tidak pernah mengeluh bosan apabila aku ajak pergi dengan sahabatku. Tidak pernah mengeluh ingin cepat pulang kalau aku ajak berkumpul bersama teman kuliahku.
Aku membawa tangan Dewa yang menggenggam tanganku ke depan bibir. Mengecupnya berkali-kali dan mengelusnya di pipiku.
"Makasih karena gak pernah bosan aku ajak ke mana aja."
Dewa tersenyum. Dia menarikku ke dekapannya. Menghadiahi keningku dengan ciuman lembutnya. "Gak akan pernah bosan kalau perginya sama kamu."
Aku tersenyum. Ya, Tuhan. Aku makin menyayanginya. Jaga rumah tangga kami dari godaan apapun di luar sana. Aamiin.
***
Mataku mengelilingi seisi cafe. Melihat sudut ke sudut kemudian mengagumi desain interior di dalamnya. Aku masih mencari tempat duduk yang pas untukku bersantai dengan Risa. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan padanya. Maklum, dari keempat sahabatku, hanya Risa yang terlampau dekat denganku. Mungkin sudah kuberitahu di awal cerita sebelumnya.
Setelah menemukan meja dan kursi di sudut cafe dekat dengan jendela yang menghadapkan pada jalan setapak di sebelah cafe, aku melangkah ke sana. Diikuti oleh seorang pelayan.
"Mau pesan apa, Mbak?" tanyanya saat aku sudah duduk di kursi.
"Taro Latte satu ya, Mbak. Milkshake Stoberi satu."
"Ada lagi, Mbak?"
"Hm, nanti aja saya pesan lagi, Mbak. Lagi nunggu temen."
Pelayan cafe tersebut pergi dengan senyum hangatnya. Tidak berselang lama, Risa sudah memasuki cafe dan menghampiriku.
"Hei, tumben."
Aku tersenyum. "Gue kangen."
Risa mencibir geli. "Ada maunya baru kangen."